"Niit niit niit"
Suara bedside monitor, menandakan jantungku masih stabil. Tanganku berbalut perban, dan rasanya kakiku seperti hilang sebelah. Kulihat sekeliling ruang, tak ada kehidupan manusia, tak ada nafas yang bisa kudengar. Hanya beberapa kali suara lalu lalang manusia dapat kudengar.
Tak lama dari aku mengedipkan mata dan menoleh ke kanan dan kiri mencari manusia, akhirnya pintu ruangan ini terbuka. Aku melihat wajah malaikat, yang tangannya langsung membelai lembut rambutku. Bibirnya pun langsung menghampiri keningku.
"Dek, akhirnya kamu sadar juga" Matanya terlihat amat bahagia, bahkan sekarang air mata kebahagiaan itu jatuh dan langsung membasahi pipiku.
"Mah, adek lupa. Kenapa adek bisa dibawa ke sini mah?"
"Ndak papa sayang, jangan diingat"
Tangan mama terus saja membelaiku. Sejujurnya, aku tak begitu lupa bagaimana motor dibelakangku menabrak motorku yang berjalan perlahan, aku pun sudah menghidupkan lampu sein petunjuk bahwa aku hendak belok kiri. Tapi pemuda yang mabuk itu, seperti lupa arah dan menabrakku dengan entengnya. Setelah itu, aku tak begitu ingat. Tapi, aku tak ingin mengatakan bahwa aku ingat.
***
Aku mendengus kesal, lalu kubanting ponsel ke atas kasur. Menelpon mama selalu membuatku kesal. Padahal aku cuma minta service laptop saja. Bilang tak punya uang, tapi baju baru dibeli terus. Aku hanya bisa membanting tubuhku ke atas kasur, lantas akan kudengar suara "bruk" karena dipan kayu di kosanku sudah merapuh.
Aku masih melanjutkan aktivitas rutin, ke kampus lalu pulang setelah usai perkuliahan, menonton televisi di kamar kontrakan, atau kadang mengerjakan tugas. Ah, minggu besok sepertinya aku ingin pulang saja.
Hari sabtu telah tiba. Akhirnya aku bisa pulang ke rumah, haya untuk sekedar menyapa orang rumah dan meminta jatah mingguan. Aku mengendarai motor sendirian. Jalan pelan itu tak masalah, daripada kebut-kebutan. Sejujurnya aku belum siap untuk mati, atau hanya sekedar mengalami kecelakaan. Sesampainya di rumah, aku masih saja berkutat dengan piano kesayanganku, dan tak henti untuk memainkannya.
***
"Dek, laptop kamu kemarin rusak apanya?" Mama membereskan tasku, lantas mengecek laptopku.
"Itu keyboardnya ngga bisa, Ma. Padahal kan aku harus input data, jadi deh aku ngga bisa ngerjain tugas" Tanganku masih asyik memainkan tuts tuts piano.
"Ya Aah, Dek. Keyboard mah masih bisa diganti pakai keyboard eksternal kali dek. Kirain mama mati total"
"Ya terserah mama aja deh, mau dibeliin keyboard eksternal atau dibenerin laptopnya"
Aku masih asyik memainkan piano, membiarkan Mama, membereskan rumah dan barang-barang bawaanku. Ini adalah minggu sore, saatnya aku kembali ke kamar 4x4 yang hampa.
"Ma, adek berangkat ya, Assalamualaikum" kucium tangan mama hanya sekedarnya.
"Dek, itu laptop mama dibawa adek aja. Biar mama yang pakai laptop adek"
"Serius, Ma?"
"Iya dek. Nanti adek ngga bisa kerjain tugas kalau belum bener laptopnya. Kalau mama kan bisa tinggal beli keyboard eksternal aja"
"Makasih ya, Ma" bibirku tanpa syarat langsung menghampiri pipi mama.
"Dek, hati-hati ya. Kalau sudah sampai kabarin mama" Tanganku sekarang asyik menangkap gas. Melaju dengan kecepatan standar.
***
"Ma, motor adk rusak" aku kembali menelpon mama. Padahal baru dua hari yang lalu aku pulang ke rumah.
"Ya Allah dek, kok bisa?"
"Kamu si dek motor ngga dirawat"
Ah. Aku sudah menduga jawaban mama akan begitu. Semenjak kepergian papa, aku bahkan tidak pernah minta apa-apa. Selalu menyebalkan bicara dengan mama. Niat hati kasih kabar, biar mama tahu kalau anaknya kesusahan di perantauan, eh kalau diomelin gini mah, jadi ngga mood mau telpon. Jadilah kumatikan telponnya. Lagi.
Motor rusak, aku masih bisa jalan ke kampus. Jarak kampus ke kosan juga tidak begitu jauh. Tapi, kali ini aku harus pulang ke rumah dengan naik bus. Aku harus minta jemput mama, sebesar ini. Aku bahkan tak berani naik bus sendirian.
"Ma, adek takut"
"Ngga papa sayang, kan ada mama, minggu depan juga kamu bisa pulang naik motor lagi"
"Ma, kalau bus nya kenapa-kenapa kayak waktu itu gimana?"
Tangaku erat menggenggam tangan mama, menanti bus yang datang. Bahkan keringat dinginpun sudah mengalir disekujur tubuhku. Bibirku pucat, hatiku dipenuhi rasa cemas.
***
Tiga tahun yang lalu, aku adalah korban kecelakaan bus, saat itu aku memutuskan untuk pulang naik bus, karena merasa malas membawa motor pulang. Aku bahkan merasa menjadi korban paling buruk, karena mata kananku buta. Tapi semua menjadi begitu indah saat mama memutuskan memberikan matanya untukku. Mama tidak ingin anaknya terpuruk lantas gagal meraih cita-citanya. Semua itu terjadi satu minggu setelah kepergian papa.
Tapi apa yang telah aku lakukan untuk mama, aku selalu saja meminta ini itu, seperti papa masih hidup. Padahal mama harus bekerja seorang diri. Bahkan mama, adalah wanita tangguh yang sangat luar biasa. Mama selalu rela memberikan apapun itu untuk malaikat kecilnya yang tak tahu balas terimakasih.
Sore itu aku merengek. Kembali merengek, hanya untuk sekedar meminta dibelikan raket. Hal yang sangat sepele, aku memarahi mama. Minta uang untuk beli raket yang paling bagus, itu artinya uang yang dikeluarkan jiga harus banyak. Tapi, mama tetap saja memberiku uang untuk segera membelinya.
Tanpa berpikir panjang aku langsung membawa motor, lalu pergi ke toko olah raga. Bukan raket yang kuperoleh. Berjarak setengah kilometer dari rumah, tubuhku kini tak berdaya, aku merasakan begitu sakitnya. Darah mengalir disekujur tubuhku. Aku langsung mengingat mama, dan juga kejadian tiga tahun lalu. Air mataku menetes, dan aku kembali pasrah sembari kupejamkan mataku perlahan. Ada rasa sakit dibagian kaki, anatara hidup dan mati, mungkin aku akan mati sekarang. Tak lama, kudengar ambulance datang, kemudian. Aku bahkan tak tahu aku dimana, dan aku tertidur pulas.
***
"Niit niit niit"
Suara bedside monito, menandakan jantungku masih stabil. Tanganku berbalut perban, dan rasanya kakiku seperti hilang sebelah. Kulihat sekeliling ruang, tak ada kehidupan manusia, tak ada nafas yang bisa kudengar. Hanya beberapa kali suara lalu lalang manusia dapat kudengar.
Percakapan itu menjadi hadiah paling indah yang pernah kuterima. Tapi ada kenyataan yang tak siap kuhadapi, aku tak merasakan kehadirannya, sesuatu yang membuatku menjadi lebih berguna. Kaki kananku entah kemana perginya. Aku menangis, memberontak memaki apa saja yang bisa kumaki. Tapi malaikat di sampingku, terus saja mengucapkan kata maaf. Dan erat memelukku.
"Seandainya, mama bisa memberikan kaki mama, akan mama berikan, Nak"
Mama memelukku erat. Sepersekian detik hatiku langsung bergetar. Apa yang kulakukan terhadap mama sungguh tak pantas kuberikan. Mama ternyata menyayangiku, bahkan rela memberikan segalanya yang ia punya. Aku memeluk mama erat.
Suara mama tak lagi menyebalkan, karena suara mama adalah hadiah terindah yang pernah kumiliki.