Sudah
hampir sepuluh menit lidahku menjadi kelu. Suasana seperti ini sudah bisa aku
tebak sebelumnya. Tapi ternyata aku belum juga siap menghadapinya. Lelaki di
hadapanku ini hanya memandangi kotak warna tosca dan sebuah undangan dengan
warna senada di hadapannya.
"Ibam,
aku harus pulang sekarang. Ibu baru saja mencariku. Sudah banyak tamu menunggu
di rumah." Akhirnya keluarlah kalimat itu. Sedari tadi aku menahan untuk
tidak mengucapkannya. Tapi aku harus bergegas. Aku tidak ingin membiarkan
hatiku kalah lagi dengan keadaan. Aku berdiri dan segera menuju pintu keluar
kafe.
"Arlita,
semoga kamu bahagia." Suaranya parau. Dia tidak menatapku. Aku menoleh dan
mempercepat langkahku untuk segera pergi. Sekuat tenaga mencoba menahan bulir
air di kedua bola mata agar tak sampai jatuh. Keputusan untuk bertemu dengannya
hari ini adalah kesalahan besar. Hingga saat ini aku belum juga sampai di
rumah. Aku kini sibuk membuka kenangan yang telah lama aku simpan rapi dalam
ingatan.
***
Aku masih duduk termenung menikmati senja
sore ini, banyak kenangan pahit di pantai dekat rumahku, dulu saat aku rindu
pada ibam aku selalu kesini menuliskan kerinduanku, dan membuat kertas-kertas
itu terkumpul setiap harinya. Lima tahun aku tak henti menulis saat mengingat
tentang ibam.
“Tak
pernah ada yang salah dari pertemuan kita bukan? Yang salah hanyalah hatiku
yang tak bisa dikendalikan”
Aku menuliskan kata demi kata yang
kurangkai dalam kertas origami yang sengaja kulipat bentuk flaminggo, harapanku
suatu saat semua kata ini akan terbang bersama flaminggo ke hadapanmu.
Bukan kamu yang memulai semua ini, aku
tahu. tapi entah darimana datangnya perasaan ini aku juga tak tahu. Bagaimanapun
kita adalah dua insan yang tak pernah berjumpa sebelumnya. Bagaimanapun ini
adalah takdir yang telah dituliskan tuhan untukku dan untukmu.
Pertemuan pertama kita, sepertinya aku
yang membuat takdirnya, tapi tidak. Semua itu juga sudah ketentuan yang telah
ditetapkan-Nya. Hingga kebetulan-kebetulan yang pernah aku rasakan itu juga
kebetulan yang pernah ditulis oleh-Nya.
jatuh hati dengan Ibam bukanlah
keinginanku, tapi kenyataannya perasaan itu hadir cepat sekali dan sulit untuk
dikendalikan. Mungkin karena setiap nasihatmu dan pesan kirimanmu membuatku
nyaman sehingga hatiku benar-benar harus terpaut disana dan membuatku menyusuri
lebih dalam tentangmu dari penjuru hati manapun. Sampai aku harus tersesat lama
di ruang gelap ini. Akankah kamu membukakan pintu untukku pulang atau
membiarkanku hidup dengan cahaya didalam ruang ini.
kenyataannya aku tetap ada di dalam ruang
tanpa cahaya ini selama lima tahun.
Bukan hanya sekali aku mencoba
merelakanmu, merelakan setiap perasaan yang muncul. Semua itu bukan menambah
cahaya terang tapi membuatku terkubur semakin dalam.
Pernah saaat itu aku memblokir semua
sosial media milik ibam. Itu adalah salah satu upayaku agar bisa melupakannya,
namun tiba-tiba saja ibam hadir menelponku dan memberikan semangat untuk
pendidikanku.
Pertemuan yang pernah aku buat dengan
anggapan merubah takdir. Ternyata semua itu bukan aku yang merubah takdir.
Hanya saja pertemuan pertama yang aku buat itu adalah takdir Tuhan, begitupun
kebetulan-kebetulan yang membuatku semakin gencar menyukaimu dan bertahan
hingga saat ini. Semua pernah aku lakukan, tapi hati tetaplah hati. Merelakan
itu sulit tapi pasti. Aku yakin entah dibelahan dunia mana akan kutemukan
keadaan telah merelakan mu dengan semua perasaan yang kubawa.
“Detik
ini, dengan flaminggo yang kubuat bersama dengan kata yang sudah terangkai,
akan kulepaskan semuanya pergi kehadapanmu, semoga akan sampai ditanganmu
dengan waktu yang tepat”
***
"Mbak
Lita kan sekarang usianya sudah mau dua puluh empat. Ada pekerjaan tetap juga.
Kenapa nggak dicoba dulu? Nggak baik lho kalau langsung menolak." kata
ustadzah Fina sore itu. Aku semakin pening. Semua orang seakan mendukung niat
mas Fajri untuk mengajakku taaruf. Fajri Irsyaqi, seorang engineer di satu
perusahaan terkemuka. Aku mengenalnya lewat suatu komunitas sosial dua tahun
lalu. Dia adalah salah satu pendiri komunitas tersebut. Kami sering bertemu di
acara bakti sosial yang diadakan komunitas itu. Aku akui, mas Fajri memang enak
dipandang. Bukan itu saja, jiwa sosialnya sangat tinggi. Dia bahkan masih bisa
membagi waktu antara pekerjaannya di kantor dengan kegiatan komunitas yang dia
dirikan bersama dua orang temannya. Selain itu, dia juga pribadi yang paham
betul tentang
agama. Kami tidak akan pernah melewatkan shalat berjamaah meski sedang ada kegiatan di luar. Siapa
lagi kalau bukan mas Fajri yang mengajak dan mengingatkan. Kalau wanita normal
pada umumnya tidak akan sepusing ini saat dia menyampaikan niat baiknya. Bahkan
mungkin akan sangat bahagia. Sepertinya aku ini memang harus segera bangun.
Menunggu sesuatu yang tak pasti berarti mempertaruhkan waktuku yang sia-sia.
Toh orang yang ditunggu tidak pernah terlihat mempersiapkan apapun. Malam itu
juga sujudku lebih panjang, doaku semakin keras. Aku ingin meneguhkan hati agar
tidak lagi hilang arah seperti ini.
Paginya
dengan keyakinan yang susah payah aku kumpulkan, aku mengajak Ibu untuk
membicarakan hal penting ini. Aku menghampiri Ibu yang sedang sibuk di dapur.
Memasak opor ayam kesukaan Bapak untuk menu akhir pekan ini.
"Ibu
masih ingat mas Fajri?" aku memulai percakapan.
"Yang
ngirim email ngajak kamu taaruf? Teman satu komunitas kamu?"
"Iya
bu. Dia boleh ke rumah?"
Seketika
Ibu membalikkan badan, menatapku dekat. Matanya seakan mengungkapkan
keterkejutannya.
"Mbak
Lita berubah pikiran? Bukannya email itu sudah kamu terima satu bulan yang
lalu? Boleh dong dengan senang hati, Bapak juga pasti mengizinkan. Niat baik
harus disambut baik kan? Sana deh balas dulu emailnya. Setelah itu bantu Ibu
masak ya mbak. Mood masak Ibu jadi bagus hari ini." dia tersenyum manis
sekali. Aku membalas senyumnya dan berlalu masuk kembali ke kamar.
"Kalau
niat Mas Fajri masih belum berubah, mas dan wali sudah ditunggu Bapak dan Ibu
di ruuntuk bersilaturahmi." hanya itu balasan yang aku kirim.
Selang
tiga hari tepatnya hari Sabtu sore, mas Fajri dan Ayahnya datang bertamu ke
rumah. Mereka berdua lebih banyak ngobrol dengan Bapak.
"Saya
hanya karyawan biasa pak. Selain pekerjaan di kantor saya juga bantu-bantu di
komunitas yang sama dengan Arlita. Setidaknya saya ini bisa bermanfaat buat
orang-orang di sekitar saya." Begitu jawaban mas Fajri saat ditanya Bapak
tentang aktivitasnya sehari-hari. Bapak melirikku dengan senyum yang lucu.
Malam sebelumnya aku sudah menceritakan sedikit tentang mas Fajri pada Bapak.
Dia jelas bukan karyawan biasa, karirnya sangat bagus. Dia juga pendiri
komunitas itu, bukan hanya sekedar bantu-bantu. Jawaban mas Fajri yang rendah
hati itu sepertinya akan mempermudah jalannya untuk mengambil hati Bapak.
Selama berbincang dengan mas Fajri entah mengapa rasanya berbeda. Meski sudah
sering bertemu di beberapa kegiatan komunitas, kali ini lain. Mungkin karena
perbincangan sore itu sangat serius.
Semua memang sudah dalam kendali-Nya. Jika
tidak untuk bersatu makan akan berpisah. Kotak tosca yang kukirimkan pada ibam
tidak datang diwaktu yang kuharapkan, tapi dia datang di waktu yang telah
ditentukan oleh-Nya. Karena pertemuan kita hanyalah untuk sebatas pengingat.
Hsil Kolaborasi antara Antika dan Nayunda
Hihiy...
BalasHapusasyik
BalasHapus