Ada kata sakit meski itu tak terlihat, untuk kesekian
kalinya kamu hadir lantas pergi. Membawa rasa yang tak pernah kau biarkan ikut
bersamamu. Bukankah kita adalah dua manusia yang harus mengikuti takdir Nya.
Takdir yang sudah tertulis dalam kitab langit, kitab kita yang tak pernah bisa
kita intip. Perkara mudah jika sore itu dipelataran rumah matamu tidak memberi
kode. Atau aku yang terlalu peka mengartikan kode. Lantas aku jadi salah dalam
menerjemahkanmu.
Kehidupan kita bukan melulu tentang cinta. Banyak
kisah seru yang seharusnya kita lalui. Cinta hanya sebuah pesan yang harus
sampai pada orang yang bijak dan arif. Seseorang yang saat ini ataupun kelak selalu
mendampingi kehidupanmu. Siapa dia? Untuk saat ini tentulah orang tuamu, lantas
untuk suatu saat nanti akan ditambah dengan istri dan anak-anakmu. Jangan
pernah meninggalkan Dia yang maha memberikan segalanya, tentu saja Dia yang
maha segalanya, pemegang kitab langit yang kita miliki.
Jika dulu aku
pernah hadir dan singgah, maka sekarang izinkan aku pamit dan pergi. Karena
belum menjadi seseorang yang tepat untuk mendapatkan penghormatan ini. Jika dulu
aku pernah memita tanggung jawabmu, maka sekarang aku tak akan menagih janji
itu, karena aku sudah rela, dan menjadikan itu sebgai pelajaran hidup yang
berarti
Kita lupa
bahwa tak seharusnya langkah ini kita lalui bersama. Adalah sebuah kesalahan
jika aku terlalu menginginkanmu. Dulu kita adalah dua insan yang saling
mengenal baik. Maka untuk sekarang tak ada salahnya jika kita menjadi dua insan
yang juga masih mengenal baik, tapi dengan sekat yang harus kita jaga. Aku akan
tetap menjadi teman, kepada siapapun termasuk kamu didalamnya. Tapi jika Tuhan
berkata aku bersamamu, maka izinkan aku mengabdikan hidupku.
Tanganku berhenti menulis sejenak memikirkan tentang
apa yang seharusnya terjadi, keputusasaan yang tak pernah ada habisnya: cinta. Aku
tak mengerti sejak kapan mengenal kata itu. Bukankah kamu guru yang pernah
hadir dalam kehidupanku, lantas memporak-porandakan prinsip serta kehidupanku.
Lima tahun lalu, kau hadir bagaikan pangeran dengan
penuh ketulusan mengajariku banyak hal hingga membuatku lupa bahwa aku harus
selalu menjaga diri dan kehormatanku. Lantas saat semua telah aku berikan, kamu
malah pergi seenaknya saja.
“Aku harus kemana? Jika kamu yang aku percaya saja
tega meninggalkanku” batinku lirih, tubuhku terkulai lemas, mataku sembab
sedang air mataku tak henti menetes. Medengar kabar kau segera menyempurnakan separuh
agamamu. Secepat itukah aku yang telah melepaskan semuanya tergantikan oleh
orang lain.
Kali ini batinku memberontak, seluruh anggota tubuhku
memberikan perlawanan termasuk hati di dalamnya. Jemariku lincah menyentuh
beberapa tombol menjelma tulisan, rentetan kata yang menjadi kalimat,
permohonan atas segala hal. Segera kukirim pesan singkat itu, semoga tak pernah
salah alamat karena otakku masih perlu diragukan dalam mengingat nomor
ponselmu. Lima menit kemudian ponselku berdering. Kuterima panggilan agar bisa
mendengar suara disebrang sana.
“Kalau gitu ayo kita ketemuan ditaman kota pukul lima
sore” tanpa basa-basi suara itu seperti perintah. Kulihat jarum pendek masih
tertuju pada angka tiga, sedang jarum panjang masih enggan berganti di angka
satu. Ini adalah kesempatan bagiku. Kesempatan memperjuangkan cinta. Ah dasar,
sudah disakiti masih saja mau memperjuangkan.
Pukul lima tepat aku duduk manis di bangku taman kota,
namun yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Kunikmati pemandangan beberapa
pasangan kekasih yang sedang asyik memadu kasih sambil berjalan bergandengan
tangan.
“Bukankah empat bulan lalu, ini adalah keputusan final
kita? Jangan membuat orang lemah dihadpanmu ya, kamu pikir kali ini aku mau
kembali padamu? oh tentu tidak!” jelasnya. Semua sudah jelas, kamu tiba-tiba
datang menghampiriku.
“Tapi, bagaimana dengan aku, dengan hubungan yang
pernah kita jalin, aku hanya mengatakan ayo saling memperbaiki diri sebelum
menikah, agar kelak saaat pernikahan selalu diberkahi. Aku hanya ingin kita
saling bertaubat selama satu tahun ini, setelah itu ayo, kita pertanggung
jawabkan apa yang telah kita lakukan. Aku bahkan tak mungkin membohongi
pasanganku kelak, maka aku harus menikah denganmu” aku berkata lirih demi
menjaga lirikan orang-orang yang siap memperhatikan air mataku.
“Jadi kamu hanya ingin aku bertanggung jawab atas
kamu, hah bertanggung jawablah sendiri atas hal bodoh yang pernah kamu perbuat”
Tanganmu saat itu berani mengangkat daguku, bahkan tak pernah kau takut demi
melihat air mataku menetes. Bagimu urusan kita telah usai. Lantas kamu pergi
tanpa memberiku kesempatan.
Ini lah takdirku sekarang menjadi janda sebelum
menikah. Aku bagai daun yang tak mengenal arah setelah jatuh, aku tertiup angin
terbawa arus air. Meratapi kehidupan yang menjijikkan ini. Rasanya aku ingin
menegak baygon yang kata orang ampuh menghilangkan rasa sakit. Tapi, aku
terlalu takut pada pencipta. Takut Dia semakin membenci.
Bagaimana aku harus menutupi kebiadabanku dihadapan
keluarga dan teman-temanku, mengaku masih gadis tapi tak punya lagi harga diri.
Entah cara apa yang bisa kutempuh selain hanya mati menjijikkan. Tapi hal bodoh
itu tak pernah sampai hati untuk kulakukan, jika dia tak bisa bertanggung
jawab, maka aku tak akan memintanya bertanggung jawab. Sudah tiga tahun dia
resmi menjadi milik wanita lain, bahkan kabar terakhir kudengar istrinya sedang
hamil tua anak kedua. Tentu aku harus merelakannya, mengganti kehidupan
menjijikkan menjadi kehidupan penuh berkah.
Beberapa kali kuberanikan diri mengikuti majlis ilmu,
menimba ilmu agama yang kurasa harus selalu aku pelajari. Semakin lama, hatiku
semakin enteng dan tenang, merasa Allah selalu ada untukku. Hingga akhirnya aku
dan hatiku mampu berdamai dengan masa laluku. Sampai ponselku berdering semua
masih sama, aku telah menjadi pribadi yang menomor satukan Allah.
Kuangkat panggilan masuk dengan segera memberikan
salam, yang menelpon pun dengan segera menjawab salam, lalu dengan sigap
bertanya kabar. Aku bahkan belum tahu siapa yang menelpon kabar buruknya dia adalah
laki-laki. Aku sangat takut jika ada yang melamar, bahkan sudah lima lamaran
kutolak, karena aku takut jujur memberitahu masa laluku.
“Ini aku Rama” Nama yang sudah lama tak pernah
kudengar, akhirnya menelpon. Mungkin ada urusan yang bisa aku bantu, makanya
dia menelpon. Hingga pertanyaan aneh itu muncul dalam pembicaraan ini “Kamu
sudah menikah?”
“Belum, ada apa?” Aku menjawab pendek.
“Apa kamu mau menikah denganku?” Omong kosong apa ini,
kamu memintaku menikah denganmu lantas bagaimana dengan istri dan kedua anakmu,
juga anak yang baru saja lahir ke dunia.
“Maaf, aku bukan perusak rumah tangga orang” segera
kututup panggilan itu. Hatiku berdesir, aku memang tak lagi menginginkanmu,
tapi cinta itu masih ada untukmu. Segera
kuambil air wudu lantas sholat untuk menenangkan jiwa dan meminta ketetapan
hati untuk mencintai-Nya dan menerima dengan lapang takdir-Nya.
Satu minggu setelah itu kamu datang ke rumahku membawa
pangeran kecil juga seorang perempuan yang menggendong bayimu. Ah, tentu saja
itu pasti istrimu. Tapi dengan lapang kubukakan pintu rumah dan menyambut
kedatanganmu.
“Ibu dan bapak ada?”
“Oh, ada tunggu sebentar ya, silakan masuk dulu dan
duduk” aku mempersilakan kalian masuk ke dalam rumahku. Dengan segera aku
memanggil kedua orang tuaku, lantas menuju dapur membuatkan minuman untuk
kalian.
Tanganku gemetar, saat kamu meminta izin untu
menikahiku. Di depan wanitamu kamu melamar anak gadis orang. Aku dengan segera
meletakkan air minum dan menyuguhkan pada kalian.
“Ingat istrimu, Mas. Di depan istrimu, kamu melamar
anak gadis orang”
“Saya bukan istrinya Tuan Rama. Saya hanya baby
sister untuk bayinya Tuan Rama, karena istrinya meninggal setelah
melahirkan bayi ini” wanita itu angkat bicara. Sedang tubuhku gemetar, lalu
kulangkahkan kaki pergi menjauh, memasuki kamar dan menangis sejadinya. Sedangkan
orang tuaku sangat menghargai keputusanmu meminangku. Seperti mereka mengetahu
aib yang selama ini aku tutup rapat.
Segera kugoreskan tinta hitam pada kertas putih tak
bedosa. Mengatakan apa saja yang bisa kukatakan. Semoga kamu mengerti tentang
pesan yang pernah kukirim untukmu. Bahwa aku tak berhak mendapat penghormatan
darimu sebelum ucapanmu dipercaya dan disaksikan banyak orang bahwa kamu telah
sah menjadi imamku.