Selasa, 18 Oktober 2016

Flaminggo



Sudah hampir sepuluh menit lidahku menjadi kelu. Suasana seperti ini sudah bisa aku tebak sebelumnya. Tapi ternyata aku belum juga siap menghadapinya. Lelaki di hadapanku ini hanya memandangi kotak warna tosca dan sebuah undangan dengan warna senada di hadapannya.
"Ibam, aku harus pulang sekarang. Ibu baru saja mencariku. Sudah banyak tamu menunggu di rumah." Akhirnya keluarlah kalimat itu. Sedari tadi aku menahan untuk tidak mengucapkannya. Tapi aku harus bergegas. Aku tidak ingin membiarkan hatiku kalah lagi dengan keadaan. Aku berdiri dan segera menuju pintu keluar kafe.
"Arlita, semoga kamu bahagia." Suaranya parau. Dia tidak menatapku. Aku menoleh dan mempercepat langkahku untuk segera pergi. Sekuat tenaga mencoba menahan bulir air di kedua bola mata agar tak sampai jatuh. Keputusan untuk bertemu dengannya hari ini adalah kesalahan besar. Hingga saat ini aku belum juga sampai di rumah. Aku kini sibuk membuka kenangan yang telah lama aku simpan rapi dalam ingatan.
***
Aku masih duduk termenung menikmati senja sore ini, banyak kenangan pahit di pantai dekat rumahku, dulu saat aku rindu pada ibam aku selalu kesini menuliskan kerinduanku, dan membuat kertas-kertas itu terkumpul setiap harinya. Lima tahun aku tak henti menulis saat mengingat tentang ibam.
Tak pernah ada yang salah dari pertemuan kita bukan? Yang salah hanyalah hatiku yang tak bisa dikendalikan
Aku menuliskan kata demi kata yang kurangkai dalam kertas origami yang sengaja kulipat bentuk flaminggo, harapanku suatu saat semua kata ini akan terbang bersama flaminggo ke hadapanmu.
Bukan kamu yang memulai semua ini, aku tahu. tapi entah darimana datangnya perasaan ini aku juga tak tahu. Bagaimanapun kita adalah dua insan yang tak pernah berjumpa sebelumnya. Bagaimanapun ini adalah takdir yang telah dituliskan tuhan untukku dan untukmu.
Pertemuan pertama kita, sepertinya aku yang membuat takdirnya, tapi tidak. Semua itu juga sudah ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Hingga kebetulan-kebetulan yang pernah aku rasakan itu juga kebetulan yang pernah ditulis oleh-Nya.
jatuh hati dengan Ibam bukanlah keinginanku, tapi kenyataannya perasaan itu hadir cepat sekali dan sulit untuk dikendalikan. Mungkin karena setiap nasihatmu dan pesan kirimanmu membuatku nyaman sehingga hatiku benar-benar harus terpaut disana dan membuatku menyusuri lebih dalam tentangmu dari penjuru hati manapun. Sampai aku harus tersesat lama di ruang gelap ini. Akankah kamu membukakan pintu untukku pulang atau membiarkanku hidup dengan cahaya didalam ruang ini.
kenyataannya aku tetap ada di dalam ruang tanpa cahaya ini selama lima tahun.
Bukan hanya sekali aku mencoba merelakanmu, merelakan setiap perasaan yang muncul. Semua itu bukan menambah cahaya terang tapi membuatku terkubur semakin dalam.
Pernah saaat itu aku memblokir semua sosial media milik ibam. Itu adalah salah satu upayaku agar bisa melupakannya, namun tiba-tiba saja ibam hadir menelponku dan memberikan semangat untuk pendidikanku.
Pertemuan yang pernah aku buat dengan anggapan merubah takdir. Ternyata semua itu bukan aku yang merubah takdir. Hanya saja pertemuan pertama yang aku buat itu adalah takdir Tuhan, begitupun kebetulan-kebetulan yang membuatku semakin gencar menyukaimu dan bertahan hingga saat ini. Semua pernah aku lakukan, tapi hati tetaplah hati. Merelakan itu sulit tapi pasti. Aku yakin entah dibelahan dunia mana akan kutemukan keadaan telah merelakan mu dengan semua perasaan yang kubawa.
“Detik ini, dengan flaminggo yang kubuat bersama dengan kata yang sudah terangkai, akan kulepaskan semuanya pergi kehadapanmu, semoga akan sampai ditanganmu dengan waktu yang tepat”
***
"Mbak Lita kan sekarang usianya sudah mau dua puluh empat. Ada pekerjaan tetap juga. Kenapa nggak dicoba dulu? Nggak baik lho kalau langsung menolak." kata ustadzah Fina sore itu. Aku semakin pening. Semua orang seakan mendukung niat mas Fajri untuk mengajakku taaruf. Fajri Irsyaqi, seorang engineer di satu perusahaan terkemuka. Aku mengenalnya lewat suatu komunitas sosial dua tahun lalu. Dia adalah salah satu pendiri komunitas tersebut. Kami sering bertemu di acara bakti sosial yang diadakan komunitas itu. Aku akui, mas Fajri memang enak dipandang. Bukan itu saja, jiwa sosialnya sangat tinggi. Dia bahkan masih bisa membagi waktu antara pekerjaannya di kantor dengan kegiatan komunitas yang dia dirikan bersama dua orang temannya. Selain itu, dia juga pribadi yang paham betul tentang agama. Kami tidak akan pernah melewatkan shalat berjamaah meski sedang ada kegiatan di luar. Siapa lagi kalau bukan mas Fajri yang mengajak dan mengingatkan. Kalau wanita normal pada umumnya tidak akan sepusing ini saat dia menyampaikan niat baiknya. Bahkan mungkin akan sangat bahagia. Sepertinya aku ini memang harus segera bangun. Menunggu sesuatu yang tak pasti berarti mempertaruhkan waktuku yang sia-sia. Toh orang yang ditunggu tidak pernah terlihat mempersiapkan apapun. Malam itu juga sujudku lebih panjang, doaku semakin keras. Aku ingin meneguhkan hati agar tidak lagi hilang arah seperti ini.

Paginya dengan keyakinan yang susah payah aku kumpulkan, aku mengajak Ibu untuk membicarakan hal penting ini. Aku menghampiri Ibu yang sedang sibuk di dapur. Memasak opor ayam kesukaan Bapak untuk menu akhir pekan ini.
"Ibu masih ingat mas Fajri?" aku memulai percakapan.
"Yang ngirim email ngajak kamu taaruf? Teman satu komunitas kamu?"
"Iya bu. Dia boleh ke rumah?"
Seketika Ibu membalikkan badan, menatapku dekat. Matanya seakan mengungkapkan keterkejutannya.
"Mbak Lita berubah pikiran? Bukannya email itu sudah kamu terima satu bulan yang lalu? Boleh dong dengan senang hati, Bapak juga pasti mengizinkan. Niat baik harus disambut baik kan? Sana deh balas dulu emailnya. Setelah itu bantu Ibu masak ya mbak. Mood masak Ibu jadi bagus hari ini." dia tersenyum manis sekali. Aku membalas senyumnya dan berlalu masuk kembali ke kamar.
"Kalau niat Mas Fajri masih belum berubah, mas dan wali sudah ditunggu Bapak dan Ibu di ruuntuk bersilaturahmi." hanya itu balasan yang aku kirim.

Selang tiga hari tepatnya hari Sabtu sore, mas Fajri dan Ayahnya datang bertamu ke rumah. Mereka berdua lebih banyak ngobrol dengan Bapak.
"Saya hanya karyawan biasa pak. Selain pekerjaan di kantor saya juga bantu-bantu di komunitas yang sama dengan Arlita. Setidaknya saya ini bisa bermanfaat buat orang-orang di sekitar saya." Begitu jawaban mas Fajri saat ditanya Bapak tentang aktivitasnya sehari-hari. Bapak melirikku dengan senyum yang lucu. Malam sebelumnya aku sudah menceritakan sedikit tentang mas Fajri pada Bapak. Dia jelas bukan karyawan biasa, karirnya sangat bagus. Dia juga pendiri komunitas itu, bukan hanya sekedar bantu-bantu. Jawaban mas Fajri yang rendah hati itu sepertinya akan mempermudah jalannya untuk mengambil hati Bapak. Selama berbincang dengan mas Fajri entah mengapa rasanya berbeda. Meski sudah sering bertemu di beberapa kegiatan komunitas, kali ini lain. Mungkin karena perbincangan sore itu sangat serius.
Semua memang sudah dalam kendali-Nya. Jika tidak untuk bersatu makan akan berpisah. Kotak tosca yang kukirimkan pada ibam tidak datang diwaktu yang kuharapkan, tapi dia datang di waktu yang telah ditentukan oleh-Nya. Karena pertemuan kita hanyalah untuk sebatas pengingat.

Hsil Kolaborasi antara Antika dan Nayunda

2 komentar: