Laman

Minggu, 28 Mei 2017

(Alumni) Workshop Bersama Komunitas Pemuda PKS



Workshop menulis ini diadakan oleh komunitas pemuda PKS bersama dengan pemateri-pemateri yang luar biasa dari negeri literasi lampung. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk mengikuti workshop ini. Bagaimanapun awalnya saya adalah peserta yang ditolak saat mendaftar, karena kuota sudah penuh. Tapi ini lah yang dikatakan rezeki dari Allah yang juga menjadi takdir jalan kehidupan yang telah tertulis. Seorang admin mengabari adanya kuota tambahan. Alhamdulillah saya masih bisa mengikuti workshop ini dan semoga membawa manfaat. Hari minggu, 30 April 2017 pukul 08.00 WIB. Saya sudah sampai di secret garden, yang merupakan tempat tongkrongan baru dan menjadi tempat pertemuan workshop kepenulisan. sesampainya di sana saya disuguhkan dengan pemandangan luar biasa repotnya panitia menyipkan tempat. Saya yang datang seorang diri akhirnya memberanikan diri bertanya kepada salah seorang panitia. 

“Maaf kak, ini benar acara workshop kepenulisan itu kan?” kataku.
“Oh iya, sebentar ya mba, panitianya sedang bersiap-siap. Tunggu dulu ya” ujarnya.

Setelah puas mendapatkan jawaban itu, akhirnya saya memutuskan untuk duduk santai dan saya pun disuguhkan pemandangan unik sebuah bangku dengan background tumbuhan hijau. Imajinasi saya pun liar lari kemana-mana, seperti inilah bentuknya.


 Aha, pukul delapan lewat, entah lewat berapa. Seluruh peserta yang sudah menunggu diminta mengisi daftar hadir di meja registrasi untuk kemudian memasuki ruang workshop yang ada di lantai dua ruang VIP secret Garden. Hah, ruangannya ber-AC alhamdulillah, insyaAllah nyaman selama proses workshop berlangsung. Kurang lebih seperti inilah ruangan workshopnya.

Beberapa menit berlalu, para pemateri pun sudah hadir, bagitupun dengan peserta yang mulai mengisi bangku-bangku kosong. Terlihat di depan ada Kak Suwanda selaku ketua FLP Lampung, ibu Sri Rahayu atau yang lebih akrab disebut dengan Umi Naqiyyah Syam selaku founder Tapis Blogger, Kak Izzah Annisa yang merupakan penulis cerita anak dan ada Mas Ikhsan pemilik Aura Publishing.

Materi pertama disampaikan oleh kak Suwanda, saya lupa banyak materinya nih hehe. Malah saya ingat kata-kata moderatornya begini kurang lebih. “Pembaca yang luar biasa adalah pembaca yang membunuh penulisnya” wuuh, ini adalah kalimat yang membuat saya semangat membaca buku tiga kali hehe. Pertama saya membaca sebagai pembaca, kedua saya membaca sebagai murid, ketiga saya membaca sebagai penulis, hingga akhirnya saya siap menjadi pembunuh.

Inti dari materi kak Suwanda yang saya tangkap adalah
Apa mitivasi terbesar menulis yang kamu miliki?
Jeng, jeng… seketika hati saya bergetar hebat mendengar pertanyaan ini, lantas hati kecil saya berlarian, bingung mencari jawaban.
Setelah 28 hari saya berpikir saya menemukan jawaban terbaik, yaitu menghasilkan karya yang bermanfaat untuk orang banyak.
berikut sesi poto kak Suwanda yang sedang memaparkan materi
sumber : Ig tapis blogger

Materi kedua disampaikan oleh Umi Naqiyyah Syam. Salam rindu nih untuk guru jurnalisku saat SMP. Banyak sekali catatan yang masih terngiang di memori. Umi Naqiy menjelaskan tentang blog. Pertama adalah tentang membranding diri, wah saya sangat antusias nih dengan materi ini, hinga akhirnya saya mendapat branding “Smart Writer” itupun saya masih ragu mengaplikasikannya, tapi tak ada salahnya. Karena dengan berani membranding diri maka saya akan selalu berusaha mewujudkan apa yang telah saya brandingkan pada diri saya. Yah hitung-hitung sebagai motivasi gitu.

Ada yang penting nih tentang blog, agar banyak pengunjung kita harus memperhatikan bahwa “konten is King”. Kita harus mengisi blog kita dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat bisa tentang berbagi pengalaman, membantu menyelesaikan masalah, berbagi tips dan tutorial, hiburan dan informasi aktual. Wah pasti blog kita ramai dikunjungi nih kalau sudah isinya bnyak manfaatnya.
berikut adalah potret mamarazi saat Umi Naqiy menyampaikan materi
 

Materi ketiga disampaikan oleh kak Izzah Annisa, wah wah baru kali ini saya sharing langsng dengan penulis cerita anak, sejujurnya sudah lam sekali saya tidak membaca cerita anak, tapi setelah sharing bersama akhirnya saya memutuskan membaca buki cerita anak. Karena dengan cerita anak pun ternyata saya bisa menghasilkan karya yang bermanfaat untuk generasi penerus bangsa ini.

Kak Izza mengatakan bahwa dongeng itu luas, semua bisa menjadi tokoh.

Pemateri terakhir adalah Kak Ikhsan pemilik Aura Publishing nih. Materi dari beliau cukup simpel dan sangat membangkitkan motivasi saya untuk menyebar luaskan karya ke media cetak. Beliau memberikan informasi tentang perbedaan penerbit mayor dan indie ada kekurangan dan kelebihannya juga.

Akhirnya sesi pemberian materi pada kelas workshop kepenulisan telah usai. saatnya istirahat dan melihat sekeliling Secret Garden. Tak berbekas jika workshop kepenulis tidak ditindak lanjuti, kita tidak pernah tahu seberapa besar otak kita memahami materi jika tidak dilakukan ujian. Setelah istirahat selesai, para peserta diminta untuk kembali ke ruang workshop. Ternyata, ujian dimulai. Seluruh peserta diberikan kebebasan memilih kelas, dan aku pasti memilih kelas fiksi. Akhirnya para panitia memberikan tugas menulis fiksi berdasarkan gambar sate. Yah, saat itu jujur saja saya bingung mau nulis apa. Akhirnya saya menghasilkan sebuah karya dengan judul “Lima Menit yang Lalu”. Tapi saya lupa apa yang telah saya tuliskan di kertas polio itu.
ini adalah saat ujian dimulai hehe.
 Sumber: Ig Izzah Annisa

Diakhir acara selalu dan selalu sesi poto-poto menjadi suatu syarat pamitan hehe. Ya begitulah sayangny tidak ada poto yang terekam di ponselku.

Apa yang membuatku senang adalah, adanya group whatsapp yang akan menjaga dan membantu alumni workshop kepenulisan dalam membuat tulisan yang keren-keren nih. Di sini kami diajarkan banyak hal. Alhamdulillah, terimakasih komunitas pemuda PKS yang sudah rela membuat acara sedemikian keren hingga ada tindak lanjutnya. Ini sangat bermanfaat bagi saya yang bercita-cita memiliki karya seabreg dengan manfaat yang berlebih di dalamnya.


Sabtu, 27 Mei 2017

Born To be Writer



Assalamualaikum teman-teman. 

Semua manusia terlahir sebagai penulis
Pernahkah kalian berpikir? Mengapa harus menulis. Pada cerita kali ini aku akan menceritakan bagaiamana diriku dan menulis. Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (KBBI, 2016). Sebenarnya setiap manusia terlahir sebagai penulis, hanya saja ada yang mengaplikasikannya secara terus menerus dan ada juga yang hanya sekedar mengaplikasikannya sekali dua kali.

Pada dasarnya menulis ada hubungannya dengan membaca. Kalian ingat? Bagaimana Allah memeritahkan Nabi Muhammad pada wahyu pertamanya, yaitu “Bacalah”. Allah maha tahu, bahwa dengan manusia membaca maka akan terlahirlah generasi-generasi hebat calon penulis yang nantinya akan mengabadikan ilmu.

Mengapa demikian??
Ketika seseorang belajar, hal pertama yang harus dilakukan adalah membaca ilmu tersebut. Kemudian setelah dibaca maka kita dituntut untuk memahami. Lalu bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita telah paham dengan ilmu yang kita baca? yaitu dengan menulis. Dengan menulis maka manusia akan dengan sendirinya mengikat setiap ilmu yang telah dipahaminya. Karena dengan menulis kita juga akan mudah mengingatnya. Hal ini juga merupakan alasan mengapa sewaktu di Taman Kanak-kanak kita diwajibkan untuk bisa menulis.

Pembelajaran saat kecil adalah apa yang sudah seharusnya ada dalam diri kita hingga saat ini, jika dulunya kita diajarkan menulis pastilah setiap manusia di dunia ini adalah penulis. Sayangnya beberapa hanya mengaplikasikan penulisan dalam ilmu-ilmu tertentu dan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Padahal sebagai makhluk sosial kita tidak boleh hanya memikirkan ego kita.

Nah apa bedanya penulis biasa dengan penulis luar biasa?
Perbedaannya hanya satu, penulis biasa adalah orang-orang yang hanya menuliskan sesuatu untuk dirinya. Sedangkan penulis luar biasa adalah penulis yang berani memberikan tulisannya untuk orang lain. Mana yang kupilih? Tentu aku lebih suka menjadi penulis yang luar biasa. Dengan menjadi penulis yang luar biasa, maka kita telah membuktikan usaha kita menjadai manusia yang bermanfaat untuk orang lain.

Bayangkan jika tulisan kita dinikmati oleh orang lain, apalagi bisa menasihati pembaca secara tak langsung. Alangkah senangnya hidup kita. Menasihati orang lain bahkan sebelum mengenal secara nyata. Bagaimana caranya? Yah, tentu dengan menjadi seorang penulis yang luar biasa dengan seabreg karya yang bermanfaat.

Seberapa besar impianku untuk menjadi penulis luar biasa?
Sangat besar. Aku hanyalah seorang mahasiswa, sehingga sangat sulit bagiku memberikan perubahan bagi negeri ini. Apalagi dengan melihat pengikisan moral di kalangan remaja. Impianku menjadi penulis yang luar biasa adalah ingin mendekati para remaja melalui karya-karyaku. Jika aku tak bisa memberikan kebaikan untuk mereka satu per satu dari sabang sampai merauke, setidaknya aku berharap dengan hasil tulisanku (karyaku) aku bisa membantu menangkap para remaja agar tidak jatuh dalam lubang pengikisan moral.

Mungkin untuk saat ini aku masih belum bisa menghasilkan karya yang memukau, tapi aku selalu berproses untuk menggapai impian itu, impian menjadi penulis yang luar biasa. Agar kelak karyaku bisa bermanfaat. Terlebih untuk kalangan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Dalam proses ini aku harus menyiapkan seabreg ilmu yang harus kubaca, sehingga kelak aku bisa menuliskan dengan bahasa dan gaya cerita yang aku miliki.

Sejak kapan suka nulis?
Sejak bisa nulis angka nol dan huruf alfabet. Sejak kecil aku coret-coret buku, walau hanya sekedar tulisan dengan font alay anak SD, atau bahkan imajinasiku dalam membuat sebuah rumah untuk kata-kata. Saat itupun aku sudah sering menulis surat, judulnya surat masa depan yang kutunjukkan pada kotak sampah. Iya, karena aku tidak tahu harus menyimpan dimana curhatan itu akhirnya kubuang di kotak sampah setelah selesai menulis. Lalu SMP aku mengikuti ekstrakulikuler jurnalistik bersama penulis dari lampung mulai belajar membuat cerita pendek.

Kenapa kok berani bermimpi menjadi penulis?
Aku berani karena aku yakin. Aku berani karena aku sudah membuat rencana. Bayangkan kalau belum ada rencana, pasti aku lebih baik mundur secara teratur. Daripada bermimpi tanpa ada rasa ingin merealisasikannya.

Semua sebenarnya ada dalam niat yang telah terbungkus tekad. Niat untuk membuat suatu perubahan melalui karya. Aku harus berani untuk membuat perubahan kecil. Tapi pastinya diiringi dengan proses yang sangat panjang. Dan aku siap untuk melalui proses itu, meskipun kata bang tere untuk jadi penulis hebat butuh waktu 20 tahun dalam belajar, yang mana artinya aku baru bisa menjadi penulis hebat saat usiaku 42 tahun…

Ah, intinya ingat. Aku berani karena aku percaya pada diriku bahwa “Aku Mampu, Aku bisa dan Allah akan membantu”.


Jumat, 26 Mei 2017

(Bukan) Takdir

Siapa di sini yang tak punya cita-cita? Pada dasarnya semua manusia memiliki cita-cita. Baik yang pemalas, penjahat dan orang baik.
Lihatlah sebenarnya para pemalas itu punya keinginan. Keinginan itulah cita-cita mereka, begitupun dengan para penjahat.

Berbicara tentang cita-cita. Aku adalah seorang remaja dengan segudang cita-cita. Ambisiku adalah ingin menjadi tenaga kesehatan. Mengapa? Hal ini didorong oleh kedua orang tuaku yang juga bergelut di dunia kesehatan. Sejak kecil aku selelu mendambakan menolong orang sakit, menggunakan jas putih dan stetoskop terkalung di leher. Impian itu tak pernah berubah walau sedikit.

Aku selalu berusaha mengejar impian itu, mulai dari belajar dengan giat hingga mulai membaca buku-buku ibu tentang ilmu keperawatan dan kedokteran.

Dukungan kedua orang tua selalu kudapatkan. Mereka sangat mendukung aku menjadi seorang dokter, bahkan ayah dengan sengaja menyiapkan suatu klinik agar dapat memotivasi belajarku.

Saat itu usiaku masih 16 tahun, bulan November aku mendapat undangan dari salah satu universitas swasta di lampung. Mengejutkan! Undangan itu berisi kabar gembira. Aku diterima di fakultas kedokteran. Betapa bahagianya aku saat itu. Tapi aku lupa kapan aku mengikuti tes dari universitas itu. Hingga rasa penasaranku tumpah pada suatu pertanyaan ke semua penjuru sekolah. Ah, ternyata ini adalah hasil TPA (tes potensi akademik) yang dua bulan lalu diadakan di sekolah. Tapi apa salahnya diikuti, apa salahnya aku melanjutkan langkah, ini juga sesuatu yang aku cita-citakan.

Akhir pekan kuputuskan pulang ke rumah, karena hanya di akhir pekan aku bisa pulang berjumpa ayah dan ibuku. Keadaan jarak puluhan kilometer yang membentang antara rumah dan sekolah, sehingga aku harus naik bus untuk berbagi kabar.

"Ayah, aku lolos di kedokteran nih. Ambil aja ya, daftar ulang di sana" ungkapku pada ayah saat sedang duduk di depan televisi. Aku memberikan undangan itu pada ayah.

"Lah, mahal amat biayanya" kening ayah saat itu mulai mengernyit.

"Yah, kan dapat beasiswa tuh, terus ada potongan uang daftar ulang juga" aku membela diri.

"Ya, kalau ayah si pinginnya kamu kuliah kedokteran di universitas negeri, Jangan swasta lah ya. Toh universitas itu jelek banget, ngga banget deh lulusannya"

"Apa iya Yah? Baik deh kalau gitu ngga jadi kakak ambil"

Hari berlalu begitu cepat, kesehatan ayah memburuk.  Sudah satu bulan ayah tinggal di rumah sakit. Nasihat ayah selalu menghiasi pertemuan setiap akhir pekan. Selalu ada kata perpisahan yang ayah sampaikan.

Hingga akhirnya tiba saat  jarak memisahkan aku dan ayah. Jarak yang tak panjang tapi tertutup oleh dimensi yang berbeda. Duniaku sudah bukan dunia ayah. Ibuku menjadi janda dan mengurus ketiga anaknya, yang sekarang punya gelar yatim.

Meski ayahku sudah tiada, tapi impian itu masih tetap terngiang dalam telingaku. Iya, hanya sebatas bisikan mimpi. Karena aku melihat, mimpi itu tak pernah mungkin jadi nyata. Lihatlah, bagaimana ibu harus menghidupi dan membiayai sekolah kami. Sedangkan sekolah kedokteran membutuhkan jutaan uang. Bisa saja aku nekat sekolah. Tapi akibatnya adik-adikku harus merelakan sekolahnya. Ah, tentu itu masih kurang. Uang peninggalan ayah tentu tak banyak. Tapi keyakinan dan keteguhan hatiku selalu menang. Aku tetap berusaha semampuku, karena pasti akan ada jalan menuju impian, jika itu adalah takdir.

Aku mengajar TK di dekat rumah, menjual dagangan usaha milik budeku (kakak ibu). Lumayan, beberapa kerabat ayah kuhampiri, agar mau membeli daganganku. Lantas uang hasil dagang dan mengajar kutabung, untuk menambah uang kuliah.

Hari itu adalah hari penentuan, segala usaha telah kukerahkan. Tiba saatnya aku melohat pengumuman. Ku buka laptop dan masuk ke halaman resmi tes sbmptn. Ternyata saat aku melihat, hatiku berdesir hebat. Aku dinyatakan lulus, tapi bukan di fakultas kedokteran, melainkan di fakultas keguruan. Ah, tentu saja aku kecewa. Tapi aku heran betapa menerimanya hatiku saat itu. Aku bahkan tidak meneteskan setetes air mata, hatiku rela menerimanya bahkan tetap mengucap syukur. Entah mengapa tapi hati ini terasa lebih nyaman saat menerima kenyataan pahit itu. Awalnya kupikir akan menangis.

Tapi menerima sebuah kenyataan adalah hal terindah dalam pembelajaran hidup. Lihatlah bagaimana aku bisa menerima segalanya dengan ikhlas. Aku melihat kondisi keluarga yang semakin terpuruk ekonomi, hingga harus kuputuskan mengurungkan niat. Bahkan uang tabunganku sudah habis terbabat. Maka, aku yakin bisa melanjutkan impian ayah, hanya sekedar mendapat sarjana, meski bukan sarjana kedokteran. Semoga ayah bangga memiliki anak seperti aku. Aku menyayangimu ayah.

Selasa, 23 Mei 2017

Kembali

Ada satu tempat yang kusebut dia syurga. Sebuah taman dipinggir jalan yang pernah kita temukan.

Rangkaian bunga membentuk pola, seperti labirin, namun tak tinggi. Bunga mawar tumbuh merekah. Indah.

Hanya ada beberapa pohon besar di sana. Tidak begitu rindang, tapi sejuk.  Banyak juga kursi membentuk pola lingkaran. Apa yang membuat sejuk adalah dekatnya taman ini dengan tempat beribadah.

Ada taman bermain yang siap menjadi rumah bagi anak-anak berbahagia. Membagi sedikit senyum dan tawa mereka lewat permainan. Lalu aku dan kamu, kita akan menikmatinya. Pemandangan yang indah. 

Jika kita lihat ke atas mendongakkan kepala, pasti akan ada awan di sana. Namun taman ini sungguh indah untuk menyatukan perpaduan langit dan bumi. Bahagialah tentu milik kita yang menemukan taman ini sebagai surga persinggahan pertama kita.

Di sana aku mengukir sejarah, bahwa setiap mimpi akan menjadi nyata jika sang penguasa langit menghendakinya.

Taman indah yang pernah kita singgah.
Tanpa ragu kita melaju.
Meski hanya sebatas menit yang kau berikan.
Mencipta mimpi menjadi nyata.
Merengkuh angan berbatas jarak.

Meskipun bibirku mulai kelu, saat pertama kali bola mata coklat kita beradu. Lantas mataku tak henti menikmatimu.

Jarum jam yang terus melaju tak pernah suka melihat kebahagiaan.
Dia bahkan enggan menghentikan waktu meski hanya berbilang detik.
Sedang aku masih ingin berlama-lama bersamamu.

Ah, mungkin hanya aku.
Sedangkan kamu, hatimu ingin segera enyah dan pergi dariku. Terimakasih untuk hadiah yang berbilang keren. Karena waktumu adalah kado terindah. Senyummu sebagai bonusnya.

Lihatlah matamu,
Tak henti menyaksikan langit
Sesekali kau bertanya, hanya untuk memastikan aku tak jenuh.
Sejujurnya, aku tak pernah bosan sekalipun harus melihat wajahmu seharian.

Sekarang tanganmu asyik bermain ponsel. Tentu saja aku merasa kau dimarahi tunnaganmu. Menemuiku bukan menjadi impianmu. Namun, pertemuan kita adalah aku yang memimpikannya. Sekarang ponselmu berdering, lantas kau menjauh untuk sekedar menjawab panggilan tunanganmu.

"Bisa kita pulang sekarang?" Ujarmu sesaat setelah kau matikan panggilan itu.
"Oh, tentu" aku menjawab.

Aku tahu, kau sangat takut kehilangan tunanganmu, tapi lihatlah gadis disampingmu. Dia juga takut kehilanganmu.

Pertemuan kita hanya berbilang menit, lantas tunanganmu tak mau memberikan sedikit kebahagiaannya untukku.

Kembali. Aku dan kamu, harus kembali pada bentangan jarak yang tak terhingga.

Kembali. Aku harus kembali hanya mengikat sejarah dalam aksara.

Kembali. Kamu harus kembali pada apa yang sudah ditulis langit untukmu.

Iya, aku akan kembali menikmatimu meski hanya pada layar ponsel tanpa kedipan matamu.

Bandarlampung, 23 Mei 2017