Senin, 10 April 2017

Membabat Aksara

Membabat Aksara
Aku membiarkanmu menikmati senja, di ujung dunia dengan batas pandang.  Tanganmu masih saja menggenggamku erat tak pernah lepas walau sedetik. Matamu bahkan enggan menatap siluet sunset yang tajam, hingga terlihat begitu jelas peraduan bola matamu tepat di wajahku.  Jingga adalah warna romantis yang pernah kita miliki, bersandiwara dalam lakon impian masing-masing. Lantas menjauh untuk saling menguatkan.

Semua berawal saat kisah kita tak lagi indah, terbongkar bersama jalannya waktu. Aku hanya sebatas anak manis yang kamu sukai dalam diam, lalu aku pemerhati sejati yang siap menatap matamu saat marah. Bukankah hati itu terikat sejak kita saling bersama. Menjelma aksara dalam bait puisi yang tercipta. Aku dan kamu bahkan tak tahu menamainya dengan apa. Bertengkar bukan menjadi hobi, tapi suatu kewajiban rutin yang harus kita lakoni. Mengalah adalah kewajibanmu, lantas aku hanya berhak berkuasa atas apa yang kamu inginkan. Terkadang, tak cukup bagiku untuk sekedar membuatmu mengalah, karena ada yang menarik saat tanganmu mulai menari di atas secarik kertas. Aksara arab mulai berjatuhan, musim semi tiba saat kau menulis. Semua akan terhenti lantas kamu pergi ke ujung belahan dunia, yang kita sebut sebagai syurga, sedang aku terbahak melihatmu kalah.
Bertahun lamanya, tak kulihat tatapan matamu. Kita bahkan tak saling bersapa dalam gelombang suara. Aku bangkit melupakanmu, namun hatimu tetap kokoh menanti yang tak pasti. Kuanggap kisah ini telah usai, terbang bersama angin yang telah membawaku pulang. Lantas sesekali kita bertemu hanya untuk saling sapa, tanpa tahu apa rasa. Tersenyum hanya sebagai kewajiban, bahkan hatiku tak lagi sama. Ada dia yang lebih menggetarkan jiwaku.

Dunia bukanlah milik kita, saat kita memilih pergi, maka akan ada saatnya kita ditinggal pergi. Skenario Tuhan selalu indah, datang di waktu dan tempat yang tepat bersama dengan seseorang yang tepat. Jika dalam hidup, kamu selalu menanti, maka suatu saat bungamu akan merekah pada waktunya. Tapi, kesabaran adalah kunci utamanya. Bukan keinginanku untuk kembali hadir, namun kehendaknya yang membuat mata kita saling bertatap lewat layar. Namun apa yang kurasa masih biasa.

Lalu cibiran itu datang bersama kehampaan yang kuterima. Menangis bukan menjadi hal yang akan kulakukan. Karena hatiku berbalik arah dengan cepat. Seperti nahkoda yang selalu siap memutar 180°seperti itulah hatiku. Siapa nahkodanya? Tentu itu masih aku. Lantas kita bersama dalam cibiran tentang kita, yang membuat mata saling tersipu malu. Jika awalnya hanya ada kata tak acuh, maka sempurna sudah tak ada rasa.

Hingga ada satu masa saat mata kita saling menatap. Gemetarnya tanganku tak lagi sanggup tertutup, bibirku kelu, menyebut namamu. Namun, hadiah terindah datang saat tanganmu mendarat di bahuku. Sepasang bola mata itu tak pernah berbohong, bahwa ada rasa lama yang kamu simpan  rapat. Kini ia telah menemukan pemiliknya, kembali kau genggam erat ratu hatimu, itu aku yang tak kunjung paham. Namun tanganku mulai melepas.

Setiap getaranku membangkitkan aksara, tertulis berbait puisi yang menjulang tinggi. Pengharapan atas rasa cinta, kini habis ditelan waktu. Semua hanya butuh proses. Jadi aku pergi menjauh untuk percaya bahwa kamu tercipta untukku. Namun, saat kukembali. Aksaramu telah habis kau babat. Berganti dengan kata indah yang bukan untukku.

Dalam singgasana impianku, tawamu renyah kurasa, tapi diluar singgasanamu, air mataku mengalir tak henti, meratapi penyesalan atas cinta yang lamban. Membabat aksara adalah lakon atas perintah Tuhan.

Berbahagialah, agar kelak aku-pun bahagia....

10 komentar: