Sabtu, 29 April 2017

Aku dan kamu

Aku dan kamu...
Kita adalah sepasang manusia bodoh
Yang mencipta kerinduan dalam amarah
Meraung kesakitan saat aku menjauh
Meneteskan air mata saat kamu mengangkat kaki
Aku dan kamu...
Pertemuan bukanlah hibah loka
Yang lantas membuat gigi saling tampak
Menebarkan berbagai angan dalam dunia imaji
Aku dan kamu...
Pertengkaran adalah nikmat
Yang menyatukan hati yang saling benci
Menebar bunga dalam kobaran api
Aku dan kamu...
Perpisahan adalah takdir
Yang menuntun langkah kita menjadi debu
Karena kaki kita tak pernah saling melangkah
Aku dan kamu...
Pertemuan kedua adalah imaji
Yang membuat otak kita saling beradu jejak
Karena, kita taka akan pernah jumpa.

Jumat, 28 April 2017

Aku pernah

Aku pernah menitipkan rindu pada angin senja, tapi rindu itu tak pernah sampai.
Karena rindu itu kubuat dalam rangkaian aksara, yang akan hilang jika bintang bermunculan.
Aku pernah menitipkan kenangan pada langkah kakimu, tapi kenangan itu bercecer sejauh kamu melangkah.
Karena kenangan itu tak pernah terikat pada kedua kakimu.
Aku pernah menitipkan rasa pada embun, tapi hatimu tak sempat melihatnya.
Karena matamu selalu menyapa cahaya mentari.
Aku pernah menitipkan dendam pada ombak, tapi semua musnah.
Karena laut berhenti bergoyang.
Aku pernah menitipkan segalanya, tapi segalanya telah hilang tanpa jejak.
Karena kamu tak pernah melihat dan menerima semua yang ku titipkan.
Bandarlampung, 28 April 201
Pict by: @badrirahmatulloh (instagram)

Kamis, 27 April 2017

Pinggiran Jalan

Di sini adalah pinggiran gulungan pita hitam yang membentuk alur, membentang hingga ujung pulau. Berhiaskan pepohonan besar yang siap melindunginya dari panasnya matahari, membuat pita hitam menjadi lebih cantik dan sejuk.

Banyak yang berjalan di sini. Kadang sekedar berjalan atau untuk menanti bus. Bukan jalan besar, hanya jalan satu jalur yang digunakan masyarakat untuk melajukan transportasinya.
Jika mentari pagi bangun, lantas sinarnya akan perlahan menembus celah pepohonan yang berbaris rapi dipinggir jalan. Sedang di sini, akan banyak penjual nasi uduk yang siap mengubah nasi menjadi uang.

Saat aku berdiri di sini. Jika aku memandang kedepan dari arah kiri, maka akan kudapatkan lalu lalang kendaraan. Ke kanan adalah ke arah jombang sedang ke kiri akan menuju kediri.
Di sini adalah tempat takdir menyatu, dalam sebuah pertemuan tanpa mimpi. Bersama lalu lalang kendaraan, dan awan biru di langit. Sebuah tempat yang penuh dengan polusi, namun membuat nyata imajinasi.

Di sinilah di pinggir jalan kota Pare.


Tantangan deskripsi tempat

#odop
#tantangan
#deskripsi_tempat
Pict by : google hehe

Rabu, 26 April 2017

Suara Mama Menyebalkan

"Niit niit niit" 
Suara bedside monitor, menandakan jantungku masih stabil. Tanganku berbalut perban, dan rasanya kakiku seperti hilang sebelah. Kulihat sekeliling ruang, tak ada kehidupan manusia, tak ada nafas yang bisa kudengar.  Hanya beberapa kali suara lalu lalang manusia dapat kudengar.
Tak lama dari aku mengedipkan mata dan menoleh ke kanan dan kiri mencari manusia, akhirnya pintu ruangan ini terbuka.  Aku melihat wajah malaikat, yang tangannya langsung membelai lembut rambutku.  Bibirnya pun langsung menghampiri keningku.

"Dek, akhirnya kamu sadar juga" Matanya terlihat amat bahagia, bahkan sekarang air mata kebahagiaan itu jatuh dan langsung membasahi pipiku.

"Mah, adek lupa. Kenapa adek bisa dibawa ke sini mah?"

"Ndak papa sayang, jangan diingat" 

Tangan mama terus saja membelaiku. Sejujurnya, aku tak begitu lupa bagaimana motor dibelakangku menabrak motorku yang berjalan perlahan, aku pun sudah menghidupkan lampu sein petunjuk bahwa aku hendak belok kiri. Tapi pemuda yang mabuk itu, seperti lupa arah dan menabrakku dengan entengnya. Setelah itu, aku tak begitu ingat.  Tapi, aku tak ingin mengatakan bahwa aku ingat.

***
Aku mendengus kesal, lalu kubanting ponsel ke atas kasur. Menelpon mama selalu membuatku kesal. Padahal aku cuma minta service laptop saja. Bilang tak punya uang, tapi baju baru dibeli terus. Aku hanya bisa membanting tubuhku ke atas kasur, lantas akan kudengar suara "bruk" karena dipan kayu di kosanku sudah merapuh.

Aku masih melanjutkan aktivitas rutin, ke kampus lalu pulang setelah usai perkuliahan, menonton televisi di kamar kontrakan, atau kadang mengerjakan tugas. Ah, minggu besok sepertinya aku ingin pulang saja.

Hari sabtu telah tiba. Akhirnya aku bisa pulang ke rumah, haya untuk sekedar menyapa orang rumah dan meminta jatah mingguan. Aku mengendarai motor sendirian. Jalan pelan itu tak masalah, daripada kebut-kebutan. Sejujurnya aku belum siap untuk mati, atau hanya sekedar mengalami kecelakaan. Sesampainya di rumah, aku masih saja berkutat dengan piano kesayanganku, dan tak henti untuk memainkannya.

***
"Dek, laptop kamu kemarin rusak apanya?" Mama membereskan tasku, lantas mengecek laptopku.

"Itu keyboardnya ngga bisa, Ma. Padahal kan aku harus input data, jadi deh aku ngga bisa ngerjain tugas" Tanganku masih asyik memainkan tuts tuts piano.

"Ya Aah, Dek. Keyboard mah masih bisa diganti pakai keyboard eksternal kali dek. Kirain mama mati total"

"Ya terserah mama aja deh, mau dibeliin keyboard eksternal atau dibenerin laptopnya"
Aku masih asyik memainkan piano, membiarkan Mama, membereskan rumah dan barang-barang bawaanku. Ini adalah minggu sore, saatnya aku kembali ke kamar 4x4 yang hampa.

"Ma, adek berangkat ya, Assalamualaikum" kucium tangan mama hanya sekedarnya.

"Dek, itu laptop mama dibawa adek aja. Biar mama yang pakai laptop adek"

"Serius, Ma?"

"Iya dek. Nanti adek ngga bisa kerjain tugas kalau belum bener laptopnya. Kalau mama kan bisa tinggal beli keyboard eksternal aja"

"Makasih ya, Ma" bibirku tanpa syarat langsung menghampiri pipi mama.

"Dek, hati-hati ya. Kalau sudah sampai kabarin mama" Tanganku sekarang asyik menangkap gas. Melaju dengan kecepatan standar.

***
"Ma, motor adk rusak" aku kembali menelpon mama. Padahal baru dua hari yang lalu aku pulang ke rumah.

"Ya Allah dek, kok bisa?"

"Kamu si dek motor ngga dirawat" 

Ah. Aku sudah menduga jawaban mama akan begitu. Semenjak kepergian papa, aku bahkan tidak pernah minta apa-apa. Selalu menyebalkan bicara dengan mama. Niat hati kasih kabar, biar mama tahu kalau anaknya kesusahan di perantauan, eh kalau diomelin gini mah, jadi ngga mood mau telpon. Jadilah kumatikan telponnya. Lagi.

Motor rusak, aku masih bisa jalan ke kampus. Jarak kampus ke kosan juga tidak begitu jauh. Tapi, kali ini aku harus pulang ke rumah dengan naik bus. Aku harus minta jemput mama, sebesar ini. Aku bahkan tak berani naik bus sendirian.

"Ma, adek takut"

"Ngga papa sayang, kan ada mama, minggu depan juga kamu bisa pulang naik motor lagi"
"Ma, kalau bus nya kenapa-kenapa kayak waktu itu gimana?"

Tangaku erat menggenggam tangan mama, menanti bus yang datang. Bahkan keringat dinginpun sudah mengalir disekujur tubuhku. Bibirku pucat, hatiku dipenuhi rasa cemas.

***
Tiga tahun yang lalu, aku adalah korban kecelakaan bus, saat itu aku memutuskan untuk pulang naik bus, karena merasa malas membawa motor pulang. Aku bahkan merasa menjadi korban paling buruk, karena mata kananku buta. Tapi semua menjadi begitu indah saat mama memutuskan memberikan matanya untukku. Mama tidak ingin anaknya terpuruk lantas gagal meraih cita-citanya. Semua itu terjadi satu minggu setelah kepergian papa.

Tapi apa yang telah aku lakukan untuk mama, aku selalu saja meminta ini itu, seperti papa masih hidup. Padahal mama harus bekerja seorang diri. Bahkan mama, adalah wanita tangguh yang sangat luar biasa. Mama selalu rela memberikan apapun itu untuk malaikat kecilnya yang tak tahu balas terimakasih.

Sore itu aku merengek. Kembali merengek, hanya untuk sekedar meminta dibelikan raket. Hal yang sangat sepele, aku memarahi mama. Minta uang untuk beli raket yang paling bagus, itu artinya uang yang dikeluarkan jiga harus banyak. Tapi, mama tetap saja memberiku uang untuk segera membelinya.

Tanpa berpikir panjang aku langsung membawa motor, lalu pergi ke toko olah raga. Bukan raket yang kuperoleh. Berjarak setengah kilometer dari rumah, tubuhku kini tak berdaya, aku merasakan begitu sakitnya. Darah mengalir disekujur tubuhku. Aku langsung mengingat mama, dan juga kejadian tiga tahun lalu. Air mataku menetes, dan aku kembali pasrah sembari kupejamkan mataku perlahan. Ada rasa sakit dibagian kaki, anatara hidup dan mati, mungkin aku akan mati sekarang. Tak lama, kudengar ambulance datang, kemudian. Aku bahkan tak tahu aku dimana, dan aku tertidur pulas.

***
"Niit niit niit" 

Suara bedside monito, menandakan jantungku masih stabil. Tanganku berbalut perban, dan rasanya kakiku seperti hilang sebelah. Kulihat sekeliling ruang, tak ada kehidupan manusia, tak ada nafas yang bisa kudengar.  Hanya beberapa kali suara lalu lalang manusia dapat kudengar.

Percakapan itu menjadi hadiah paling indah yang pernah kuterima. Tapi ada kenyataan yang tak siap kuhadapi, aku tak merasakan kehadirannya, sesuatu yang membuatku menjadi lebih berguna. Kaki kananku entah kemana perginya. Aku menangis, memberontak memaki apa saja yang bisa kumaki. Tapi malaikat di sampingku, terus saja mengucapkan kata maaf. Dan erat memelukku.

"Seandainya, mama bisa memberikan kaki mama, akan mama berikan, Nak" 

Mama memelukku erat. Sepersekian detik hatiku langsung bergetar. Apa yang kulakukan terhadap mama sungguh tak pantas kuberikan. Mama ternyata menyayangiku, bahkan rela memberikan segalanya yang ia punya. Aku memeluk mama erat.

Suara mama tak lagi menyebalkan, karena suara mama adalah hadiah terindah yang pernah kumiliki.


Senin, 24 April 2017

Menangkap Asa

Izinkan senja berlakon iba
Saat mega merah terang beradu
Menggenggam asa di dermaga cinta
Melepas pengap pada angin nestapa

Jika angin pantai berhembus
Tak lagi mampu kaki menahan
Bahkan karang tak lagi kokoh
Baradu tunak bersama samudra

Saat mega merah lenyap
Serpihan asa mulai melayang
Bahkan jika langit berhiaskan bintang
Hanya ada cua dalam cengkeraman

Menunggu baskara menyembul cerah
Untuk menangkap asa yang hilang
Bersama genggaman tangan pelipur hati

Rabu, 19 April 2017

Rindu dalam Kata

Untukmu yang selalu berkata cinta datang terlambat.  Jangan gunakan kata ini untuk membuat penyesalan terbesar dalam hidupku.

Cinta kita tak pernah datang terlambat. Hanya saja dulu, kamu belum berhak untuk hadir. Aku dan kamu yang semula adalah dua insan yang tak saling, kini menjadi saling. Maka diantara percakapan senja kita, jangan biarkan kata terlambat itu muncul menjadi santau.

Akhir dari sebuah kisah yang memilukan, menjadi jelmaan gerimis yang menghiasi tawa kedua insan yang sedang asyik bercengkrama. Membalas tawa dan cubitan manis pipi. Ah, rupanya aku tak seburuk yang kupikirkan. Lihatlah dirimu yang kini hadir diantara siang dan malam, memelukku erat tanpa pernah lelah dan jemu.

Pernahkan kamu berpikir walau hanya sedetik untuk tidak membersamaiku. Rupanya tawamu pun bisa kuterjemahkan menjadi untaian kata indah bak rangkaian papan bunga. Aku dan kamu mungkin tak akan menjadi kita. Jika takdir tak berkehendak.

Aku berhenti manyaksikan tawamu dalam sekejap mata, menyimpannya dalam memori jangaka panjang semampuku. Wajahmu begitu elok, bulat, bola matamu coklat, lantas aku melihat tahi lalat ukuran kecil yang menambah rupawan wajahmu, sekarang tumbuh di batang hidung sebelah kiri.
Sesekali kuayunkan lembut kakiku untuk terus mengayun, sembari tangan membelai rambutmu, di ayunan belakang rumah. Lantas celotehmu tentang sembarang sejarah ilmu, akan terangkai dan masuk dalam telinga. Aku hanya harus terus mendengarkanmu lalu mengaplikasikan ilmu tersirat yang kamu ajarkan.

Sekali lagi aku beritahu, bahwa ini bukanlah cinta yang datang terlambat. Tapi ini adalah cinta yang datang diwaktu yang tepat, bersama dengan seseorang yang tepat. Lantas aku lupa bahwa air mataku terlalu lama menetes. Karena kerinduan ini hanya dapat tersampaikan melalui kata, bukan kenyataan.
Selamat tinggal Roy, kekasihku. Jiwamu hidup dalam kata, namun ragamu hilang ditelan bumi. Tanganku hanya mampu, menggenggam erat tali ayunan lantas kakiku masih asyik mengayun menikmati hembusan angin yang menggelitik rambut kaki ku.

Sesekali tanganku menari diatas kertas, menggoreskan setiap jengkal kerinduan yang menjadi kawan masa tua bersama sejarah, akan kuukir kisah kita. Tentang cinta yang datang diwaktu yang tepat.

Senin, 17 April 2017

Untitle

Sore itu aku melihatmu bermain dengan alunan melodi padi.  Terlihat bibirmu mencipta seringai yang indah bersama dengan padi yang menari, lalu saling menggisil satu sama lain.  Melodi alam yang tak pernah kamu lupa.  Sesekali kamu mengayunkan tangan, menyentuh padi dengan lembut, lantas menunduk untuk sekedar mencipta kegelian pada wajahmu.  Lantas senja berakhir, dunia seakan padam.  Langkah kakimu berjalan cepat menuju persinggahan penuh dengan qanun.  Tak terdengar suara sedikitpun, karena endapan kakimu nyaris sempurna pelan.  Bintang telah menggantung, mencipta keindahan dalam ruang tanpa atap.  Kamu duduk menanti datangnya santapan, sambil membayangkan betapa indahnya dunia luar. 

Keesokan pagi, bersama mentari, tanganmu menari memberi minum para kembang nan indah warnanya. Sesekali hidungmu nakal mendekat, lalu membuat matamu tertutup perlahan dan jantungmu sedetik tak berfungsi karena bangkis.  Ada yang selalu mencipta rindu dalam lubang kecil di tembok raksasa itu. Matamu dengan penuh keyakinan, membuat bibirmu tersenyum tanpa syarat.  Menyaksikan prajurit muda yang sedang berlatih. Membuatnya semakin bersemangat menunjukkan aksi heroiknya, sebagai prajurit yang dapat diandalkan.
.
.
.
Belum usai
Aku tidak pernah mencipta rindu meski hanya seujung jari.

Selasa, 11 April 2017

Kembali mengenang April

Jika april datang lebih awal
Izinkan aku datang lebih lambat

mengikat tali tak semudah melepaskannya

Jangan menganggap hati dapat bermain
Layaknya permainan yang mudah diakhiri

Jika april datang terlambat
Izinkan aku datang lebih awal

Agar aku lebih siap menjalani april penuh hampa

Agar aku siap menata hati yang akan luka

Jika april tak pernah datang
Izinkan aku menyapa

Bahwa hatiku akan selalu baik tanpamu

Jika april berkuasa
Izinkan aku memeluknya

Bersama dengan genggaman tangamu

Berkuasa atas rahasia

Senin, 10 April 2017

Membabat Aksara

Membabat Aksara
Aku membiarkanmu menikmati senja, di ujung dunia dengan batas pandang.  Tanganmu masih saja menggenggamku erat tak pernah lepas walau sedetik. Matamu bahkan enggan menatap siluet sunset yang tajam, hingga terlihat begitu jelas peraduan bola matamu tepat di wajahku.  Jingga adalah warna romantis yang pernah kita miliki, bersandiwara dalam lakon impian masing-masing. Lantas menjauh untuk saling menguatkan.

Semua berawal saat kisah kita tak lagi indah, terbongkar bersama jalannya waktu. Aku hanya sebatas anak manis yang kamu sukai dalam diam, lalu aku pemerhati sejati yang siap menatap matamu saat marah. Bukankah hati itu terikat sejak kita saling bersama. Menjelma aksara dalam bait puisi yang tercipta. Aku dan kamu bahkan tak tahu menamainya dengan apa. Bertengkar bukan menjadi hobi, tapi suatu kewajiban rutin yang harus kita lakoni. Mengalah adalah kewajibanmu, lantas aku hanya berhak berkuasa atas apa yang kamu inginkan. Terkadang, tak cukup bagiku untuk sekedar membuatmu mengalah, karena ada yang menarik saat tanganmu mulai menari di atas secarik kertas. Aksara arab mulai berjatuhan, musim semi tiba saat kau menulis. Semua akan terhenti lantas kamu pergi ke ujung belahan dunia, yang kita sebut sebagai syurga, sedang aku terbahak melihatmu kalah.
Bertahun lamanya, tak kulihat tatapan matamu. Kita bahkan tak saling bersapa dalam gelombang suara. Aku bangkit melupakanmu, namun hatimu tetap kokoh menanti yang tak pasti. Kuanggap kisah ini telah usai, terbang bersama angin yang telah membawaku pulang. Lantas sesekali kita bertemu hanya untuk saling sapa, tanpa tahu apa rasa. Tersenyum hanya sebagai kewajiban, bahkan hatiku tak lagi sama. Ada dia yang lebih menggetarkan jiwaku.

Dunia bukanlah milik kita, saat kita memilih pergi, maka akan ada saatnya kita ditinggal pergi. Skenario Tuhan selalu indah, datang di waktu dan tempat yang tepat bersama dengan seseorang yang tepat. Jika dalam hidup, kamu selalu menanti, maka suatu saat bungamu akan merekah pada waktunya. Tapi, kesabaran adalah kunci utamanya. Bukan keinginanku untuk kembali hadir, namun kehendaknya yang membuat mata kita saling bertatap lewat layar. Namun apa yang kurasa masih biasa.

Lalu cibiran itu datang bersama kehampaan yang kuterima. Menangis bukan menjadi hal yang akan kulakukan. Karena hatiku berbalik arah dengan cepat. Seperti nahkoda yang selalu siap memutar 180°seperti itulah hatiku. Siapa nahkodanya? Tentu itu masih aku. Lantas kita bersama dalam cibiran tentang kita, yang membuat mata saling tersipu malu. Jika awalnya hanya ada kata tak acuh, maka sempurna sudah tak ada rasa.

Hingga ada satu masa saat mata kita saling menatap. Gemetarnya tanganku tak lagi sanggup tertutup, bibirku kelu, menyebut namamu. Namun, hadiah terindah datang saat tanganmu mendarat di bahuku. Sepasang bola mata itu tak pernah berbohong, bahwa ada rasa lama yang kamu simpan  rapat. Kini ia telah menemukan pemiliknya, kembali kau genggam erat ratu hatimu, itu aku yang tak kunjung paham. Namun tanganku mulai melepas.

Setiap getaranku membangkitkan aksara, tertulis berbait puisi yang menjulang tinggi. Pengharapan atas rasa cinta, kini habis ditelan waktu. Semua hanya butuh proses. Jadi aku pergi menjauh untuk percaya bahwa kamu tercipta untukku. Namun, saat kukembali. Aksaramu telah habis kau babat. Berganti dengan kata indah yang bukan untukku.

Dalam singgasana impianku, tawamu renyah kurasa, tapi diluar singgasanamu, air mataku mengalir tak henti, meratapi penyesalan atas cinta yang lamban. Membabat aksara adalah lakon atas perintah Tuhan.

Berbahagialah, agar kelak aku-pun bahagia....

Jumat, 07 April 2017

April

Bulan April menjelma rasa
Musim penghujan dengan sekelabat rindu
Mengubah butiran hujan menjadi cinta
Memaknai april dengan syahdu

Goresan tinta mencabik rasa
Mencipta kenangan dalam lembaran lama
Jika benang merah tak tercipta
Biarkan mawar kembali pukah

April berlalu
Tapi mawar masih layu
Jika tak ada malarindu
Pastilah mawar merekah ayu

Metro, 07 April 2017

Minggu, 02 April 2017

Kita adalah benar

Saat kaki kita saling melangkah,
Melawan setiap keraguan
Adalah benar bahwa kita berjuang...

Saat tangan kita saling menggenggam,
Melawan rintangan
Adalah benar bahwa kita saling setia...

Saat hati kita saling terpaut
Mengucap sebuah janji
Adalah benar bahwa kita saling menyatu...

Saat mata kita saling bicara
Memancarkan cahaya suci
Adalah benar bahwa kita adalah takdir...

Adalah benar bahwa makhluk hidup diciptakan dengan pasangannya, pun begitu dengan manusia...

Jakarta, 02 April 2013

Sabtu, 01 April 2017

Pengikat Keluarga

"Yang penting menikahlah dengan orang yang kamu idolakan nduk" Tangannya yang keriput mengupas bawang. Membicarakan pernikahan selalu tak ada ujungnya. Jika bukan karena pria sialan itu mungkin aku sudah menikah sejak dulu, atau bahkan anak-anakku yang imut sudah mulai merengek minta uang saku sekolah. Dia bukan ibuku, dia adalah nenekku.

"Masa menikah dengan idola, Nek?" Dahiku mengernyit pertanda penolakan atas kalimat nenek. 

"Kamu pasti senang kalau menikah dengan idolamu, Nduk" 

"Tapi, Nek. Kalau aku mengidolakan Boy William bagaimana?, kan dia tidak mungkin menikahiku" Nenek tertawa, lantas menanyakan siapa pula Boy William itu. Dia mengelus rambutku, kemudian kujelaskan bahwa Boy William adalah artis ganteng. 

"Itulah kesalahanmu, Nduk. Kamu salah mengartika idola" Kali ini nenek sambil asyik menggoreng tempe mendoan. Sedangkan aku, malah asyik menyantap mendoan yang sudah masak. membuat piring berisi mendoan jadi kosong terus, saat nenek hendak meletakkan mendoan yang sudah masak pada gorengan selanjutnya.

"Kalau hanya menyukai fisiknya, itu bukan mengidolakan. Mengidolakan dalam kamus Nenek adalah menyukai sikap dan kasih sayangnya pada Allah. Pasti, kamu akan menikahi orang yang seperti itu bukan?" 

"Haaahh ii... yaa... Nek" Aku samabil mengeluarkan angin dari mulutku, untuk mendinginkan mendoan panas yang sudah terlanjur masuk dan membakar lidahku. 

"Makan kok sambil bicara, habiskan dulu makananmu" lirikan mata nenek sangat mengerikan kalau masalah melanggar etika makan. 

Ngomong-ngomong, dia bukan nenek kandungku. Dia adalah adik ke empat dari kakekku. Tapi bagiku dia tetaplah nenekku. Dulu, saat aku kecil aku tinggal di rumahnya, bersokalah. Lalu aku sering bertengkar dengan anaknya, yang kusebut dia sebagai pamanku. Selisih usia kami adalah tiga tahun.

***
"Aku mau kuning telurnya, aku ngga suka putihnya, tapi masakin dua ya Nek" Aku menyebut pesanan untuk sarapan sebelum sekolah. Sedangkan tangan nenek dengan sigap memisahkan kuning telur dari putihnya.

"Aiiihh, lagi-lagi aku jadi makan sisaanmu" laki-laki itu sebal. Mukanya memang terlihat sebal, tapi percayalah hatinya lapang seperti samudra. 

"Ayooo, kita ke sekolahnya bareng, Paman" aku menarik tangannya, saat aku telah menyelesaikan suapan terakhir. Setiap hari, aku memang selalu mengganggunya, mengalahinya dengan meminta ini itu dari nenek apa yang dia suka, lalu dia hanya akan mendapat sisanya saja. Tapi, dia selalu mengalah.

Aku hanya tinggal bersamanya selama empat tahun, tapi aku bahagia pernah tinggal dan menemukan banyak ilmu di sana. termasuk ilmu menjahili orang. Pernah suatu saat aku menyembunyikan kopiah pamanku sebelum dia berangkat sekolah, lalu dia dimarahi habis-habisan dengan nenek. Membuat nenek berlarian menuju toko terdekat untuk membelikannya kopiah baru. Setelah itu, kami berlarian menuju sekolah, karena bel sekolah sudah terdengar saat nenek membawa kopiah baru. 
Bukan hanya kopiah, segala hal yang menurutku terlihat sudah tak layak pakai akan aku sembunyikan di dalam lemari rahasia. Hingga akhirnya saat aku pergi, semua barang milik pamanku terbongkar.
 
***
"Dek, kamu ngga mau menikah sama dia aja dek?" Ibuku, menghentikan lamunanku mengenang masalalu.

"Aku ikut Ibu aja. Apa kata Ibu aku ikut" 
Kepalaku bersandar di bahu ibu. Kemarin saat aku mengunjungi keluargaku, termasuk di rumah paman itu. Pernikahan menjadi topik yang istimewa. Tak ada yang spesial, hanya saja memang ada sedikit perjodohan. Entah itu bercanda atau serius. Tapi tiba-tiba Nenek merestui. Atau mungkin itu juga karena Nenek sedang bercanda. 

Malam itu, aku berlari ke atap. Menatap gemintang dan rembulan yang saling menyempurnakan. lihatlah jika dihubungkan dengan garis, bahkan mereka akan terhubung satu sama lain. 

"Itu serius, Bagaimana?" Seorang laki-laki berdiri di sampingku, tangannya terlihat gemetar menggenggam pagar besi pembatas.

"Ah, apanya yang serius" Aku seperti tahu arah pembicaraan ini.

"Aku siap bertanggung jawab atas kamu, kamu bisa? Kamu mau?" Deru nafasnya terdengar gemetar. Sesekali dia menjinjit, lalu menarik nafas menunggu jawabanku.

Aku memandanginya sebentar, lalu pergi untuk duduk di belakangnya "Kalau Nenek merestui, aku siap. Bukan hanya Nenek. Tapi jika semuanya merestui, apapun itu aku yakin dan siap" Tak ada keraguan saat aku menjawab, semua keluar dengan sendirinya dari mulutku. 

***

"Kak, makan dulu. Aku juga buru-buru, tapi sudah kusiapkan putih telur di meja makan, ah iya. Aku berangkat ya" Tanganku menyalaminya, meminta rido untuk segera berangkat ke kampus. Melanjutkan studi S2 bersama suami memang selalu menyenangkan apalagi di negeri orang.
Setelah kuingat, perkataan Nenek ada benarnya, idolaku akan menikah denganku, dulu saat kecil aku pernah mengidolakan paman itu, paman keren yang selalu mengalah dan luar biasa. Pertemuan, lalu perpisahan panjang. Mengubah pribadinya menjadi luar biasa.
"Kamu melamun mulu, kalau lihat bulan" hembusan angin membawa aroma parfumnya sampai kehidungku.
"Eh? Sini kak duduk" Tanpa ragu dia langsung duduk di sampingku, membelai lembut rambutku.
"Terimakasih ya, sudah hadir di waktu yang tepat. Setelah sekian lama aku menunggu"
"Hah?? Menunggu? Siapa yang ditunggu?"
"Ini gadis cantik, yang selalu membuatku mengalah" Tangannya dengan segera mencubit pipiku.
"Ini takdir, bahkan aku tidak pernah memikirkan ini. Mungkin agar keluarga kita tidak terlalu terpecah lebar, sehingga kita harus menyatu" kepalaku bersandar dibahunya. 
Bercerita tentang masalalu dan menikmati bulan adalah hal paling indah yang pernah aku lakukan dengannya, ditambah dengan praktik ekspresi yang dulu pernah dilakukannya. Aku bahagia. Kami adalah tali. Pengikat keluarga.
*terinspirasi kisah seseorang*