Sudah dua
tahun aku mengharap pertemuan dengan mu, seorang lelaki yang entah ada dimana.
Sejak semalam mataku hidup, pikiranku dipenuhi dengan kemungkinan yang akan
terjadi. Sebuah pertemuan yang diharapkan, mungkin juga pertemuan yang
dipaksakan. Tapi tetap saja ini adalah kebetulan yang telah Tuhan berikan. Bangunku
lebih pagi dari biasanya, meskipun tidurku juga tak secepat biasanya.
“apakah ini
rencana Tuhan, atau ini hanya rencana yang kupaksakan” Langkahku terhenti, aku
terdiam menyaksikan kemeja merah, jilbab merah juga bawahan hitam. Otakku terus
saja bergejolak meminta pembatalan, namun hati tetaplah hati, dia tetap ingin
melakukan pertemuan itu. hingga akhirnya aku tubuhku sudah tertutup rapi oleh
kemeja merah juga rok hitam. Rambutku masih saja berantakan, belum kusisiri. Ah
kenapa aku jadi kerepotan mengurus semua ini. ini hanya pertemuan biasa, bukan
pertemuan dua keluarga.
Akhirnya
pukul 08.00 WIB, jilbab merah telah menghiasi kepalaku, bibirku merekah warna
merah atas hadirnya gincu, tanganku dengan lihai menyolek wajahku, mulai dari
mata, alis, hingga bibir. Mataku tertuju pada objek penting didalam kaca.
“apakah aku
sudah berlebihan?” kutanyakan semua tanya yang menggantung dilangit-langit
otakku. Aku kembali ragu dan menghapus semua riasan di wajahku.
Kembali
kulihat wajahk yang sesungguhnya tanpa balutan make up.
“beeep … beeep” ponselku berdering tanda
pesan singkat masuk. Aku mengambilnya dan membukan pesan itu, hatiku
bergejolak. Kakiku seperti ingin melakukan akrobat lompat tinggi diatas kasur,
mukaku memerah seperti kepiting rebus. Sedang tanganku tak henti mengirimkan
balasan. Ketik, hapus, ketik, hapus, ketik, hapus. Menemukan kalimat terbaik
untuk membalasnya.
“Baiklah,
kutunggu didepan gang masuk asrama ya, hati-hati dijalan” hanya kalimat itu
yang akhirnya kukirim.
Sepatu
tubuhku benar-benar dihiasi oleh nuansa merah, dari mulai kepala, ingga bagian
kaki.
Kakiku mulai
melangkah pergi meninggalkan asrama, demi sebuah pertemuan yang mungkin bukan
suatu takdir Tuhan.
Kini aku
menyandarkan tubuhku ke pagar rumah orang, menungguimu dipinggiran jalan.
Padahal sebelumnya kamu sudah memintaku untuk menunggu di asrama saja.
Naun
keinginanku kini tak bisa ditebas, di tumbuh sangat cepat. Maka jadilah aku
sekarang menungguimu dipinggiran jalan. Otakku memutar kenangan tentang kamu.
Mataku memandang hilir mudik mobil juga motor yang lalu-lalang dihadapanku.
Hingga ada sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang, entah mengapa
mataku sangat detail, aku melihat kearah lelaki yang mengendarai mobil itu,
kurasa itu kamu, namun kakimu tak bisa menghentikan mobil, kamu malah
menancapkan gas, hingga mobilu melaju begitu saja. Mungkin matamu yang mulai
rabun, atau matamu yang sedang fokus mengendarai? Hingga kamu tak tahu bahwa
aku ada dipinggiran jalan itu.
Aku membuka
tas, kembali kulihat kamu melakukan panggilan untukku.
“Kamu
dimana?”
“Aku didekat
atm, tadi sudah lihat mobilmu, tapi kamu yang ngga lihat. Putar balik aja. Aku
nunggu dipinggir jalan” Antara bahagia juga sedih, sebenarnya apakah aku
melanggar takdir Tuhan jika aku meminta pertemuan ini lebih cepat. Aku belum
pernah bertemu dengannya, namun hatiku kerap memilih dia hadir. Hingga membuat
otakku menyerang dengan serangan pertemuan. Seperti ada demo di kepalaku.
Meminta sebuah pertemuan yang egois.
Kulihat mobil
hitam itu terparkir sempurna dihadapanku, jendela pintu kanannya mulai terbuka
perlahan. Kulihat tawa sumringahmu dengan lengkung sabit yang membingkai
sepasang bibirmu, kemabali kubalas dengan hal serupa. Namun tubuhku mulai
gemetar. Menatapmu.
“Ayo masuk
mobil, jangan buat kemacetan di kota orang” Kau buka pintu mobilmu. Lamunanku
kembali pecah oleh suaramu, kulangkahkan kaki ku, dan langsung menaiki mobil.
Aku tak pernah membayangkan pertemuan pertamaku akan semanis ini. kini sepasang
bola mataku hanya tertuju padamu.
“Mau kemana
kita?” lagi-lagi suaramu membuat otakku berhennti bekerja.
“Terserah
saja, aku ikut” matau kembali melihat jalanan yang sepi di depan. Aku mecubit pipiku sendiri, memastikan bahwa
ini bukanlah mimpi.
Sampai
akhirnya, matamu melihat disebelah kanan jalan ada sebuah taman indah disana.
Mobilmu merapat ke area parkir taman. Aku benar-benar terkesima olehmu, bahwa
ini mungkin adalah pertemuan yang memang sudah takdirku juga takdirmu.
Berjalan
memutari taman ini, mungkin adalah pilihan yang bijak bagi pertemuan yang
sebentar. “Jam tiga nanti, aku harus sudah ada di bandara loh ya. jadi jam 11
kita pulang” seperti sepasang kekasih kini kau malah menarik hidungku. Kalau
saja kau tarik, maa hidungku tetap saja akan pesek.
Aku
menikmatinya, menikmati terik matahari, menikmati duduk di taman kota
bersamamu. Aku juga menikmatinya. Berbicara denganmu.
Waktu selalu
berlari dalam kebahagiaan yang tercipta. Kutarik tanganmu kulihat jam tangan
itu menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hatiku kembali nanar, mataku mulai berkaca-kaca
pertemuan ini hanya sebentar saja, bisakah aku dan kamukembali hadir di
pertemuan kedua.
Kamu harus
kembali ketempat kerjamu, jauh disebrang indonesia bagian timur. Kembali hatiku
harus menerima bahwa kamu belum ditakdirkan untuk bertemu lama denganku. Bahwa
sepasang bola mata kita belum punya takdir untuk saling menatap kembali. Kucoret
daftar impianku. Karena bertemu denganmu adalah juga impianku.
“Terimkasih atas sepasang bola matamu, yang kini
memberikanku kepastian untuk menetap” kutuliskan kata dalam draft buku impianku.
Bandarlampung,
Jumat 28 Oktober 2016