Sabtu, 01 April 2017

Pengikat Keluarga

"Yang penting menikahlah dengan orang yang kamu idolakan nduk" Tangannya yang keriput mengupas bawang. Membicarakan pernikahan selalu tak ada ujungnya. Jika bukan karena pria sialan itu mungkin aku sudah menikah sejak dulu, atau bahkan anak-anakku yang imut sudah mulai merengek minta uang saku sekolah. Dia bukan ibuku, dia adalah nenekku.

"Masa menikah dengan idola, Nek?" Dahiku mengernyit pertanda penolakan atas kalimat nenek. 

"Kamu pasti senang kalau menikah dengan idolamu, Nduk" 

"Tapi, Nek. Kalau aku mengidolakan Boy William bagaimana?, kan dia tidak mungkin menikahiku" Nenek tertawa, lantas menanyakan siapa pula Boy William itu. Dia mengelus rambutku, kemudian kujelaskan bahwa Boy William adalah artis ganteng. 

"Itulah kesalahanmu, Nduk. Kamu salah mengartika idola" Kali ini nenek sambil asyik menggoreng tempe mendoan. Sedangkan aku, malah asyik menyantap mendoan yang sudah masak. membuat piring berisi mendoan jadi kosong terus, saat nenek hendak meletakkan mendoan yang sudah masak pada gorengan selanjutnya.

"Kalau hanya menyukai fisiknya, itu bukan mengidolakan. Mengidolakan dalam kamus Nenek adalah menyukai sikap dan kasih sayangnya pada Allah. Pasti, kamu akan menikahi orang yang seperti itu bukan?" 

"Haaahh ii... yaa... Nek" Aku samabil mengeluarkan angin dari mulutku, untuk mendinginkan mendoan panas yang sudah terlanjur masuk dan membakar lidahku. 

"Makan kok sambil bicara, habiskan dulu makananmu" lirikan mata nenek sangat mengerikan kalau masalah melanggar etika makan. 

Ngomong-ngomong, dia bukan nenek kandungku. Dia adalah adik ke empat dari kakekku. Tapi bagiku dia tetaplah nenekku. Dulu, saat aku kecil aku tinggal di rumahnya, bersokalah. Lalu aku sering bertengkar dengan anaknya, yang kusebut dia sebagai pamanku. Selisih usia kami adalah tiga tahun.

***
"Aku mau kuning telurnya, aku ngga suka putihnya, tapi masakin dua ya Nek" Aku menyebut pesanan untuk sarapan sebelum sekolah. Sedangkan tangan nenek dengan sigap memisahkan kuning telur dari putihnya.

"Aiiihh, lagi-lagi aku jadi makan sisaanmu" laki-laki itu sebal. Mukanya memang terlihat sebal, tapi percayalah hatinya lapang seperti samudra. 

"Ayooo, kita ke sekolahnya bareng, Paman" aku menarik tangannya, saat aku telah menyelesaikan suapan terakhir. Setiap hari, aku memang selalu mengganggunya, mengalahinya dengan meminta ini itu dari nenek apa yang dia suka, lalu dia hanya akan mendapat sisanya saja. Tapi, dia selalu mengalah.

Aku hanya tinggal bersamanya selama empat tahun, tapi aku bahagia pernah tinggal dan menemukan banyak ilmu di sana. termasuk ilmu menjahili orang. Pernah suatu saat aku menyembunyikan kopiah pamanku sebelum dia berangkat sekolah, lalu dia dimarahi habis-habisan dengan nenek. Membuat nenek berlarian menuju toko terdekat untuk membelikannya kopiah baru. Setelah itu, kami berlarian menuju sekolah, karena bel sekolah sudah terdengar saat nenek membawa kopiah baru. 
Bukan hanya kopiah, segala hal yang menurutku terlihat sudah tak layak pakai akan aku sembunyikan di dalam lemari rahasia. Hingga akhirnya saat aku pergi, semua barang milik pamanku terbongkar.
 
***
"Dek, kamu ngga mau menikah sama dia aja dek?" Ibuku, menghentikan lamunanku mengenang masalalu.

"Aku ikut Ibu aja. Apa kata Ibu aku ikut" 
Kepalaku bersandar di bahu ibu. Kemarin saat aku mengunjungi keluargaku, termasuk di rumah paman itu. Pernikahan menjadi topik yang istimewa. Tak ada yang spesial, hanya saja memang ada sedikit perjodohan. Entah itu bercanda atau serius. Tapi tiba-tiba Nenek merestui. Atau mungkin itu juga karena Nenek sedang bercanda. 

Malam itu, aku berlari ke atap. Menatap gemintang dan rembulan yang saling menyempurnakan. lihatlah jika dihubungkan dengan garis, bahkan mereka akan terhubung satu sama lain. 

"Itu serius, Bagaimana?" Seorang laki-laki berdiri di sampingku, tangannya terlihat gemetar menggenggam pagar besi pembatas.

"Ah, apanya yang serius" Aku seperti tahu arah pembicaraan ini.

"Aku siap bertanggung jawab atas kamu, kamu bisa? Kamu mau?" Deru nafasnya terdengar gemetar. Sesekali dia menjinjit, lalu menarik nafas menunggu jawabanku.

Aku memandanginya sebentar, lalu pergi untuk duduk di belakangnya "Kalau Nenek merestui, aku siap. Bukan hanya Nenek. Tapi jika semuanya merestui, apapun itu aku yakin dan siap" Tak ada keraguan saat aku menjawab, semua keluar dengan sendirinya dari mulutku. 

***

"Kak, makan dulu. Aku juga buru-buru, tapi sudah kusiapkan putih telur di meja makan, ah iya. Aku berangkat ya" Tanganku menyalaminya, meminta rido untuk segera berangkat ke kampus. Melanjutkan studi S2 bersama suami memang selalu menyenangkan apalagi di negeri orang.
Setelah kuingat, perkataan Nenek ada benarnya, idolaku akan menikah denganku, dulu saat kecil aku pernah mengidolakan paman itu, paman keren yang selalu mengalah dan luar biasa. Pertemuan, lalu perpisahan panjang. Mengubah pribadinya menjadi luar biasa.
"Kamu melamun mulu, kalau lihat bulan" hembusan angin membawa aroma parfumnya sampai kehidungku.
"Eh? Sini kak duduk" Tanpa ragu dia langsung duduk di sampingku, membelai lembut rambutku.
"Terimakasih ya, sudah hadir di waktu yang tepat. Setelah sekian lama aku menunggu"
"Hah?? Menunggu? Siapa yang ditunggu?"
"Ini gadis cantik, yang selalu membuatku mengalah" Tangannya dengan segera mencubit pipiku.
"Ini takdir, bahkan aku tidak pernah memikirkan ini. Mungkin agar keluarga kita tidak terlalu terpecah lebar, sehingga kita harus menyatu" kepalaku bersandar dibahunya. 
Bercerita tentang masalalu dan menikmati bulan adalah hal paling indah yang pernah aku lakukan dengannya, ditambah dengan praktik ekspresi yang dulu pernah dilakukannya. Aku bahagia. Kami adalah tali. Pengikat keluarga.
*terinspirasi kisah seseorang*

4 komentar:

  1. Asyik banget baca cerita ini. Sederhana tapi keren. Suka 👍😊

    BalasHapus
  2. manis kisahnyan,,,,, kisah seseorang, siapa tuh

    BalasHapus
  3. Hemm... Kisah inspiratif..nice post mbak. Hehe

    BalasHapus