Senin, 10 Oktober 2016

Flaminggo



“Maafkan aku, kemarin aku baru saja membaca semua itu” dia meletakkan kotak itu tepat dihadapanku. Kotak setahun lalu yang kukirimkan melalui pos kini hadir dihadapanku. Mataku tercekat melihat kotak itu, banyak pertanyaan yang muncul dipikiranku. Aku melihat gurat wajah bahagianya. Bibirnya yang tipis memberikan senyum simetris yang indah. Rambutnya masih sama seperti tujuh tahun lalu potongan ala chef arjuna dengan kulit sawo matang.
Dia yang sejak dulu aku inginkan kehadirannya kini benar-benar hadir dihadapanku dan membawa sepaket kotak yang pernah ku kirimkan.
“Kamu pemilik kotak ini, darimana saja kamu selama ini?” hatiku parau, mendorong kotak itu kearahnya.
Satu jam sebelumnya. Aku sebenarnya tak ingin melangkahkan kaki bertemu dengannya. Jika bukan karena Ibuku yang meminta maka aku tidak akan pernah lagi menemuinya. Bukan karena aku membencinya, tapi aku hanya takut jika hatiku berbelok arah. Lagi.
Aku tak akan membiarkan cincin dijari manisku ini lepas begitu saja hanya karena melihatnya kembali dengan kotak kardus mie instan itu.
Bertahun-tahun lalu aku selalu menunggunya, tapi aku hanya seperti kapas yang terhempas angin kesana kemari kehilangan arah. Aku membutuhkan banyak waktu untuk merelakannya pergi.
“Aku hanya sedang mempersiapkan diriku untuk bersamamu dan menunggumu siap untuk bersamaku itu saja, tapi sepertinya aku terlambat karena ini sudah kau kirim sejak tahun lalu, dan sepertinya sekarang aku yang harus merelakanmu pergi” matanya berkaca-kaca, Zafa berbicara sambil melihat cincin dijari manisku sebelah kiri. Mungkin saat ini hatinya hancur, melihat keterlambatannya. Tapi apa yang bisa aku dan dia lakukan selain mengubur kenangan-kenangan yang bertaburan. Termasuk menerbangkan seluruh flaminggo didalam kardus mie instan itu yang selalu aku buat dan didalamnya kutuliskan setiap detail keresahan menantinya hadir.
“Aku sudah membaca semua isi flaminggo itu, aku butuh  tiga malam untuk membaca seluruh flaminggo juga blogmu yang penuh derita, kapan kau menikah?” Pertanyaan Zafa benar-benar membuatku kacau, aku diam dan tak bisa menjawabnya. Aku seperti terjun dalam dunia khayalku tiga tahun lalu, yang siap menunggunya datang.
Tapi cincin yang melinkar dijari manisku membuat bibirku beku. Dan aku hanya diam. Lagi.
Aku pernah menerka setiap kebetulan yang terjadi, mulai dari awal perkenalan kita hingga kebetulan-kebetulan yang pernah terjadi sampai dua tahun lalu. Ternyata aku benar bahwa dia memang ingin bersamaku. Tapi semua itu tak ada gunanya jika hanya aku yang berjuang, sedangkan dia pernah pergi menjauhi aku. Hingga harus kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam setiap kenangan dan kebetulan yang pernah terjadi agar aku dpat hidup bahagia bersama orang yang tepat pada waktu yang tepat.
“Segera akhir pekan ini aku akan melaksanakan akadku, maafkan aku karena pernah membuatmu jatuh hati” air mataku tak terbendung, dengan mengucap basmalah dan keteguhan hati kujawab pertanyaannya.
“Semoga kau bahagia, dan maaf telah membuatmu menderita tanpa mampu mempertanggungjawabkannya. Beruntunglah lelaki itu. bolehkah aku membawa flaminggo itu, dan biarkan aku saja yang menrbangkannya perlahan” senyumanmu tak lagi manis saat ka lukiskan bersama air mata itu. aku tidak suka.
“ambillah apa yang menjadi milikmu, jangan ambil apa yang sudah milik orang lain” aku menyeka air mataku. Dan mulai menegakkan tubuh. Karena aku tidak boleh lemah saat berhadapan dengannya. Aku harus sudah membersihkan hatiku. Hanya flaminggo itulah saksi penantianku padanya yang ternyata tak berujung satu. Karena mungkin inilah jalan kami. Bukan berada dalam satu jalan. Tapi kami memiliki tujuan yang berbeda, hingga harus berpisah dipersimpangan jalan.


1 komentar:

  1. Cerpennya keren.
    Note : "mengubur dalam-dalam setiap kenangan dan kebetulan yang pernah terjadi" ... siiip :)

    BalasHapus