Senin, 08 Mei 2017

A untuk Alif

Suasana fajar selalu menyenangkan, banyak harapan dan kebahagiaan yang terlihat pada setiap wajah yang lalu lalang dihadapanku. Cahaya lampu masih terang, sedang langit mulai membiru. Tanganku masih erat memegang kertas yang berisi nomor kursi dan nomor gerbong, lalu mataku asyik menyaksikan beberapa kereta yang tertidur lelap dalam peristirahatnnya.

Setengah jam yang lalu aku melambaikan tangan pada teman yang mengantar kepergianku tepat di pintu pemeriksaan tiket. Setelah memberikan kartu identitas dan tiket kepada petugas, aku memutar arah, menyaksikan tangannya yang melambai penuh cemas.

“Terimakasih ya Put, tumpangannya hehe”

“Hati-hati di jalan, Fa. Kalau sudah sampai tidak perlu hubungi aku”. Putri memperlihatkan ponsel berwarna putih dengan gantungan huruf “A”.

“Itu milikku Put”. Putri dengan sigap berlari ke arahku, tanpa melawati palang pemeriksa tiket dia memberikan ponselku.

“Jelas saja aku tak perlu menghubungimu, tapi akan kupastikan ponselmu akan diserang SMS”. Tanganku dengan gesit menarik gantungan di ponselku.

“Akan kupastikan, kau bertemu dengan Alif satu kali, dua kali, tiga kali, lalu kau menikah” Teriakan itu membuat hatiku berdesir hebat, nyaris direspon oleh seluruh anggota tubuhku. Alif. Benar saja seorang yang menjadi ambisiku dalam hidup. Memperjuangkannya menjadi nyata hanya sebuah dongeng penghantar tidur, yang akan kubuat ending bahagia. Semu.

Putri terlalu bahagia mengolokku dalam hal ini. Lalu kami tertawa bersama dan saling melambaikan tangan. Langkah kaki kami membut jarak yang semakin jauh, sampai akhirnya aku masuk dalam ruang tunggu, maka punggung Putri otomatis tak terlihat.

Aku terlalu suka menunggu, keberangkatan kereta yang seharusnya pukul 07.00 membuat aku rela menunggu 2 jam sebelum dia melaju. Mataku meneliti setiap sudut mencari sesuatu yang penting. Gantungan ponselku ternyata hilang, tapi aku bahkan lupa dimana jatuhnya. Usahaku tak sebesar niatku. Bahkan aku tak ingin menjauh dari kursi tunggu. Kursi ini telah membuatku nyaman menyaksikan beberapa manusia yang unik.

Sampai akhirnya mataku menemukan target yang tak terduga. Seorang anak kecil yang digandeng kedua orang tuanya melangkahkan kaki dengan riang, kusebut dia sebagai pangeran. Mereka duduk di bangku yang sejajar denganku. Ayahnya berpamitan hendak ke toilet. Belum juga ayahnya kembali, sang ibu seperti tak kuasa menahan sistem ekskresinya bekerja. Tunggu, aku seperti pernah melihat wanita itu. Dia memang ibu pangeran kecilku. Entah perjanjian macam apa yang dilontarkannya kepada pangeran, tapi langkah kakinya begitu saja meninggalkan pangeran kecilku sendiri.

“Hai, Mirza??” Matanya membelalak tertegun menyaksikan wanita dewasa yang muncul dihadapannya.

Ka… kak. Si… a…pa…??”. Bicaranya semakin fasih saja, terakhir aku mendengar suaranya satu tahun yang lalu. Lewat media sosial ibunya.

Aku mengulurkan tanganku, menjabat dengan riang “Hai Mirza, perkenalkan aku penggemarmu”.

“Tapi, Kak. Milza bukan altis”. Telunjuk tangan kanannya sedang asyik menarik sesuatu di dalam gadgetnya. Anak zaman sekarang memang pandai memainkan teknologi.

“Nah, berarti sekarang Mirza sudah menjadi artis” Aku mencubit pipinya. Menggemaskan. Mirza menatap heran, matanya menatap sekeliling. Mencari ayah dan ibunya yang tak kunjung kembali.

“Ah??? Kalau begitu aku minta hadiah, Kak?”. Kini matanya mulai terfokus padaku, tangannya menengadah dan matanya membulat memberikan makna kemanisan pada wajah imutnya. Kuletakkan ponsel diatas tangan kirinya dan tanpa ragu kuputar tas ransel ke depan, lalu dengan sigap mengambil dua buah coklat yang siap diterkamnya.

Aku tersenyum menyaksikan adegan itu, kutatap lamat-lamat wajahnya. Ceria. Sama seperti video dan poto-poto yang kulihat satu taun lalu. “Taraaaa…. Ini hadiah untuk, Penggemal pel-tama mil-za” gantungan ponsel dengan huruf “A” terpampang jelas menggantung di jari telunjuknya yang kini berada tepat dihadapanku. Tanpa berpikir panjang tanganku langsung meraihnya. Dan kupeluk erat tubuh mungilnya.

Tapi, semua berubah menjadi hal paling menegangkan. Saat sosok tinggi menutupi cahaya lampu tempat duduk kami.

“Mirza??”. Aku seperti mengenal suara itu, tapi tubuhku kaku dan takut menengok kebelakang, kupikir itu adalah Ayah mirza, tapi…

“Om Alif” Suara mirza hampir memekakkan telingaku, dan tanpa berpikir panjang aku melepaskan pelukanku untuk mirza. Aku melangkah mundur dengan tubuhku yang masih jongkok dihadapan Mirza. Sampai akhirnya, sesuatu menyentuh punggungku, hingga akhirnya aku harus berdiri dan rasanya ingin langsung memutar balik arah. Tapi ternyata putar balik arah saat tubuh bagian belakangmu menyentuh sesuatu bukanlah hal yang direkomendasikan.

Kenangan itu hadir kembali, turun bersama kereta yang baru saja lewat melanjutkan perjalanan. Mataku masih mengingat setiap inci dari wajahnya. Tinggi badan 170, mata sipit, kaus hitam, jam tangan perak, hidung mancung, kulit sawo matang dan satu lagi, gaya rambut ala chef Arjuna. Senyummu, masih tetap memikat.

“Perhatian. Perhatian, kereta jurusan Kediri-Poncol berada di lintasan tiga, bagi penumpang, dipersilakan untuk menuju pemberhentian jalur tiga... sekali lagi…” Suara staf yang mengalun merdu, telah menyelamatkanku dari jeratan ambisiku.

“Hai…” Tanganku melambai, menunjukkan gantungan ponsel inisial “A” tanpa sengaja, karena kuletakkan gantungan itu di tangan kanan.

“Hai, Fafa” Suaranya masih sama, dan tatapannya pun masih sama. Tapi langkah kita tidak lagi sama. Otakku memberi perintah hadap kanan. Lari grak. Bersembunyi adalah hal paling aman. Tapi, aku seperti menjadi buronan tingkat dewa. Lihatlah dia bagai seorang polisi yag siap menerkam dari belakang.

Hingga akhirnya kuraih pintu gerbong pertama. “tuuut… tuuuut…” kereta mulai berjalan perlahan. Tanpa ragu, aku melambaikan tangan padanya. Seseorang yang selalu menjadi ambisiku, tapi tak pernah ku perjuangankan. Seseorang yang selalu menjadi impianku, namun aku takut meraihnya. Seseorang yang selalu hadir dalam angan, namun aku tak sanggupp untuk hanya sekedar berangan. Aku tersenyum. Kuperoleh balasan lambaian tangannya.

Tanganku erat menggenggam gantungan ponsel. A untuk Alif. Aku adalah penggemar nomor satu keluargamu. Aku terlalu berambisi padamu dan keluargamu. Bahkan satu kali pertemuan kurasa tak akan mampu mengobati ambisiku. Karena ambisiku adalah sesuatu yang tidak kamu harapkan. Aku menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kali aku melihatmu. Bukan sejak pertama kita saling kenal.

Baru saja aku hendak memberi berita menarik pada Putri, sayangnya doa putri akhirnya terkabul untuk yang kedua kalinya. Ponselku kuberikan pada Mirza dan aku tahu bahwa dia adalah keponakan Alif. Habislah sudah, kereta sudah berjalan terlalu jauh. Aku hanya bisa duduk menikmati video perjalanan yang terlihat dari jendela kereta.

“Mau kopi mba?” Seseorang dengan Tinggi badan 170, mata sipit, kaus hitam, jam tangan perak, hidung mancung, kulit sawo matang dan satu lagi, gaya rambutnya khas ala chef arjuna.


Mataku membelalak, hatiku berdesir hebat. Ini hanya sebuah kebetulan…

6 komentar:

  1. Hmmm chef Arjuna, tapi bermata sipit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rambutnya ala chef juna gitu mba wiid.

      Tapi matanya sipit ... siapakah dia??

      Hapus
  2. Ihh deg-degan baca endingnya ...

    Makin bagus mba tulisan nya kusuuka😁

    BalasHapus
  3. Chef juna kenapa disini hehe. Sip ara

    BalasHapus
  4. Chef juna kenapa disini hehe. Sip ara

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku fans chef Juna kak, wkwkwkkw jadilah chef Juna akan menjadi inspirasi laki-laki itu

      Hapus