Kamis, 08 Desember 2016

Bola Mata Senja

Aku pernah menatap punggungmu, dibalik besi. Saat itu kau biarkan aku menatapmu.
Namun ketika bola mata kita saling menatap tiba-tiba saja kepalamu menunduk, dan perlahan badanmu hilang dibalik tembok. Kata yang sedaritadi kusiapkan. Akhirnya harus kubungkus kembali. Hanya kata sapaan "hai" , tapi rupanya kau lebih enggan untuk mendengar.
Hatiku berdegup saat itu, mungkin karena  aku masih menyimpan perasaan itu.
Saat aku ada sejajar denganmu. Kau sedang membasuh wajahmu dengan air wudu. Seakan kau ingin menghindariku dengan bantuan keran air dibalik tembok.  Kali ini aku mengalah, aku kembali mengenang kenangan. Kulihat kepalamu menoleh ke kanan ke kiri, entah apa yang sedang kau cari. Tapi aku yakin, bahwa matamu sedang mencariku.
***
Aku berdiri, hanya untuk menikmati senja sore ini, hembusan anginnya aku suka. Di balik tembok aku berdiri. Saat bola mataku mengajakku berbalik arah menghadap jalanan. Disana aku melihat sepasang bola mata yang kukenal. Hatiku bergetar, kakiku bahkan ikut gemetar. Aku menundukkan kepalaku dengan perlahan hingga akhirnya tubuhku membentuk sudut 90 derajat. Lalu tanganku perlahan membuka keran dihadapanku, hingga aku memberi alasan untuk berwudu.
Mataku kembali nakal. Dia mencari bola mata yang tadi kutatap. Tapi ternyata dia benar-benar hilang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat.
***
Aku memanggilnya "Raj" dia cinta monyetku saat SMP. Yang kuingat tak ada kata berpisah untuk kami. Namun untuk jarak sepersekian mil. Aku dan dia harus saling menjauh,lantas lupa.
Aku pernah sempat berpamitan. Entah pesan itu pernah kukirim, atau lantas kuhapus dan terlupakan.
Aku memilih bersama yang lain. Karena kupikir keluarganya dan keluargaku tak akan menyatu. Aku memilih pergi.
Aku tak tahu jika tahun ini adalah tahun yang tepat untuk sepasang bola mata saling menatap, mengalun dalam memori masa lalu.
***
Aku memanggilnya "Put". Sama seperti namanya, bagiku dia seperti putri. Putri yang sedang berkuasa di hatiku. Tapi entah apa gerangan yang terjadi kurasa dia pergi. Kabur begitu saja, saat aku lupa menutup jendela kamarnya.
Kupikir aku bisa gila kehilangannya. Namun kini aku memilih pergi bersma wanita lain.
Aku pernah menunggunya, menunggu kata pamit. Namun ternyata tak ada kisah tentang aku dan kamu yang akan menjadi kita.
Dan hari ini, semua nyata. Ini adalah ujian bagiku atau sebagai pengingat. Bahwa aku pernah mencintai bola mata senja yang ku tatap. Mungkin ini adalah waktu yang tepat bagi aku dan kamu juga bagi bola mata senja kita.
***
Aku terburu-buru, kubuka kunci sepeda motorku. Aku mendorongnya kebelakang. Takdir apa lagi yang membuat kita saling bertemu. Motorku menabrak motormu,
Tapi saat itu mataku enggan menatapmu. Karrna hal pertama yang kulihat adalah motormu. Aku ingat semua kesukaanmu. Warna putih dan juga motor besar. Tak lupa sticker yang selalu terpasang di setiap barangmu: "Raj".
Bibirku tak mampu menahannya. Saat mata tak lagi tertahan menatapmu
Di wajahku telah terbit bulan sabit entah itu bersinar entah suram. Karena hanya orang di hadapanku yang busa melihatnya.
"Maaf, aku ngga sengaja"
Hampir bersamaan kalimat itu keluar.
"Mau kemana? Pulang?," dia menatapku, dan memberikan senyumnya untukku.
"Eh? Iya. Ini mau pulang. Duluan ya" jemariku cepat menggenggam gas motor hingga akhirnya terlepas dari tatapan mata masa laluku.
***
Aku terburu-buru, kubuka kunci sepeda motorku. Aku mendorongnya kebelakang. Takdir apa lagi yang membuat kita saling bertemu. Motorku menabrak motormu.
Ada bulan sabit terbit di wajahmu. Dia bersinar. Aku ingat, bulan sabit itu tujuh tahun lalu. Sinarnya masih sama. Namun kali ini lebih bersinar lagi.
"Maaf, aku ngga sengaja"
Hampir bersamaan kalimat itu keluar.
"Mau kemana? Pulang?," aku bertanya padanya, dan memberikan senyum yang kubisa untuknya
"Eh? Iya. Ini mau pulang. Duluan ya" tangannya seperti gemetar bicaranya juga seperti buru-buru. Kamu pergi begitu saja membiarkan aku yang hanya menyaksikan punggungmu. Dan kamu pergi menjauh, lalu hilang.
***
Malam itu kotaku basah, cacing diperutku merunta. Aku memutuskan untuk pergi membeli makan.
"Nasi goreng, mie goreng atau pecel lele?" aku membatin memikirkan makanan. Tapi sepertinya malam itu aku harus kembali bersama takdir, saat kupilih makanan bernama nasi goreng, saat itulah lunas aku membayar takdirku.
"Nasi goreng satu ya mas, makan disini" kuputuskan duduk di pojok, malam ini warung kaki lima tidak terlalu ramai karena rintik hujan masih saja turun. Kemungkinan banyak banyak manusia malas keluar.
Kupikir hari ini adalah hari yang biasa, makan nasi goreng sepertinya bukan menjadi pilihan yang tepat. Aku lupa bahwa ada manusia dengan rambut keriting dengan matanya yang indah, bola matanya hitam, sedang di giginya berbaris rapi kawat, dia menyukai makanan ini: nasi goreng. Sangat suka.
Saat aku tengah asyik menyendok makanan lalu memasukkannya dalam mulut, saat itu ada bayangan yang membuatku takut. Seperti sedang adadalam kegelapan, hingga harus ku angkat kepala dan menatapnya.
"Sial, ini bukanlah momen yang tepat untuk bertatapan" aku membatin dalam hati. Benar tatapan itu masih sama, bola mata juga hiasan gigi seperti pagar.
"Makan juga?" Kalimatnya membuatku tersadar dari lamunanku. Aku hanya mengangguk diam terpesona. Kukedipkan mataku beberapa kali,dan kini dia duduk tepat di hadapanku.

1 komentar: