Kamis, 23 Maret 2017

Karpet Merah

Kakiku melangkah menuju peraduan warna biru, ada warna putih yang menghiasinya. Aku mendaki anak tangga yang sempit, hanya cukup menopang sebelah kakiku saja. Tak ada penyangga untuk jemari menggeggamnya,  hingga membuat  aku tak bisa sebentar saja untuk berhenti dan terus bergantian kaki untuk melangkah, karena aku harus terus melaju hingga akhirnya sampai.

Mataku bahkan tak berani melihat kanan dan kiri setelah kulangkahkan 10 kaki dari pintu kayu itu. Jika aku lelah maka aku akan terjatuh dalam jurang kematian selamanya, tapi kakiku bahkan tak sanggup untuk melangkah lebih jauh lagi. Tak ada air mengalir di wajahku tapi keresahan terus menjalar di jiwaku. Kakiku tetap melangkah ke atas entah menuju apa. Tapi kini tanganku harus ikut merentang sebagai penyeimbang. 

"Kapan aku sampai tujuan?" Hatiku teriris mengingat pertanyaan itu. Sudah hampir dua bulan aku belum sampai pada tujuan.

Duniaku menjadi kelabu, suara petir menyambar, lalu terdengar suara mengerikan "Apa tujuanmu?". Rasanya aku ingin menoleh, mencari siapa yang bertanya, tapi akan ada konsekuensi jatuh jika bersikeras mencarinya. Tak ada lagi rasa takut, bahkan jika itu suara tak bertubuh. Maka aku memilih tak peduli dengannya, kakiku tetap mendaki anak-anak tangga yang belum juga usai.
Sekarang suara itu sudah tertinggal jauh di belakang. Di depan terlihat tangga berkelok, mungkin itu adalah pertanda aku akan sampai. Aku berjalan penuh dengan keyakinan dan gembira.

...
Kelokan tangga itu sudah kulihat seminggu yang lalu, tapi kakiku tak sedikitpun menyentuhnya. Hatiku mulai resah memikirkannya.

"Kapan aku sampai tujuan?" Aku berteriak, membuat suaraku menjauh sebentar ke segala arah, lalu kembali menjadi satu dan mengepungku. Cahaya langit membakar kulitku, namun suara petir hadir diantara terik matahari.

"Kemana tujuanmu?" Suara itu kembali datang membuatku gemetar karena nada tingginya. Mungkin jika aku bisa menengok ke belakang, akan terlihat sesorang sedang marah. Sayangnya mataku tak berani bahkan hanya sekedar menengok ke kanan atau kiri.

Tanpa menjawab, kutinggalkan dia kembali tertinggal jauh, lalu duniaku kembali membiru.
Aku masih berjalan menaiki anak tangga yang tak pernah usai. Tapi kali ini rasanya kakiku tak sanggup lagi untuk melanjutkan.

"Sebenarnya aku ini hendak kemana?" Kali ini air mataku menetes, basah. Keringat itupun mulai bercucuran. 

Awan hitam pekat mulai mengumpul menutupi duniaku, gelap. Terpaksa aku harus menghentikan langkahku, dan erat berpegang pada sisian tangga. Kilat menyambar, memperlihatkan betapa hampanya dunia ini, lalu beberapa saat kemudian di susul dengan suara petir yang menggelegar. Masih pada hal yang sama, suara aneh itu kembali hadir.

"Apa tujuanmuu?" Masih dengan suara yang sama, namun lebih lembut. Seperti ada sinar di belakang ku.

Mengapa selalu hadir suara setiap kali aku mengeluh tentang tujuan anak tangga ini. Selalu ada suara bertanya tentang apa tujuanku. Aku berpikir lalu memberanikan diri melihat kebelakang. Terlihat cahaya putih menyilaukan mata. Aku bahkan tak bisa melihat siapa dia. Hanya ada cahaya.

"Tentukan apa tujuanmu kemari, menaiki anak tangga ini" Suara itu hadir dari dalam cahaya.

"Aku bahkan tak tahu hendak kemana kulangkahkan kaki ini, aku hanya mengikuti petunjuk jalan yang harus kulewati" suaraku parau, terisak dan takut.

"Buatlah tujuanmu, maka kau akan sampai pada apa yang kamu tuju. Aku hanya mengingatkanmu, bahwa ini adalah alam ke empatmu. Tentukan dengan baik tujuanmu, maka kau akan menyelesaikan anak tangga ini" Cahaya itu menghilang bersama dengan akhir nasihat yang kuterima. Benar. Aku yang salah. Seharusnya dari awal aku punya tujuan. Tapi apa yang kulakukan, hanya melangkahkan kaki tanpa tujuan. Pantas saja aku tak pernah menyelesaikan anak tangga ini. Baik, kali ini aku memiliki tujuan.

"Aku ingin bertemu sang penguasa" suaraku memantul dan menyerangku dengan ganas. Tapi, ada warna lain dalam duniaku. Dunia biruku membuka perlahan, anak tangga yang kupijaki pun mulai melebar dan terbentang sebuah karpet merah yang indah. Wangi sekali saat pintu emas itu mulai terbuka. Tubuhku terasa segar, dan aku terbang.

Metro, 24 Maret 2017

1 komentar: