Senin, 15 Mei 2017

Impian Nomor 27 dan 27 Impian yang Tertunda

Terik matahari terlalu menyengat, rasanya tubuhku basah kuyup oleh keringat. Berjalan menyusuri jalanan kota bukan menjadi hal yang menyenangkan. Sudah satu minggu aku membawa map coklat dengan tas ransel dipunggung, berdandan rapi menggunakan dasi. Masuk ke setiap perusahaan di kota ini. Tapi, tolakan dan cacian seolah menjadi hal utama dalam perjalanan ini. Sarjana ekonomi pun sulit menghasilkan uang. Padahal dulu sewaktu kuliah, aku sudah terbiasa menghitung jutaan bahkan milyaran, walau hanya sebatas angka dan kertas tanpa uang nyata.

Allahuakbar... Allahuakbar...
Panggilan Allah telah terdengar ditelingaku, kupercepat langkah kaki menuju sumber suara. Bukan hal yang tabu jika dalam keadaan sulit manusia akan mendekati sang pencipta. Siapa lagi tempat mengadu selain dia yang Maha kaya. Bahkan meskipun aku seorang pengangguran, makan dan minumku sehari-hari sudah sangat tercukupi meskipun harus berhemat. Kuanggap itu adalah nikmat dari Sang Maha kaya. Kakiku segera mengambil langkah belok kiri, menuju suara adzan.

Wajahku terlihat lebih cerah dan perasaanku menjadi lebih tenang. Aku menyandarkan tubuhku pada dinding putih yang dingin, menghela napas panjang. Mataku melirik tas ransel, kubuka beberapa buku masih setia di dalamnya, menjaga dan menemani langkahku. Ada buku berwarna coklat bermotif batik. Ah iya, sudah satu tahun aku tidak pernah melihat buku itu, meskipun selalu ada didalam tas ranselku. Aku membuka lembar demi lembar, sesekali aku tertawa saat membaca beberapa impian dan cerita pencapaiannya. Terlebih pada impianku nomor 27 terlihat sebuah nama yang membuat hatiku berdesir sakit. Nama yang pernah membuat tiga per empat dari mimpiku tercapai sempurna, satu-satunya nama yang berani kutuliskan dalam buku impianku.

Seketika aku berpikir, dari 100 impianku, bahkan aku tidak menemukan mimpi tentang bekerja di sebuah perusahaan milik orang lain. Keningku mengerut saat membuka dan membalik semua lembar impian di buku ini. Masih ada 27 impian yang harus aku selesaikan dan target itu harus usai tahun depan.

“Ah, semoga saja aku masih bisa menyelesaikan impianku. Berikan kemudahan untukku ya Rabb, jika engkau menghendaki mimpi-mimpiku menjadi nyata. Mungkin jika impian ke 27 itu nyata, maka impian lainnya akan bisa kumulai dengan semangat”. Aku menutup mataku.
“Afgan???” sapaan yang membahagiakan. Kubuka mataku perlahan, seorang wanita dengan jilbab pink dan kemeja pink bermotif kotak berpadu dengan rok berwarna putih. Tepat. Dia sangat cantik. Aku sangat mengenal matanya, bola mata berwarna coklat, kulit putih, bulu mata yang lentik dan balutan make up standar. Aku bahkan mengenal suaranya. Tapi, aku ragu untuk menyapanya.

“Hello Afgan, Ahmad Fuady Ganteng, begitu kan katamu?”. Tangannya melambai tepat di depan mataku. Menyadarkan lamunanku tentang seseorang yang telah kuukir namanya dalam impianku.

“Hey, ini aku. Ana. Kamu lupa?” ucapnya dengan senyum bahagia.  Mataku masih membelalak, otakku bahkan terkena lampu merah, hingga harus berhenti menunggu lampu hijau, baru respon mataku sampai di otak.

“Ana Farhanah?” aku mulai mengedipkan mata, dan duduk lebih rileks.

“Iya, ini Aku. Fuady jelek, humh...” ungkapnya kesal.Tanpa diminta dia sudah duduk di hadapanku.

“Kamu kok bisa sampai sini? Kuliah di sini? Atau sedang apa?” ucapannya mendesak, meminta jawaban dengan segera.

“A...Aku?. Aku cari kerjaan aja”

“Haaah? Cari kerjaan? Maksudnya? Bukannya kamu ngga suka kerja untuk orang lain?”. Wajahnya terlihat lebih serius dibandingkan saat mendengarkan dosen bicara.

“Itu dulu, sekarang sudah berbeda. Aku harus bekerja untuk orang lain, karena mungkin ini takdirku” aku menjawab malas.

“Takdir macam apa? Pantas saja kamu lupa dengan aku. Ternyata kamu saja lupa dengan impian-impianmu. Bahkan semangatmu mengejar impian pun hilang begitu saja. Sejak kapan? Maklum, aku bahkan kehilangan kontakmu setelah pergi ke Jepang. Atau sebenarnya semua impianmu sudah tercapai, lantas kamu jenuh?”. Lagi-lagi dia mendesak, meminta penjelasan atas apa yang tidak dia ketahui. Padahal salah satu alasan aku berhenti mengejar mimpi, hanya karena kamu pergi begitu saja. Ah, aku sungguh menjadi lelaki pengecut.

“Aku, malas saja” jawabku sigkat.

“Ah, iya? Biar kulihat, ini kan buku impianmu”. Tangannya dengan sigap mengambil alih buku yang masih kupegang. Aku yang masih melamun sangat slow respons dan akhirnya aku melihat wanita itu lari dan membawa bukuku.

“Kalau kamu mau buku ini, kita ketemu di sini pukul 14.00 WIB”. Matanya melirik jam tangan lalu melambai penuh kemenangan. Aku menyaksikan dia pergi dengan mobil putihnya, sedangkan aku bersandar di pondasi muka masjid. Menerima kekalahan.

Dua hari berlalu begitu saja, aku masih bermalasan di kamar kos ku yang tinggal dua hari lagi habis masanya. Aku ingat hari ini seharusnya aku mengambil buku impian itu. Bukan, tentu bukan bukunya yang aku inginkan, melainkan orang yang akan mengembalikan bukunya. Aku bahkan lupa berpikir apa jadinya jika dia membaca namanya di dalam daftar impianku. Pukul 13.30 WIB, aku melirik jam dinding. Butuh waktu 15 menit naik angkutan umum untuk pergi ke sana. Antara pergi atau tidak, ada kebimbangan yang nyata menghantui pikiranku.

***
Aku menengok ke kanan ke kiri, mencari seseorang yang akan mengembalikan bukuku. Sudah pukul 16.00WIB. Tiga puluh menit yang lalu aku baru memutuskan untuk mengambil buku itu. Ini kulakukan karena janjiku sebagai seorang pria sejati, yang akan menyelesaikan misi kehidupannya. Jika pun ada yang tak dapat kuraih, maka setidaknya aku sudah berusaha.

“Impianmu nomor 27 boleh jika aku yang mewujudkannya?” ucap seseorang dari arah belakangku. Tanpa komando badanku langsung reflek berbalik, mataku tertegun melihat wanita itu. Ana. Bibirku kelu, tapi lihatlah kepalaku sekarang seperti tertanam batrai, dengan sigapnya dia mengangguk pelan.

“Lalu, izinkan aku untuk melengkapi impianmu yang lain. Kita akan menyelesaikan 27 impianmu bersama. Eh, 26 ding, kan satu impianmu sudah tercapai”. Seperti mimpi di sore hari aku takjub pada kebesaran Allah, yang selalu punya kejutan hebat utuk hambanya.

“Masih 27, kan yang satu belum tercapai. La wong kita belum menikah kok”. Kami pun tertawa bersama, menikmati senja. Hanya sebentar, tak perlu lama.

***

Hanya sebentar, tak perlu waktu yang lama, dia benar. Aku seharusnya tak pernah menyerah meski harus kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku. Impianku adalah milikku maka aku adalah kesatria yang harus mempertaruhkannya, meskipun dia sang putri telah hilang. Ini adalah impian nomor 27, impian yang sengaja kutulis pada nomor 27, nomor setelah tanggal kelahiranmu: 26. Terimakasih telah memberikan kunci pembuka sebagai awal bagiku untuk menyelasaikan 24 impian yang lain, setelah kepergianmu. Aku akan tetap menjadi kesatria tangguh dan berani menyelesaikan semua impian itu. Kupeluk erat papan bertuliskan namamu: Ana Farhanah Binti Fahri Rizal. Doakan aku bisa menyelesaikan sisa impian yang belum kita selesaikan.

TAMAT...

Menjawab tantangan kak sabrina, kisah ini terinspirasi dari impian ku untuk bertemu seseorang. Yang ternyata setelah dilihat ada di nomor 27 hehe pas banget ini mah. Tapi cerita di atas hanya fiktif belaka, bukan based on true story.

5 komentar:

  1. Balasan
    1. Bukan aa gil. Tapi aku pingin ketemu seseorang. Dan impian itu kutilis di urutan nomor 27 ...

      Hapus
  2. ini dia.. mantap mbak araa.. semoga karyanya berkesan di hati pembaca dan bisa segera terbit lagi buku nya.. jadi pingin baca lagi nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas fuad ... wkwkkw maaf ya jadi sad ending. Dan makasih saran nama tokohnya wkwkkw

      Hapus
  3. Kak Araa makin kece aja nih tulisannya

    BalasHapus