“Maafkan aku, kemarin aku
baru saja membaca semua itu” dia meletakkan kotak itu tepat dihadapanku. Kotak
setahun lalu yang kukirimkan melalui pos kini hadir dihadapanku. Mataku
tercekat melihat kotak itu, banyak pertanyaan yang muncul dipikiranku. Aku
melihat gurat wajah bahagianya. Bibirnya yang tipis memberikan senyum simetris
yang indah. Rambutnya masih sama seperti tujuh tahun lalu potongan ala chef
arjuna dengan kulit sawo matang.
Dia yang sejak dulu aku
inginkan kehadirannya kini benar-benar hadir dihadapanku dan membawa sepaket
kotak yang pernah ku kirimkan.
“Kamu pemilik kotak ini,
darimana saja kamu selama ini?” hatiku parau, mendorong kotak itu kearahnya.
Satu jam sebelumnya. Aku sebenarnya
tak ingin melangkahkan kaki bertemu dengannya. Jika bukan karena Ibuku yang
meminta maka aku tidak akan pernah lagi menemuinya. Bukan karena aku
membencinya, tapi aku hanya takut jika hatiku berbelok arah. Lagi.
Aku tak akan membiarkan cincin
dijari manisku ini lepas begitu saja hanya karena melihatnya kembali dengan
kotak kardus mie instan itu.
Bertahun-tahun lalu aku selalu
menunggunya, tapi aku hanya seperti kapas yang terhempas angin kesana kemari
kehilangan arah. Aku membutuhkan banyak waktu untuk merelakannya pergi.
“Aku hanya sedang
mempersiapkan diriku untuk bersamamu dan menunggumu siap untuk bersamaku itu
saja, tapi sepertinya aku terlambat karena ini sudah kau kirim sejak tahun
lalu, dan sepertinya sekarang aku yang harus merelakanmu pergi” matanya
berkaca-kaca, Zafa berbicara sambil melihat cincin dijari manisku sebelah kiri.
Mungkin saat ini hatinya hancur, melihat keterlambatannya. Tapi apa yang bisa
aku dan dia lakukan selain mengubur kenangan-kenangan yang bertaburan. Termasuk
menerbangkan seluruh flaminggo didalam kardus mie instan itu yang selalu aku
buat dan didalamnya kutuliskan setiap detail keresahan menantinya hadir.
“Aku sudah membaca semua isi
flaminggo itu, aku butuh tiga malam
untuk membaca seluruh flaminggo juga blogmu yang penuh derita, kapan kau menikah?”
Pertanyaan Zafa benar-benar membuatku kacau, aku diam dan tak bisa menjawabnya.
Aku seperti terjun dalam dunia khayalku tiga tahun lalu, yang siap menunggunya
datang.
Tapi cincin yang melinkar
dijari manisku membuat bibirku beku. Dan aku hanya diam. Lagi.
Aku pernah menerka setiap
kebetulan yang terjadi, mulai dari awal perkenalan kita hingga
kebetulan-kebetulan yang pernah terjadi sampai dua tahun lalu. Ternyata aku
benar bahwa dia memang ingin bersamaku. Tapi semua itu tak ada gunanya jika
hanya aku yang berjuang, sedangkan dia pernah pergi menjauhi aku. Hingga harus
kuputuskan untuk mengubur dalam-dalam setiap kenangan dan kebetulan yang pernah
terjadi agar aku dpat hidup bahagia bersama orang yang tepat pada waktu yang
tepat.
“Segera akhir pekan ini aku
akan melaksanakan akadku, maafkan aku karena pernah membuatmu jatuh hati” air
mataku tak terbendung, dengan mengucap basmalah dan keteguhan hati kujawab
pertanyaannya.
“Semoga kau bahagia, dan maaf
telah membuatmu menderita tanpa mampu mempertanggungjawabkannya. Beruntunglah
lelaki itu. bolehkah aku membawa flaminggo itu, dan biarkan aku saja yang
menrbangkannya perlahan” senyumanmu tak lagi manis saat ka lukiskan bersama air
mata itu. aku tidak suka.
“ambillah apa yang menjadi
milikmu, jangan ambil apa yang sudah milik orang lain” aku menyeka air mataku.
Dan mulai menegakkan tubuh. Karena aku tidak boleh lemah saat berhadapan
dengannya. Aku harus sudah membersihkan hatiku. Hanya flaminggo itulah saksi
penantianku padanya yang ternyata tak berujung satu. Karena mungkin inilah
jalan kami. Bukan berada dalam satu jalan. Tapi kami memiliki tujuan yang
berbeda, hingga harus berpisah dipersimpangan jalan.
Cerpennya keren.
BalasHapusNote : "mengubur dalam-dalam setiap kenangan dan kebetulan yang pernah terjadi" ... siiip :)