Laman
Minggu, 28 Mei 2017
(Alumni) Workshop Bersama Komunitas Pemuda PKS
Sabtu, 27 Mei 2017
Born To be Writer
Jumat, 26 Mei 2017
(Bukan) Takdir
Siapa di sini yang tak punya cita-cita? Pada dasarnya semua manusia memiliki cita-cita. Baik yang pemalas, penjahat dan orang baik.
Lihatlah sebenarnya para pemalas itu punya keinginan. Keinginan itulah cita-cita mereka, begitupun dengan para penjahat.
Berbicara tentang cita-cita. Aku adalah seorang remaja dengan segudang cita-cita. Ambisiku adalah ingin menjadi tenaga kesehatan. Mengapa? Hal ini didorong oleh kedua orang tuaku yang juga bergelut di dunia kesehatan. Sejak kecil aku selelu mendambakan menolong orang sakit, menggunakan jas putih dan stetoskop terkalung di leher. Impian itu tak pernah berubah walau sedikit.
Aku selalu berusaha mengejar impian itu, mulai dari belajar dengan giat hingga mulai membaca buku-buku ibu tentang ilmu keperawatan dan kedokteran.
Dukungan kedua orang tua selalu kudapatkan. Mereka sangat mendukung aku menjadi seorang dokter, bahkan ayah dengan sengaja menyiapkan suatu klinik agar dapat memotivasi belajarku.
Saat itu usiaku masih 16 tahun, bulan November aku mendapat undangan dari salah satu universitas swasta di lampung. Mengejutkan! Undangan itu berisi kabar gembira. Aku diterima di fakultas kedokteran. Betapa bahagianya aku saat itu. Tapi aku lupa kapan aku mengikuti tes dari universitas itu. Hingga rasa penasaranku tumpah pada suatu pertanyaan ke semua penjuru sekolah. Ah, ternyata ini adalah hasil TPA (tes potensi akademik) yang dua bulan lalu diadakan di sekolah. Tapi apa salahnya diikuti, apa salahnya aku melanjutkan langkah, ini juga sesuatu yang aku cita-citakan.
Akhir pekan kuputuskan pulang ke rumah, karena hanya di akhir pekan aku bisa pulang berjumpa ayah dan ibuku. Keadaan jarak puluhan kilometer yang membentang antara rumah dan sekolah, sehingga aku harus naik bus untuk berbagi kabar.
"Ayah, aku lolos di kedokteran nih. Ambil aja ya, daftar ulang di sana" ungkapku pada ayah saat sedang duduk di depan televisi. Aku memberikan undangan itu pada ayah.
"Lah, mahal amat biayanya" kening ayah saat itu mulai mengernyit.
"Yah, kan dapat beasiswa tuh, terus ada potongan uang daftar ulang juga" aku membela diri.
"Ya, kalau ayah si pinginnya kamu kuliah kedokteran di universitas negeri, Jangan swasta lah ya. Toh universitas itu jelek banget, ngga banget deh lulusannya"
"Apa iya Yah? Baik deh kalau gitu ngga jadi kakak ambil"
Hari berlalu begitu cepat, kesehatan ayah memburuk. Sudah satu bulan ayah tinggal di rumah sakit. Nasihat ayah selalu menghiasi pertemuan setiap akhir pekan. Selalu ada kata perpisahan yang ayah sampaikan.
Hingga akhirnya tiba saat jarak memisahkan aku dan ayah. Jarak yang tak panjang tapi tertutup oleh dimensi yang berbeda. Duniaku sudah bukan dunia ayah. Ibuku menjadi janda dan mengurus ketiga anaknya, yang sekarang punya gelar yatim.
Meski ayahku sudah tiada, tapi impian itu masih tetap terngiang dalam telingaku. Iya, hanya sebatas bisikan mimpi. Karena aku melihat, mimpi itu tak pernah mungkin jadi nyata. Lihatlah, bagaimana ibu harus menghidupi dan membiayai sekolah kami. Sedangkan sekolah kedokteran membutuhkan jutaan uang. Bisa saja aku nekat sekolah. Tapi akibatnya adik-adikku harus merelakan sekolahnya. Ah, tentu itu masih kurang. Uang peninggalan ayah tentu tak banyak. Tapi keyakinan dan keteguhan hatiku selalu menang. Aku tetap berusaha semampuku, karena pasti akan ada jalan menuju impian, jika itu adalah takdir.
Aku mengajar TK di dekat rumah, menjual dagangan usaha milik budeku (kakak ibu). Lumayan, beberapa kerabat ayah kuhampiri, agar mau membeli daganganku. Lantas uang hasil dagang dan mengajar kutabung, untuk menambah uang kuliah.
Hari itu adalah hari penentuan, segala usaha telah kukerahkan. Tiba saatnya aku melohat pengumuman. Ku buka laptop dan masuk ke halaman resmi tes sbmptn. Ternyata saat aku melihat, hatiku berdesir hebat. Aku dinyatakan lulus, tapi bukan di fakultas kedokteran, melainkan di fakultas keguruan. Ah, tentu saja aku kecewa. Tapi aku heran betapa menerimanya hatiku saat itu. Aku bahkan tidak meneteskan setetes air mata, hatiku rela menerimanya bahkan tetap mengucap syukur. Entah mengapa tapi hati ini terasa lebih nyaman saat menerima kenyataan pahit itu. Awalnya kupikir akan menangis.
Tapi menerima sebuah kenyataan adalah hal terindah dalam pembelajaran hidup. Lihatlah bagaimana aku bisa menerima segalanya dengan ikhlas. Aku melihat kondisi keluarga yang semakin terpuruk ekonomi, hingga harus kuputuskan mengurungkan niat. Bahkan uang tabunganku sudah habis terbabat. Maka, aku yakin bisa melanjutkan impian ayah, hanya sekedar mendapat sarjana, meski bukan sarjana kedokteran. Semoga ayah bangga memiliki anak seperti aku. Aku menyayangimu ayah.
Selasa, 23 Mei 2017
Kembali
Ada satu tempat yang kusebut dia syurga. Sebuah taman dipinggir jalan yang pernah kita temukan.
Rangkaian bunga membentuk pola, seperti labirin, namun tak tinggi. Bunga mawar tumbuh merekah. Indah.
Hanya ada beberapa pohon besar di sana. Tidak begitu rindang, tapi sejuk. Banyak juga kursi membentuk pola lingkaran. Apa yang membuat sejuk adalah dekatnya taman ini dengan tempat beribadah.
Ada taman bermain yang siap menjadi rumah bagi anak-anak berbahagia. Membagi sedikit senyum dan tawa mereka lewat permainan. Lalu aku dan kamu, kita akan menikmatinya. Pemandangan yang indah.
Jika kita lihat ke atas mendongakkan kepala, pasti akan ada awan di sana. Namun taman ini sungguh indah untuk menyatukan perpaduan langit dan bumi. Bahagialah tentu milik kita yang menemukan taman ini sebagai surga persinggahan pertama kita.
Di sana aku mengukir sejarah, bahwa setiap mimpi akan menjadi nyata jika sang penguasa langit menghendakinya.
Taman indah yang pernah kita singgah.
Tanpa ragu kita melaju.
Meski hanya sebatas menit yang kau berikan.
Mencipta mimpi menjadi nyata.
Merengkuh angan berbatas jarak.
Meskipun bibirku mulai kelu, saat pertama kali bola mata coklat kita beradu. Lantas mataku tak henti menikmatimu.
Jarum jam yang terus melaju tak pernah suka melihat kebahagiaan.
Dia bahkan enggan menghentikan waktu meski hanya berbilang detik.
Sedang aku masih ingin berlama-lama bersamamu.
Ah, mungkin hanya aku.
Sedangkan kamu, hatimu ingin segera enyah dan pergi dariku. Terimakasih untuk hadiah yang berbilang keren. Karena waktumu adalah kado terindah. Senyummu sebagai bonusnya.
Lihatlah matamu,
Tak henti menyaksikan langit
Sesekali kau bertanya, hanya untuk memastikan aku tak jenuh.
Sejujurnya, aku tak pernah bosan sekalipun harus melihat wajahmu seharian.
Sekarang tanganmu asyik bermain ponsel. Tentu saja aku merasa kau dimarahi tunnaganmu. Menemuiku bukan menjadi impianmu. Namun, pertemuan kita adalah aku yang memimpikannya. Sekarang ponselmu berdering, lantas kau menjauh untuk sekedar menjawab panggilan tunanganmu.
"Bisa kita pulang sekarang?" Ujarmu sesaat setelah kau matikan panggilan itu.
"Oh, tentu" aku menjawab.
Aku tahu, kau sangat takut kehilangan tunanganmu, tapi lihatlah gadis disampingmu. Dia juga takut kehilanganmu.
Pertemuan kita hanya berbilang menit, lantas tunanganmu tak mau memberikan sedikit kebahagiaannya untukku.
Kembali. Aku dan kamu, harus kembali pada bentangan jarak yang tak terhingga.
Kembali. Aku harus kembali hanya mengikat sejarah dalam aksara.
Kembali. Kamu harus kembali pada apa yang sudah ditulis langit untukmu.
Iya, aku akan kembali menikmatimu meski hanya pada layar ponsel tanpa kedipan matamu.
Bandarlampung, 23 Mei 2017