Minggu, 06 November 2016

Takdir perpisahan

Kaki ku terus melangkah pasti,  penuh dengan keyakinan atas apa yang ada didepan sana.
Aku melihat Bulan sabit diatas sana lengkungnya Indah seperti senyum dibibirmu.
Cahayanya mungkin tak seterang saat Purnama.  Tapi aku melihatnya lebih Indah sabit malam ini. 
Deburan ombak yang merdu berpadu dengan suara jangkrik. 
Aku duduk di tepi pantai,  dengan nyiur kelapa yang lembut
Disana terlihat lampu petromaks seperti kunang-kunang di dalam hutan.
Kapal para nelayan membuat background yang Indah malam ini. 
Aku kembali berjalan menyusuri tepi pantai ditemani bayangan dan kenangan.
Ini adalah nyata pohon ditepi pantai yang pernah kita duduki berdua.
Disana kita tuliskan sebuah takdir. 
Takdir perpisahan atas kehendak-Nya.
Kembali kubiarkan tanganku menyentuh Batang pohon yang tumbuh melengkung. 
Membiarkan manusia duduk ditopangnya. 
Disinilah aku duduk,  ditempat Indah bersama alunan melodi alam yang menyatu.
 Dengan Batang pohon melengkung bak sabit malam ini.
Aku termenung. 
Bukan,  bukan termenung menunggumu, 
Karena aku tidak pernah lagi menunggumu sekarang. 
Sejak saat itu
Saat malam Bulan sabit,  aku menangis seorang diri disini,  duduk menyaksikan langit dan menunggumu pulang.  Aku seperti melihat bayangan mu berjalan mendekat.
"Apa yang kau tangisi? " seketika aku terkejut,  kutolehkan wajahku kebelakang,  cincin yang sama,  dan aku mengenalinya. Kutatap bola matanya.  Dan itu juga bola mata yang sama. Bola mata yang tak pernah diizinkan tuhan untuk kutatap lebih lama lagi. 
"Jangan biarkan hatimu dipenuhi olehku,  Akan kuberikan kunci yang pernah kau berikan,  sekarang bukalah hatimu,  bukalah untuk seseorang yang telah ditakdirkan untukmu"
"TIDAK!!!, AKU HANYA INGIN MENUNGGUMU!! " namun semua hanya sebatas kata yang tak pernah terucap.  Bibirku seketika membeku. 
Apa yang terjadi pada mulutku,  mengapa dia seperti terkunci.
"Jangan pernah menungguku lagi,  karena aku bukanlah takdirmu. Jangan lagi terlalu berharap dengan manusia, karena sakit yang kau rasakan saat ini adalah sakit atas kesalahanmu sendiri, gantungkan harapanmu pada yang Maha segalanya" matamu semakin tajam kutatap.  Tanganku menggenggam erat tanganmu.  Namun semilirnya angin hanya akan membuatku sesak. 
Air mataku mengalir deras.
Mataku menatapmu,  namun hanya sepersekian detik saja Tuhan menjemputmu kembali.  Sepasang bola mataku kembali tak berhak menatapmu. 
Kini hanya berteman angin, air mataku mengalir menyusuri pipi. Bayangmu terbang bersama hembusan angin. 
Angin membawamu pergi
Tanpa pamit aku hanya menggenggam bayang
Sungai menjarah di pipiku
Hingga angin tak mampu mengeringkannya
"Biarkan ombak menjadi saksi
Atas malam Bulan sabit yang menghitam
Takdir atas perpisahan dimulai
Bersama dengan lembaran baru yang semakin bersih
Sepasang kekasih tak pernah pantas menyatu
Walau hanya sebatas menatap
Bila bukan atas takdir tuhan
Maka biarkan ia terpisah jauh"
Metro,  01 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar