Senin, 27 Februari 2017

Mencari Cinta Sejati

Cerpen ini terinspirasi dari lagu dengan judul Mencari Cinta Sejati (Ost. Rudy Habibi)
Aku sedang menunggu, mataku tak henti melihat kanan dan kiri, jemariku tak henti memainkan ponsel, mengharapkanmu datang seperti ketidakmungkinan. Suara pengumuman pemberangkatan sudah dibunyikan. Aku masih duduk menunggumu di peron. 

“Vey,” ada tangan menyentuh bahuku, membuat kepalaku reflek menengok kebelakang lalu mendongak. 

“Yusuf?” Kuberikan senyum simetris dari bibirku. Dan yusuf memberikan selembar kertas. Aku bahagia entah apa isi dari kertas itu. Selama dia datang itu berarti dia akan ikut bersamaku. Kugenggam tangannya erat. Kami berjalan memasuki gerbong kereta. Namun langkahnya terhenti tepat di pintu masuk, tangannya pun lepas dari genggamanku. Hatiku berdesir, jantungku berhenti sedetik, kujatuhkan tas dari tangan kiriku. 

“Maafkan aku Vey,” matanya berkaca. Aku hanya diam, kubuka perlahan lembaran kertas di tangan kananku.

“Aku mencintaimu, namun aku harus tetap kembali. Jika takdir adalah milik kita, maka akan ada tempat terindah untuk kita saling bersama, kembali.”

Kutatap wajahnya, air mataku mulai mengalir. Kakiku ringan berlari cepat menuju tempat duduk, meninggalkan Yusuf tetap berdiri di depan pintu masuk gerbong kereta. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya peluit dibunyikan, tanda kereta berangkat. Aku melihatnya berjalan pulang. Tanpa sedikitpun menolehku. Hatiku tak bisa berpisah darinya. Kulangkahkan kaki menuju gerbong akhir kereta, hingga bisa kutatap punggungnya dibalik kaca jendela. Yang kutemukan adalah air matanya, tangannya melambai. Kubalas dengan isakan, kedua telapak tanganku sempurna menutupi bibirku, sedang air mataku mengalir deras membuat parit di pipiku.

Pilihannya tepat untuk kembali ke kampung halamannya, sedangkan aku harus kembali ke Negaraku. Pertemuan ini bukanlah kesalahan bagiku, karena aku bahagia pernah mengenal dan bertemu dengannya, meskipun pagi ini, saat kubuka mata aku tepat menjauh dengan jarak ribuan kilometer darinya. 

“kau dan aku tak bisa bersama, bagai syair lagu tak berirama, selamat tinggal kenangan denganmu, senyumku melepas engkau pergi”

***
Aku berlari menuju stasiun tempat Vey menungguku, ia ingin aku ikut bersamanya, tapi aku masih punya keluarga yang sangat membutuhkanku, akankah aku harus berlari dari tanggung jawab. Tapi aku mencintai Vey. Siapa yang lebih kucintai, bahkan aku bimbang. Aku menyusuri jalanan. Air mataku menetes. Sepanjang Jalan.

Teeet… teeet… 

Suara pengumuman pemberangkatan kereta sudah terdengar. Aku harus bergegas. Kupercepat langkah kakiku. Dan segera memegang bahu Vey. Wanita yang masih menungguku. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa, jantungku berdetak kencang napasku tersengal, semua seperti sesak. Tapi kata itu tetap keluar dari bibirku. “Maafkan Aku Vey” kuberikan lembaran kertas yang telah kutulis sebelumnya.

Vey adalah wanita hebat yang selama ini selalu mendukungku bahkan menemaniku saat aku tak punya teman di sini. Aku bahkan tak sanggup menyaksikan kepergiannya, tapi apa jadinya jika aku ikut bersamanya. Orang tua ku memintaku ke sini untuk belajar lantas aku bisa kembali ke kampung halaman untuk mengajarkan bahasa inggris pada anak-anak di sana. Aku harus pulang. Banyak bisikan yang selama ini kutentang, aku memang mencintai Vey, tapi biarkan semua berjalan seperti air mengalir. Bahkan aku selalu menutup telinga selama ini atas cintaku pada Vey, tapi setelah aku mebenarkan segala niatan yang sudah tertanam dalam hati. Maka aku harus jujur pada hatiku, meskipun itu teramat sakit.

“Berwaktu-waktu aku mengasuh rasa, mendengarkan jiwaku berkata-kata, tak mungkin aku abaikan kata hati ku harus jujur pada hatiku” aku menuliskannya pada lembar kedua, entahlah Vey akan membaca atau malah membuangnya.

***
Cinta sejati selalu punya caranya sendiri untuk saling bertemu. Maka biarkan cintamu melambung tinggi ke angkasa lantas pada waktu yang tepat dia akan hinggap dan menemukan rumahnya kembali. Malam itu aku memutuskan kembali ke Kampung Inggris, entah mengapa aku hanya ingin. Kutemukan lebih banyak teman, kali ini aku menemukan sahabat. Dini namanya, wanita sholehah dan cantik. Usianya hasnya selisih tujuh tahun.

“Bagaimana kak, jadi ikut aku pulang ke rumah ku? Di sana seru banget loh kak. Kebetulan kakak ku minggu ini akan melakukan pernikahannya.” Bahkan aku tak menolak sedikitpun saat di ajak olehnya. 

“Seandainya Kakak yang jadi pengantin dari kakak ku ya. Pasti aku bahagia punya kakak ipar seperti kakak” Dini meletakkan kepalanya dipangkuanku.

Besok kita akan berangkat menuju rumah dini, di Lampung. bahkan aku tak pernah tahu ada derah unik itu. Aha, siapa tahu aku bisa dapat jodoh di sana.

Pagi ini cerah, kami sudah duduk bersebelahan di dalam kereta. Semangkuk mie instan telah lenyap kami habiskan bersama. Bercerita bagaiamana rasanya menyebrangi lautan. Dan bercerita tentang bagaimana indahnya memandangi bumi dari ketinggian. Kami saling bertukar pengalaman.

*** 
“kriiing… kriing” ponsel dini berdering, dengan sigap dia mengangkat panggilannya. Tapi mendadak mukanya berubah, setelah menjawab panggilan itu.

“Ada apa Din?” aku mencoba menenangkannya yang kini telah meneteskan air mata.

“Calon istri kakakku meninggal kak, kecelakan semalam”

“Astaghfirullahaladzim” aku memeluknya lebih erat.

Kami harus tetap tenang dalam perjalanan pulang ini, semoga kakak dini bisa menerimanya dengan ikhlas. Dengan waktu pernikahan tinggal 2 hari. Semua begitu mudah diambil oleh sang maha pencipta. 

Bendera kuning terpasang di depan rumah itu. Kami langsung menuju rumah calon istri kakak Dini. Di sana telah duduk seorang lelaki dengan wajah terjepit kedua kakinya. Kupikir itu adalah kakak Dini. Semoga dia dalam keadaan baik. Aku hanya berani duduk di samping pintu dan menyaksikan rumah duka ini. Hingga akhirnya Dini mengajakku pulang ke rumahnya.

Udara di sini sangat panas, jalanannya rusak benar-benar seperti perkampungan. Beginilah rasanya hidup di Lampung. Aku meletakkan tasku di kamar yang sudah ditunjukkan Dini. Di pojok ruangan terlihat bingkisan-bingkisan yang sudah siap dibawa ke pernikahan. Aku menghela napas panajang, duduk di dek belakang rumah menyaksikan ayam saling berebut makanan yang kulempar.

“Assalamualaikum” Terdengar ada suara mengetuk pintu. Aku langsung berlari membukakakn pintu, karena Dini sedang mandi.

“Waalaikumsalam, tunggu sebentar ya” aku berteriak sambil berlari menuju pintu depan. Tanganku dengan cepat menyambar kunci pintu lalu membukanya. Tapi jantungku mendadak berhenti. Hatiku berdesir hebat, mataku menatapnya lekat. Aku mengingat wajah itu, mata itu, bahkan air mata itu. Yusuf.

“Vey? Ini benar Vey dari Brunai” tatapan mata itu semakin lekat terlihat. Air matanya tak terbendung lagi dan akhirnya jatuh, tapi dengan cepat tubuh itu menyambar tubuhku, terjatuh lantas memelukku erat. 

Inikah yang namanya Cinta sejati. Yusuf, aku telah mencarinya kemana-mana. Aku bahkan sudah mebebaskan hatiku memilih sesiapapun untuk bersamaku. Tapi kau begitu lama hadir dalam hidupku kembali.

“Kak Yusuf? Kak Vey? Kok peluk-pelukan?” aku dan Yusuf langsung melepas satu sama lain. 

“Jadi Yusuf itu kakak kamu yang mau menikah?” mataku sekarang menghadap ke arah Dini. Dan lihatlah kepala Dini sekarang mengangguk pelan. Aku ingin menangis, tapi aku sedang bahagia. Yusuf sudah melupakanku. Aku bahkan tidak ingin menjadi pengganti kekasihmu yang telah tiada itu.

TAMAT.

1 komentar: