Jumat, 26 Mei 2017

(Bukan) Takdir

Siapa di sini yang tak punya cita-cita? Pada dasarnya semua manusia memiliki cita-cita. Baik yang pemalas, penjahat dan orang baik.
Lihatlah sebenarnya para pemalas itu punya keinginan. Keinginan itulah cita-cita mereka, begitupun dengan para penjahat.

Berbicara tentang cita-cita. Aku adalah seorang remaja dengan segudang cita-cita. Ambisiku adalah ingin menjadi tenaga kesehatan. Mengapa? Hal ini didorong oleh kedua orang tuaku yang juga bergelut di dunia kesehatan. Sejak kecil aku selelu mendambakan menolong orang sakit, menggunakan jas putih dan stetoskop terkalung di leher. Impian itu tak pernah berubah walau sedikit.

Aku selalu berusaha mengejar impian itu, mulai dari belajar dengan giat hingga mulai membaca buku-buku ibu tentang ilmu keperawatan dan kedokteran.

Dukungan kedua orang tua selalu kudapatkan. Mereka sangat mendukung aku menjadi seorang dokter, bahkan ayah dengan sengaja menyiapkan suatu klinik agar dapat memotivasi belajarku.

Saat itu usiaku masih 16 tahun, bulan November aku mendapat undangan dari salah satu universitas swasta di lampung. Mengejutkan! Undangan itu berisi kabar gembira. Aku diterima di fakultas kedokteran. Betapa bahagianya aku saat itu. Tapi aku lupa kapan aku mengikuti tes dari universitas itu. Hingga rasa penasaranku tumpah pada suatu pertanyaan ke semua penjuru sekolah. Ah, ternyata ini adalah hasil TPA (tes potensi akademik) yang dua bulan lalu diadakan di sekolah. Tapi apa salahnya diikuti, apa salahnya aku melanjutkan langkah, ini juga sesuatu yang aku cita-citakan.

Akhir pekan kuputuskan pulang ke rumah, karena hanya di akhir pekan aku bisa pulang berjumpa ayah dan ibuku. Keadaan jarak puluhan kilometer yang membentang antara rumah dan sekolah, sehingga aku harus naik bus untuk berbagi kabar.

"Ayah, aku lolos di kedokteran nih. Ambil aja ya, daftar ulang di sana" ungkapku pada ayah saat sedang duduk di depan televisi. Aku memberikan undangan itu pada ayah.

"Lah, mahal amat biayanya" kening ayah saat itu mulai mengernyit.

"Yah, kan dapat beasiswa tuh, terus ada potongan uang daftar ulang juga" aku membela diri.

"Ya, kalau ayah si pinginnya kamu kuliah kedokteran di universitas negeri, Jangan swasta lah ya. Toh universitas itu jelek banget, ngga banget deh lulusannya"

"Apa iya Yah? Baik deh kalau gitu ngga jadi kakak ambil"

Hari berlalu begitu cepat, kesehatan ayah memburuk.  Sudah satu bulan ayah tinggal di rumah sakit. Nasihat ayah selalu menghiasi pertemuan setiap akhir pekan. Selalu ada kata perpisahan yang ayah sampaikan.

Hingga akhirnya tiba saat  jarak memisahkan aku dan ayah. Jarak yang tak panjang tapi tertutup oleh dimensi yang berbeda. Duniaku sudah bukan dunia ayah. Ibuku menjadi janda dan mengurus ketiga anaknya, yang sekarang punya gelar yatim.

Meski ayahku sudah tiada, tapi impian itu masih tetap terngiang dalam telingaku. Iya, hanya sebatas bisikan mimpi. Karena aku melihat, mimpi itu tak pernah mungkin jadi nyata. Lihatlah, bagaimana ibu harus menghidupi dan membiayai sekolah kami. Sedangkan sekolah kedokteran membutuhkan jutaan uang. Bisa saja aku nekat sekolah. Tapi akibatnya adik-adikku harus merelakan sekolahnya. Ah, tentu itu masih kurang. Uang peninggalan ayah tentu tak banyak. Tapi keyakinan dan keteguhan hatiku selalu menang. Aku tetap berusaha semampuku, karena pasti akan ada jalan menuju impian, jika itu adalah takdir.

Aku mengajar TK di dekat rumah, menjual dagangan usaha milik budeku (kakak ibu). Lumayan, beberapa kerabat ayah kuhampiri, agar mau membeli daganganku. Lantas uang hasil dagang dan mengajar kutabung, untuk menambah uang kuliah.

Hari itu adalah hari penentuan, segala usaha telah kukerahkan. Tiba saatnya aku melohat pengumuman. Ku buka laptop dan masuk ke halaman resmi tes sbmptn. Ternyata saat aku melihat, hatiku berdesir hebat. Aku dinyatakan lulus, tapi bukan di fakultas kedokteran, melainkan di fakultas keguruan. Ah, tentu saja aku kecewa. Tapi aku heran betapa menerimanya hatiku saat itu. Aku bahkan tidak meneteskan setetes air mata, hatiku rela menerimanya bahkan tetap mengucap syukur. Entah mengapa tapi hati ini terasa lebih nyaman saat menerima kenyataan pahit itu. Awalnya kupikir akan menangis.

Tapi menerima sebuah kenyataan adalah hal terindah dalam pembelajaran hidup. Lihatlah bagaimana aku bisa menerima segalanya dengan ikhlas. Aku melihat kondisi keluarga yang semakin terpuruk ekonomi, hingga harus kuputuskan mengurungkan niat. Bahkan uang tabunganku sudah habis terbabat. Maka, aku yakin bisa melanjutkan impian ayah, hanya sekedar mendapat sarjana, meski bukan sarjana kedokteran. Semoga ayah bangga memiliki anak seperti aku. Aku menyayangimu ayah.

1 komentar:

  1. Terharuu ... semangat Mbak Araa ... Allah menyayangimu 😘

    Semoga ayahandanya di tempatkan di tempat terbaik menurut-Nya ya ... 😊 Aamiin YRA.

    BalasHapus