Selasa, 27 September 2016

Percakapan di Ruang TV



Keramaian duka di rumah ini membuat hatiku terlihat kokoh dihadapan lalu lalang manusia, tapi tidak pada kenyatannya, seperti teriknya matahari siang bersama dengan jatuhnya bulir-bulir air hujan. Prosesi pemakaman yang begitu cepat hanya meninggalkan para pelayat yang silih berganti datang ke rumah, untuk memberi nasehat dan motivasi bagi keluarga yang berduka. Aku tak mengerti tentang rencana Tuhan dibalik ujian ini. Yang aku tahu saat ini ayahku telah tiada dan aku adalah seorang kakak pertama yang seharusnya menjadi contoh dan pelindung bagi keluargaku setelah kepergiannya.
Namaku Lena, aku duduk di kelas 5 sekolah dasar. Malam itu aku mendengar percakapan mereka di ruang TV. “Operasi untuk Mas bisa dilakukan besok” Suara ibu membuat jantungku berdegup, pikiranku kehilangan kendali memikirkan perkataan ibu. “Siapa yang akan operasi?” Gumamku dan memaksa mataku terpejam. “Iya Dik, berarti besok kita ke RS saat anak-anak berangkat sekolah, jangan sampai mereka mengetahui hal ini” Jawab ayah. “Iya Mas, besok akan ku sampaikan pada mereka kalau kita ada tugas ke luar kota lima hari”. Air mataku menetes demi mendengar perkataan ibu, ibu akan berbohong pada kami, apa yang harus aku lakukan, mungkinkah aku berteriak “Ibu akan bohong?”, tapi jika aku melakukannya, ibu pasti akan marah. Dan akhirnya aku menyerah untuk melakukan hal itu. Aku memaksa pikiranku untuk tidur.
Kicauan burung diiringi dengan cahaya matahari yang menembus awan-awan langit menandakan cuaca hari ini cerah. Aku dan adikku sudah bersiap kesekolah. “Lena, Putri, hari ini kalian dijemput Mas Jon ya” Ujar ibu sambil merapikan pakaian putri. “mengapa bu?” Jawab putri manja “memangnya ibu dan ayah akan pergi kemana?” Selidikku. “Ibu dan ayah akan ke luar kota, mungkin hanya 5 hari, sudah sana masuk mobil, nanti terlambat loh”.Iya bu” Kami berlari memasuki mobil ambulan ayah. Aku terdiam tak bicara sedikitpun dengan ayah, saat diperjalanan hanya putri yang yang berceloteh berusaha menghafal perkalian nya. Aku tak percaya ibu benar-benar berbohong pada kami, ibu dan ayah benar-benar jahat pada kami.
Kedatangan ibu sempurna, sesempurna Kebohongan ibu hingga putri tak menyadarinya. Mereka pulang membawa banyak oleh-oleh, tak ada sedikitpun jejak yang mereka perlihatkan, bahwa mereka telah pergi ke RS. Saat itu Aku pikir operasi ayah berjalan lancar, dan penyakit itu sudah hilang, tapi 5 bulan setelah kejadian itu ayah kembali lagi sakit, dan kali ini ibu tidak berbohong, karena kami sedang libur kenaikan kelas, kami berlibur di RS selama 8 hari dan saat itu ayah melakukan operasi ke-2nya. Saat aku bertanya pada ibu apa penyakit ayah, ibu bilang ayah hanya sakit perut kebanyakan makan sambal, dan aku percaya begitu saja dengan perkataan ibu. Ayah kembali ke rumah dengan keadaan sehat dan kembali lagi bekerja, begitu juga dengan ibu. Aku dan Putri menghabiskan liburan dengan menunggu ayah dan ibu pulang bekerja. Tiga tahun berlalu ayah kembali sakit, dan melakukan operasi ke-3 nya. Tiga hari sebelum ayah ke rumah sakit untuk operasi, lagi-lagi aku mendengar percakapan ibu dan ayah, di ruang TV. “Mas, apa mau transplantasi ginjal saja?” Tanya ibu. “Tidak lah Bu, ditransplantasi ataupun tidak hasilnya akan sama, jika sudah kehendak Allah, saatnya ayah pergi ya harus pergi, tapi ayah kan harus sehat untuk melihat putri-putri kita tumbuh dewasa, lagian transplantasi itu kan mahal biayanya, daripada untuk transplantasi lebih baik untuk tabungan anak-anak sekolah”. Mendengar jawaban ayah air mataku mengalir, berita apa yang hadir tengah malam di telinga ini Tuhan. Selamatkan ayahku berikan dia kesehatan. Saat percakapan itu aku tahu penyakit ayah, Malam saat hujan turun disertai gemuruh petir dan juga kilapan cahaya petir yang membuat hatiku semakin tersiksa. Operasi ayah yang ke-3 berjalan lancar, ayah kembali sehat. Ayah kembali ke puskesmas untuk bekerja. “Ayah berhenti kerja saja si” Kataku malam itu, saat duduk di ruang TV. “Kalau ayah berhenti kerja, Lena berhenti sekolah dong?” Jawab ayah mengelus rambut ikalku. “Ayah sudah sering sakit si, Lena ngga mau ayah sakit karena Ayah selalu bekerja keras untuk biaya sekolah Lena dan adik-adik”. Aku memohon lagi dengan ayah. Sekolah itu penting nak, ayah tidak akan memberikan kalian harta, karena sebanyak-banyaknya harta yang ayah berikan, suatu saat akan habis juga, berbeda dengan ilmu, maka dari itu walaupun ayah sakit, kamu harus buktikan dengan ayah bahwa kamu tidak mengecewakan ayah, dengan perjuangan ayah saat ini”. Pelukan erat ku berikan pada ayah “Lena berjanji akan banyak menuntut ilmu, Lena akan membuat Ayah bangga, dan tidak akan membuat kerja keras Ayah sia-sia”. Sudah 3 tahun dari percakapan itu ayah tak pernah mengeluh sakit, bahkan ayah tak pernah kerumah sakit. Hingga senja di sore itu tiba ayah kembali jatuh sakit, tak dapat lagi melakukan apapun, ibu berusaha membawa ayah ke rumah sakit, dan aku sangat takut mendengar berita itu, ginjal ayah mengalami atropi, dokter yang mengatakannya tepat di depan aku dan ibu. Sudah lama ya bu sakit ginjalnya?” Tanya dokter. “Sudah sekitar 8 tahun dok” Jawab ibu cemas. “Wah luar biasa hebat, selama 5 tahun bertahan dengan ginjal yang sudah rusak, Bapak memiliki motivasi besar untuk bertahan hidup Bu” Jawab dokter. Percakapan itu membuat hatiku menangis, ayah bertahan pasti karena ayah ingin melihat anaknya sukses. Betapa tersiksanya ayah selama ini bertahan hanya dengan 1 ginjal yang sudah rusak. Sejak saat itu aku berjanji untuk tidak mengecewakan ayah, sebesar itu pengorbanan ayah, maka pengorbananku harus lebih besar dari semua itu. Sejak saat itu ayah tak lagi bekerja setiap hari, karena ayah harus melakukan cuci darah. Aku mengerti saat ini ayah harus pergi meninggalkan kami, tiga bulan setelah percakapan indahku dengan ayah di ruang TV. Ayah akan menjalani kehidupan yang baru. Lebih baik ayah pergi daripada ayah harus merasakan sakitnya penyakit ayah. Semua Percakapan di ruang TV akan menjadi saksi kasih sayangmu, dan aku akan mengingat setiap detail dari nasehatmu. Aku mencintaimu ayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar