Selasa, 27 September 2016

Kota Kenangan




Maafkan aku,
Sayangnya aku lupa dan kehilangan arah
Bolehkah aku meminta peta untuk kembali keluar dari perangkap kenangan dan ilusimu?
Bolehkah aku meminta bayanganmu pergi menjauh dari hidupku?
Aku sudah berusaha
Tapi nihil….
Nihil….
Nihil…. dan selalu nihil hingga sekarang….

KAMU DIMANA SEKARANG?

Aku kehilangan arah, aku tersesat dalam hutan hatimu, aku kehilangan kunci keikhlasan dan kerelaan
Maukah kau bersedia menunjukkan peta jalan keluar?

Tak perlu kau antar aku hingga pintu keluar, cukup berikan aku secarik peta kota kenangan ini, agar aku bisa keluar dari kota ini dan hidup dengan damai tanpa air mata

Percakapan di Ruang TV



Keramaian duka di rumah ini membuat hatiku terlihat kokoh dihadapan lalu lalang manusia, tapi tidak pada kenyatannya, seperti teriknya matahari siang bersama dengan jatuhnya bulir-bulir air hujan. Prosesi pemakaman yang begitu cepat hanya meninggalkan para pelayat yang silih berganti datang ke rumah, untuk memberi nasehat dan motivasi bagi keluarga yang berduka. Aku tak mengerti tentang rencana Tuhan dibalik ujian ini. Yang aku tahu saat ini ayahku telah tiada dan aku adalah seorang kakak pertama yang seharusnya menjadi contoh dan pelindung bagi keluargaku setelah kepergiannya.
Namaku Lena, aku duduk di kelas 5 sekolah dasar. Malam itu aku mendengar percakapan mereka di ruang TV. “Operasi untuk Mas bisa dilakukan besok” Suara ibu membuat jantungku berdegup, pikiranku kehilangan kendali memikirkan perkataan ibu. “Siapa yang akan operasi?” Gumamku dan memaksa mataku terpejam. “Iya Dik, berarti besok kita ke RS saat anak-anak berangkat sekolah, jangan sampai mereka mengetahui hal ini” Jawab ayah. “Iya Mas, besok akan ku sampaikan pada mereka kalau kita ada tugas ke luar kota lima hari”. Air mataku menetes demi mendengar perkataan ibu, ibu akan berbohong pada kami, apa yang harus aku lakukan, mungkinkah aku berteriak “Ibu akan bohong?”, tapi jika aku melakukannya, ibu pasti akan marah. Dan akhirnya aku menyerah untuk melakukan hal itu. Aku memaksa pikiranku untuk tidur.
Kicauan burung diiringi dengan cahaya matahari yang menembus awan-awan langit menandakan cuaca hari ini cerah. Aku dan adikku sudah bersiap kesekolah. “Lena, Putri, hari ini kalian dijemput Mas Jon ya” Ujar ibu sambil merapikan pakaian putri. “mengapa bu?” Jawab putri manja “memangnya ibu dan ayah akan pergi kemana?” Selidikku. “Ibu dan ayah akan ke luar kota, mungkin hanya 5 hari, sudah sana masuk mobil, nanti terlambat loh”.Iya bu” Kami berlari memasuki mobil ambulan ayah. Aku terdiam tak bicara sedikitpun dengan ayah, saat diperjalanan hanya putri yang yang berceloteh berusaha menghafal perkalian nya. Aku tak percaya ibu benar-benar berbohong pada kami, ibu dan ayah benar-benar jahat pada kami.
Kedatangan ibu sempurna, sesempurna Kebohongan ibu hingga putri tak menyadarinya. Mereka pulang membawa banyak oleh-oleh, tak ada sedikitpun jejak yang mereka perlihatkan, bahwa mereka telah pergi ke RS. Saat itu Aku pikir operasi ayah berjalan lancar, dan penyakit itu sudah hilang, tapi 5 bulan setelah kejadian itu ayah kembali lagi sakit, dan kali ini ibu tidak berbohong, karena kami sedang libur kenaikan kelas, kami berlibur di RS selama 8 hari dan saat itu ayah melakukan operasi ke-2nya. Saat aku bertanya pada ibu apa penyakit ayah, ibu bilang ayah hanya sakit perut kebanyakan makan sambal, dan aku percaya begitu saja dengan perkataan ibu. Ayah kembali ke rumah dengan keadaan sehat dan kembali lagi bekerja, begitu juga dengan ibu. Aku dan Putri menghabiskan liburan dengan menunggu ayah dan ibu pulang bekerja. Tiga tahun berlalu ayah kembali sakit, dan melakukan operasi ke-3 nya. Tiga hari sebelum ayah ke rumah sakit untuk operasi, lagi-lagi aku mendengar percakapan ibu dan ayah, di ruang TV. “Mas, apa mau transplantasi ginjal saja?” Tanya ibu. “Tidak lah Bu, ditransplantasi ataupun tidak hasilnya akan sama, jika sudah kehendak Allah, saatnya ayah pergi ya harus pergi, tapi ayah kan harus sehat untuk melihat putri-putri kita tumbuh dewasa, lagian transplantasi itu kan mahal biayanya, daripada untuk transplantasi lebih baik untuk tabungan anak-anak sekolah”. Mendengar jawaban ayah air mataku mengalir, berita apa yang hadir tengah malam di telinga ini Tuhan. Selamatkan ayahku berikan dia kesehatan. Saat percakapan itu aku tahu penyakit ayah, Malam saat hujan turun disertai gemuruh petir dan juga kilapan cahaya petir yang membuat hatiku semakin tersiksa. Operasi ayah yang ke-3 berjalan lancar, ayah kembali sehat. Ayah kembali ke puskesmas untuk bekerja. “Ayah berhenti kerja saja si” Kataku malam itu, saat duduk di ruang TV. “Kalau ayah berhenti kerja, Lena berhenti sekolah dong?” Jawab ayah mengelus rambut ikalku. “Ayah sudah sering sakit si, Lena ngga mau ayah sakit karena Ayah selalu bekerja keras untuk biaya sekolah Lena dan adik-adik”. Aku memohon lagi dengan ayah. Sekolah itu penting nak, ayah tidak akan memberikan kalian harta, karena sebanyak-banyaknya harta yang ayah berikan, suatu saat akan habis juga, berbeda dengan ilmu, maka dari itu walaupun ayah sakit, kamu harus buktikan dengan ayah bahwa kamu tidak mengecewakan ayah, dengan perjuangan ayah saat ini”. Pelukan erat ku berikan pada ayah “Lena berjanji akan banyak menuntut ilmu, Lena akan membuat Ayah bangga, dan tidak akan membuat kerja keras Ayah sia-sia”. Sudah 3 tahun dari percakapan itu ayah tak pernah mengeluh sakit, bahkan ayah tak pernah kerumah sakit. Hingga senja di sore itu tiba ayah kembali jatuh sakit, tak dapat lagi melakukan apapun, ibu berusaha membawa ayah ke rumah sakit, dan aku sangat takut mendengar berita itu, ginjal ayah mengalami atropi, dokter yang mengatakannya tepat di depan aku dan ibu. Sudah lama ya bu sakit ginjalnya?” Tanya dokter. “Sudah sekitar 8 tahun dok” Jawab ibu cemas. “Wah luar biasa hebat, selama 5 tahun bertahan dengan ginjal yang sudah rusak, Bapak memiliki motivasi besar untuk bertahan hidup Bu” Jawab dokter. Percakapan itu membuat hatiku menangis, ayah bertahan pasti karena ayah ingin melihat anaknya sukses. Betapa tersiksanya ayah selama ini bertahan hanya dengan 1 ginjal yang sudah rusak. Sejak saat itu aku berjanji untuk tidak mengecewakan ayah, sebesar itu pengorbanan ayah, maka pengorbananku harus lebih besar dari semua itu. Sejak saat itu ayah tak lagi bekerja setiap hari, karena ayah harus melakukan cuci darah. Aku mengerti saat ini ayah harus pergi meninggalkan kami, tiga bulan setelah percakapan indahku dengan ayah di ruang TV. Ayah akan menjalani kehidupan yang baru. Lebih baik ayah pergi daripada ayah harus merasakan sakitnya penyakit ayah. Semua Percakapan di ruang TV akan menjadi saksi kasih sayangmu, dan aku akan mengingat setiap detail dari nasehatmu. Aku mencintaimu ayah.

Senin, 26 September 2016

menatapmu dibalik layar



Lewat layar ini aku menatapmu
Menikmati indah senyuman itu
Menikmati wajah manismu…

Menikmati tatapan matamu yang penuh dengan keceriaan
Menikmati wajahmu yang penuh dengan semangat

Semua ekspresimu tergambar di layar ini
Senang
Lucu
Sedih
Semua ada di layar ini

Dan aku menikmatinya…
Hanya dibalik layar ini aku bias menatapmu
Dan hanya di balik layar ini aku bebas menatapmu

Kapanpun itu,
Ketika mentari pagi bercahaya atau pun ketika gulitanya malam menghampar
Di balik layar ini, aku bebas berkata apapun sesukaku

Hanya di balik layar…
Karena aku belum berhak melihatmu dengan nyata….

Minggu, 25 September 2016

Langitku Langitmu


masih dilangit yang sama aku merindukanmu
menunggu setiap waktu yang akan menjadi pertemuan kita
menghitung setiap detik yang kugunakan untuk merenung
menyaksikan langit yang masih tetap sama dengan langitmu..
aku tahu…
Jarak begitu tangguh memisahkan kita
Namun…
Ada hal yang tak boleh kita lupakan
bahwa kita masih ada di langit yang sama
Untaian doa dan kesetiaanmu
adalah hal yang akan menjadi semangat dalam hidupku
Dan langitku adalah langitmu
Bumiku juga bumimu
Meski kita tak saling menatap
~Aaraa~

Impian 13 Provinsi



Senja yang sangat indah, kunikmati bersama kicauan burung-burung di taman belakang rumah, bersama dengan suami yang tak pernah kusangka akan bersanding denganku saat ini. Menikmati secangkir teh panas bersama dengan hembusan angin hujan yang menerpa wajahku, membuat rambut putihku terurai bersama angin. Kuhabiskan sisa hidupku bersamanya. Seorang kekasih dalam buku impianku, yang kini duduk dihadapanku, dengan sesekali menyuapi ku sesendok Teh panas yang telah ditiupkannya untukku. Terasa amat manis.
Kami sangat menyukai senja yang datang bersama gemercik air hujan, kami juga menyukai senja dengan hamburan bunga dandelion di taman rumah. Saat ini kami hanya tinggal berdua, anak-anak kami sudah tumbuh menjadi orang tua bagi anaknya, maka kuharap mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.
“Bagaimana jika kejadian 30 tahun lalu tidak terjadi?” Sesekali dia mengingat masa lalu saat duduk berdua.
“Jika kejadian 30 tahun lalu tidak terjadi, maka kamu bukanlah takdirku, dan kita tak akan pernah menikmati senja ini” Kutatap tetesan air hujan yang semakin lebat. Aku tahu semua ini terasa sangat mustahil. “Aku dan dia” menurutku kami tak akan pernah bersatu. Bahkan hanya sekedar berjumpa pun aku rasa tidak akan terjadi. Tapi, ketika takdir berkata aku dan dia harus bertemu kembali, maka aku dengannya pun akan dipertemukan. Begitupun sebaliknya. Aku tak pernah mengharapkan pertemuan ini lagi sejak 38 tahun yang lalu, saat aku telah berhasil memaksa hatiku untuk meninggalkan perasaan itu. Perasaan yang kumiliki selama 7 tahun, kurasa begitu. Tapi kenyataannya perasaan itu tetap kumiliki hingga saat ini, saat aku duduk dihadapannya dengan menunggu suapan sendok teh hangat dari tangannya yang manjulur kemulutku.
“Maafkan aku” Kutundukkan kepala dan menyesali perbuatanku.
“Selalu saja meminta maaf ketika sedang membicarakan masa lalu. Bukankah seperti yang kamu bilang, ini sudah takdir Tuhan. Sudah bagian dari rencana Tuhan”
“Tapi, seandainya dulu aku mau menunggumu, dan aku percaya kata-kata ibuku, maka kita akan bersama dari dulu, memiliki 2 putra dan 2 putri, seperti impianmu. Bukan hanya itu, aku tak harus repot-repot menyiksa batinku untuk melupakanmu. Semua itu penyesalanku”
“Baiklah itu memang penyesalanmu, dan untuk itu aku mengakuinya. Bukankah dulu sudah sering kuingatkan bahwa dimanapun kamu berada, turutilah apa kata ibumu, bahkan aku menyesal karena harus menikahimu tanpa ibumu. Tapi semua ini juga kesalahanku, bukankah seharusnya aku tidak membuatmu menunggu, dan setidaknya, dulu kuyakinkan dirimu untuk menungguku saja. Tapi, sudahlah bukankah semua ini sebuah takdir untuk kita. Perkenalan, pertemuan, perpisahan, keegoisan, penyesalan, pertemuan, hingga akhirnya mencapai pada kebersamaan, yaitu tahap yang saat ini sedang kita rasakan”.
Hujan semakin lebat, percikan air mulai membasahi pipi keriputku yang sudah termakan usia. Aku memaksanya untuk masuk kedalam rumah. Kuharap pembicaraan ini akan berganti tema, namun ternyata dia sedang ingin mengingat masa lalu diantara kami. Aku memintanya untuk duduk dipangkuanku. Kusisir rambut berubannya dengan jemariku yang tak lagi mulus. Senyum yang sama saat pertemuan pertama kami, senyum itulah yang saat ini sedang  terpancar dari wajahnya.
Empat puluh tiga tahun yang lalu, saat pertama kali aku mengenalnya melalui pesan yang tersesat. Entah apa itu yang dinamakan dengan takdir, aku juga tak percaya saat itu. Hingga akhirnya berujunga dengan suatu pertemuan yang juga entah itu sebuah takdir atau hanya pemaksaanku saja. Semua terjadi dengan proses yang sangat panjang. Aku bahkan tak pernah tahu bahwa aku mencintainya. Bahkan aku juga tak pernah tahu bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Perasaan cinta itu bukan hanya sekedar cinta, tapi aku merasakan keyakinan terhadapnya.
Empat puluh tahun yang lalu. Aku menghapus segala perasaan ku. “Aku akan melupakannya, karena sungguh aku tak pernah mengenalnya. Jadi tak akan ada cinta antara aku dan dia” Begitulah penjelasanku terhadap Rukhsan. Ayah dari putra-putriku.
“Sudahlah jika memang kamu ingin bersama Darel, kamu bisa bersamanya”
“sungguh San, aku tak pernah merasakan cinta terhadapnya. Dia bukan siapa-siapa bagiku” Itulah kesalahan pertamaku, semua berawal dari kalimat itu. Bahwa aku tak pernah menganalisa perasaanku. Semua terjadi begitu saja, aku mengkhianati hatiku sendiri, aku tak pernah tahu bahwa ternyata aku telah mencintainya.
Tiga tahun kucoba untuk melupakanmu, kucoba untuk menghilangkan bayangmu. Mulai dari ikut serta dalam organisasi, hingga akhirnya aku lulus dan mencari beasiswa keluar negeri. Tapi usahaku benar-benar gagal. Kamu tetaplah menjadi kamu, kamu adalah seorang yang nyata ada dalam kehidupanku. Hingga akhirnya kabar itu tiba dimataku. Kabar pernikahanmu. Saat itu hatiku hancur, kamu tahu Rukhsan menjadi korban kemarahanku. Hingga saat ini dia tak pernah tahu bahwa aku mencintaimu.
Aku, 45 tahun yang lalu melangsungkan pernikahanku dengan Rukhsan, berharap dengan kehidupan yang bahagia, dan menjemput impian-impian bersamanya. Aku rasa, begitupun denganmu, yang akan menjalankan kehidupan mu dengan istrimu. Aku harap kalian akan selalu bersama dan bahagia. Itulah aku 45 tahun yang lalu.
Lagi-lagi aku ingat Tuhan selalu mendengarkan doaku. Doa yang selalu terucap dari bibirku. karena setiap keinginan yang menjadi doa akan terjadi pada waktu dan tempat yang sangat tepat. Aku hidup bahagia dengan Rukhsan, aku tak lagi menginginkan perasaanku pada Darel, begitupun dengan Darel yang bahagia bersama istrinya. Tapi aku lupa, bahwa tidak selamanya manusia bisa lari dari masa lalu nya. Dan aku juga lupa bahwa Allah selalu mempunyai skenario yang sangat baik dan Allah akan selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Keridhoan-Nya adalah kebersamaanku dengan Rukhsan hanya sampai saat ini. Bukan aku yang akan membersamainya hingga kematianku, tapi Rukhsanlah yang membersamaiku hingga kematiannya. Aku mencintainya, tapi lebih dari itu didalam hatiku ada dia yang ternyata menjadi takdirku.
Tiga tahun setelah kematian Rukhsan, tiga tahun berada dalam bayangan masa lalu dan masa depan. Keyakinan yang kumiliki tetaplah sama, perasaan yang kumiliki juga masihlah sama. Semuanya seperti terulang kembali seperti film yang sedang kuputar di depan mataku. Itulah saat pertama aku melihat senyum dari bibirmu, senyum yang sama, senyum sat pertama kita berjumpa. Dan tatapan mata yang sama, tatapan mata dari mata sipit mu, yang kini entah bagaimana kau turunkan pada anak laki-laki ku. Sebelum akhirnya disiang yang panas itu, aku tahu bahwa lagi-lagi mutasi pekerjaan yang membuatmu harus berkeliling Indonesia. Aku benar-benar terkejut sedang berhadapan dengan mu Tuan Abraham Darel.
Saat ini, umur kita tak lagi muda, aku sudah menjadi seorag janda, tapi aku tak tahu apa kabar dengan mu.
“Hai, masih ingat aku?, bolehkah aku duduk disampingmu?” Sinar matahari yang sangat terik, menghalangi mataku untuk membuka sepenuhnya. Hingga ku tutupi mata ku dengan tangan hormat diatas kedua alisku.
“Mmm… Maaf saya sedikit lupa ingat, silakan duduk” begitulah caraku melarikan diri dari kekhawatiranku bertemu denganmu.
“Haruskah aku berkenalan?. Namaku Abraham Darel” Dia menjulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Dan aku hanya kebingungan melihat sikapnya.
“Dimana suamimu?, apakah dia ikut?” ujarnya
“Dimana istrimu?, apakah kamu meninggalkannya untuk bertugas?” ujarku bersamaaan dengan pertanyaannya.
Aku tersenyum, dan menjawab pertanyaannya tanpa berkata Rukhsan telah tiada. Namun dia tak menjawab pertanyaanku, seperti yang kutahu, itu memang kebiasaannya.
Dulu aku sempat berdoa agar kamu mendapatkan kesempatan untuk bertugas di provinsiku, selama 20 tahun doaku terabaikan begitu saja. Sekali lagi aku katakan bahwa Tuhan selalu mendengar doaku. Tuhan selalu mewujudkannya di waktu dan tempat yang tepat. Setelah pertemuan itu, dan setelah aku menjadi guide mu di provinsiku. Saat itulah waktu yang tepat Tuhan mewujudkan doaku. Provinsiku memang menjadi provinsi ke-20 yang menjadi tempat tugasmu, dan provinsiku juga yang menjadi tempat terakhirmu menetap dalam pekerjaan dan manua bersamaku.
“Bagaimana ini, aku tak lagi bisa mencapai 13 provinsi yang belum kukunjungi. Karena kamu, aku harus menetap di provinsi ini.
“Ya mau bagaimana lagi, kalau kamu masih mau pergi berkeliling Indonesia dengan alasan mutasi pekerjaanmu silakan saja untuk pergi menjauh dariku” aku mulai berani menantangnya
“Bagaimana bisa, aku melepaskanmu setelah sekian lama aku menanti kebersamaan ini, lebih baik aku diam duduk disini bersamamu”
“Bagaimana kalau kita ganti sisa impian 13 provinsimu dengan Berkeliling bersamaku” Aku memberinya ide.
Begitulah kisahku, kisah impian 13 provinsi bersamamu, bersama orang yang selalu kunantikan kehadirannya sejak dulu. Bersama orang yang selalu setia menjaga perasaannya walaupun telah sempat memiliki dia yang lain. Karena terkadang hati kita bisa menyayangi dan mencintai dua atau lebih orang dalam satu masa, tapi cobalah menganalisis setiap perasaan yang hadir, jangan terburu-buru menyimpulkan, karena penyesalan itu benar-benar akan datang di akhir kejadian.