Jumat, 21 Oktober 2016

Aku Melihat



Bulan lalu aku melihat kakimu masih asyik menggasak bola dengan temanmu di dataran hijau dekat pematang.  Tak ada debu disana karena warna hijau membuatnya sejuk. Kausmu lepek, badanmu pun bau keringat, tapi semua itu raib saat melihat bulan sabit terbit di bibirmu. Bahkan gigi putihmu sampai terlihat mempesona. Solidaritas tim mu memang layak mendapatkan piala itu.
Malamnya kulihat tubuhmu terbaring diatas tikar. Sorotan cahaya lampu masih menerangi wajahmu. Desir angin dari jendela juga masih membuat beberapa helai rambutmu bergoyang tanpa irama. Namun terlihat buntut kalajengking siap menerkammu, tapi tongkat sapu ini segera membuatnya terulai takberdaya. Tanganku meraihnya dan kubuang kearah jendela. Kututup jendela rapat.
Keesokan paginya kulihat wajahmu begitu cerah dan segar. Kumismu masih saja terlihat menarik sama seperti bulu matamu yang lebih lentik dari milikku, hidung mancungmu juga tak kalah menarik dibandingkan telur mata sapi dihadapanku yang kini menjadi makanan favoritmu saat pagi.
Tapi malam ini kulihat pikiranmu berantakan, wajahmu kian gugup. Malam itu aku ingat kau mengatakan satu impianmu, Kejuaraan taekwondo. Sayangnya semua itu harus sirna, saat hatimu dipenuhi oleh tinta hitam. Pikiranmu pun sedang melayang saat itu. kau pikir akan mudah menjalani kehidupan di balik jeruji besi.
Kini aku menyaksikanmu dibalik pintu kaca, kulihat kakimu mengayun diatas comberan taman bui. Saat matahari jatuh diufuk barat, warna jingga menghiasi senja sore ini, sama seperti warna bajumu yang bertuliskan “Tahanan” dan memiliki nomor dada 4053. Kulihat raut wajahmu yang sedang galau.
Barang bukti nyata kau simpan di lemarimu, kau ambil barang yang bukan hak mu hanya untuk memenuhi keegoisanmu juga keserakahanmu. Kau membuat orang tua itu menangis dan kasihan padamu, hingga dia haru merelakanmu berada dibalik jeruji besi. Maka biarkan setiap perbuatanmu menjadi pengalaman dan pembelajaran untuk kehidupanmu selanjutnya.
Delapan bulan kemudian kusaksikan tepat dihadapanku kaus merahmu juga celanamu yang menutup hingga lutut membuatku bangga, kau buat angin kecil lalu padamlah lilin diatas kue. Kuliat tanganmu mulai mengiris potongan kue dan itu untukku. adik yang selalu hadir hanya dalam imajimu saja.
“Selamat Ulang tahun, Bang. Semoga ini adalah hadiah terindah untukmu. Keluar dari ruang pengap dibalik jeruji besi bersama para narapidana yang ganas” Senyummu, semoga akan membuat kedua orang tua itu bahagia tanpa aku.


Bandarlampung,  21 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar