Selasa, 13 Desember 2016

Tua Tubuh Lidi

Ditatapnya lautan api di ujung dunia, sang surya mulai menginjakkan kaki di penghujung cakrawala. Kepalanya menengadah, matanya menatap lautan jingga menghiasi alam. Sedang hidungnya mencium aroma kelelahan. Senja yang buruk. Jalanan dipenuhi robot, lalu lalang manusia berdasi lengkap dengan bau keringat yang busuk, meski tertutup mobil mewah dan parfum tahan satu bulan tak bisa menutupi kebusukan hatinya.
Macet. Sekalipun hanya gerobak tua, dia juga tak bisa jalan. Dia menarik gerobak tuanya, mengangkat ke atas trotoar yang dijadikannya sebagai jalan pintas.
Matanya masih menatap sekeliling, hembusan angin menerpa wajahnya dengan darah yang mulai membeku. Ditekannya kuat-kuat perut kosong itu, kemudian mengistirahatkan tubuhnya di pot bunga pinggiran jalan. Sejuta manusia yang busuk. Menghajar perlahan tubuh lidinya, mengiris hatinya. Lalu aroma apa yang membuatnya semakin bergetar. Tak satupun dari mereka memiliki hati yang mulia. Dia seorang tua yang mengikat perutnya dengan tali rapiah hitam, menahan segala ambisi.
Kini api senja mulai padam, warnanya berganti gelap hitam pekat. Inilah yang indah pada teknologi terbaru, bintang semakin mendekat. Tak ada lagi bintang yang menggantung di langit, tapi bintang menggantung di atas gedung-gedung pencakar langit. Sedang si tua dengan gerobaknya, masih duduk menekan perut dibawah pohon besar, diatas pot bunga pinggiran jalan.
Ada kebahagiaan dalam pertemuan, namun ada kepedihan dalam pertemuan.
Seperti malam ini, dia menangis dalam diam. Isaknya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, rambut putihnya bergoyang, pakaian tipisnya tak lagi mampu melindungi tubuh lidinya. Seorang yang piawai datang mendekatinya, diberikannya bingkisan hitam pada si tua tubuh lidi. Aromanya wangi. Wangi tubuhnya juga wangi bingkisannya.
Kini si tua tubuh lidi tak lagi gemetar,dilepasnya tali rapih yang mengikat perutnya. Bingkisan itu cukup jika untuk menghidupi perutnya dua hari kemudian.  Namun tak sampai hari ke dua.
Dia bertemu dengan seorang piawai itu, dilihatnya ada yang berbeda disana. Si piawai berada dalam kertas koran, ditulisnya oleh jurnalis "Ditemukan tikus di dapur negara".
Tangannya gemetar membaca berita,sedang mulutnya yang penuh dengan roti, buru-buru membuangnya.  Kini air matanya mengalir bersama dengan rintik hujan yang terjun. 
"Dia telah lalai" begitu batinnya sambil menengadah langit mendung, wajahnya siap menanti hujaman air hujan.

1 komentar: