Laman

Rabu, 28 Desember 2016

Tentang dusta

Aku pernah berdusta, semoga kelak tuhan mengampuninya.
Setiap manusia terlahir dengan keunikannya masing-masing. Ada wanita dan laki-laki yang nyatanya diciptakan untuk saling berpasangan.  Namun perlu tetap diingat bahwa jodoh telah ditetapkan olehnya, bahwa sebelum air mata kita menetes dan suara kita memecah keheningan, jauh sebelum itu Tuhan telah membuat skenario terbaiknya untuk kita.
Ada yang tahu apa itu makna dari dusta?
Adalah suatu kata, perbuatan, dan pemikiran yang tidak sesuai dengan kebenarannya.
Aku sendiri tahu bahwa kehidupan terlalu amat sulit untuk di terka.  Maka, jangan, jangan sekali-kali kamu menerka dan mengarang skenario sendiri.  Jangan membiarkan setiap kebetulan yang terjadi membuatmu menjadi pendusta.  Tuhan telah menulisnya, sedang kita adalah artis yang telah dipilihnya.  Peran yang kita jajalankan memang teramat sulit, sangat sulit bahkan.  Namun Tuhan selalu membuat skenario terbaiknya.  Maka kIta harus selalu berada dalam jalan-Nya agar kelak kota selalu bisa menyelesaikan skenarionya dengan baik.
Tentang dusta, jadilah kamu pendusta jika keinginanmu adalah jahannam.
Tentang pendusta, dia hanya akan merasa gelisah tiada henti.
Tentang dusta ia akan menggenggam.tangannya erat.
Tentang pendusta
Dia.akan menahan gejolak getaran jantung yang tak stabil.
Tentang penduata adalah agar kau cepat bertaubat.
Tentang.dusta adalah akan ada banyak manusia tersakiti
Tentang dusta adalah ketika rindu menyeruak membunuh harapan atas ketidak adilan
Tentang dusta adalah pada hati yang dipilih namun tidak memilih
Tentang dusta adalah bahwa hati telah memilih namun ia tetap tak ingin memilih
Tentang dusta adalah tentang kebencian

Bandarlampung, 28 Desember 2016

Selasa, 27 Desember 2016

Mereka menjelma menjadi kita

Aku baru saja menyadari, bahwa diantar mereka ada yang bukan kita.
Malam ini ternyata aku baru menyadarinya.
Dan semua terlihat seperti biasa saja.
Aku melihat mereka yang menjelma menjadi kita,
Namun sepertinya mereka bagai ulat yang menggerogoti buah.
Dari luar terlihat buah itu segar, namun di dalamnya banyak lubang yang membuatnya semakin menjijikkan untuk dimakan
Negeri ini telah jatuh,
Negeri ini porak poranda
Negeri ini hancur.
Siapa yang akan membela. Jika generasi saja seperti aku terlahir.
Tanpa integritas yang tinggi. Dan.tanpa iman yang kuat.
Kini mereka menjelma menjadi kita
Yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Tapi perceraian antara kita itulah penyebab dari segalanya
Keangkuhan, kesombongan, ketamakan dan keegoisan
Semua menjadi akar permasalahan dalam negara kita.
Saya hanya teringat kata-kata yang pernah terucap oleh pak habibi bahwa "untuk apa negara ini merdeka, jika tidak punya integritas"
Saya bangga pada nya. Teramat bangga.
Kini mereka benar-benar telah menjelma menjadi kita, mengambil hak-hak kita, lalu mengambil kuasa atas mereka.
Lantas kita hanya terdiam dan terpojokkan.
Lagi-lagi ini adalah ulah dari beberapa orang saja.
Bukan semua. Namun benar adanya perceraian akan menyebabkan bencana.
Satu hal yang pasti. Kembalilah pada jalan yang lurus. Kembalilah pada jalan yang di ridhoi-Nya.
Bahwa pada pandangannya mereka tidak akan menjelma menjadi kita, hingga akan ada persamaan pendapat tentang-Nya

Poetry

Disana berjejer awan putih megah
Berjalan berlawanan arah
Menutupi biru langit cerah
Berseri dalam angan indah
Atas pengorbanan berfaedah namun terbengkalai
Ada yang pergi lantas kembali
Ada yang kembali lantas pergi
Ada yang tetap namun dilanda kekhawatiran
Disanalah duri menghujam tepat
Saat gelap mulai memanjat
Diantara batang yang pernah diinjak pemanjat
Lalu, angin marah bagai penjahat
Disana ada mawar yang rupawan
Namun, kaki tetaplah gentar
Tak tahan harus melangkah
Dan jatuh tersungkur dalam kenistaan
Jika hanya ada nafsu yang membara

Rabu, 14 Desember 2016

Harapan

Jika hati mulai mengharap, maka biarkan dia berharap.
Tapi gantungkan harapan itu pada-Nya agar kelak tak ada kata menyesal dikemudian hari.
Setiap manusia pasti punya harapan, juga pasti pernah merasakan kepedihan.
Namun setiap diantara mereka akan berusaha mengikhlaskannya meskipun harus dirasanya terhujam pisau tajam.

Setiap manusia telah dikaruniai hati yang bersih saat lahir. Meski demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan pada hati.
Maka istiqomah adalah hal paling tepat untuk menjaga hati tetap bersih.
Sulit memang, tapi surga itu tidak murah. Karena dia lebih elegan dibandingkan dengan berjuta hotel bintang sepuluh yang ada di dunia.

Selasa, 13 Desember 2016

Tua Tubuh Lidi

Ditatapnya lautan api di ujung dunia, sang surya mulai menginjakkan kaki di penghujung cakrawala. Kepalanya menengadah, matanya menatap lautan jingga menghiasi alam. Sedang hidungnya mencium aroma kelelahan. Senja yang buruk. Jalanan dipenuhi robot, lalu lalang manusia berdasi lengkap dengan bau keringat yang busuk, meski tertutup mobil mewah dan parfum tahan satu bulan tak bisa menutupi kebusukan hatinya.
Macet. Sekalipun hanya gerobak tua, dia juga tak bisa jalan. Dia menarik gerobak tuanya, mengangkat ke atas trotoar yang dijadikannya sebagai jalan pintas.
Matanya masih menatap sekeliling, hembusan angin menerpa wajahnya dengan darah yang mulai membeku. Ditekannya kuat-kuat perut kosong itu, kemudian mengistirahatkan tubuhnya di pot bunga pinggiran jalan. Sejuta manusia yang busuk. Menghajar perlahan tubuh lidinya, mengiris hatinya. Lalu aroma apa yang membuatnya semakin bergetar. Tak satupun dari mereka memiliki hati yang mulia. Dia seorang tua yang mengikat perutnya dengan tali rapiah hitam, menahan segala ambisi.
Kini api senja mulai padam, warnanya berganti gelap hitam pekat. Inilah yang indah pada teknologi terbaru, bintang semakin mendekat. Tak ada lagi bintang yang menggantung di langit, tapi bintang menggantung di atas gedung-gedung pencakar langit. Sedang si tua dengan gerobaknya, masih duduk menekan perut dibawah pohon besar, diatas pot bunga pinggiran jalan.
Ada kebahagiaan dalam pertemuan, namun ada kepedihan dalam pertemuan.
Seperti malam ini, dia menangis dalam diam. Isaknya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, rambut putihnya bergoyang, pakaian tipisnya tak lagi mampu melindungi tubuh lidinya. Seorang yang piawai datang mendekatinya, diberikannya bingkisan hitam pada si tua tubuh lidi. Aromanya wangi. Wangi tubuhnya juga wangi bingkisannya.
Kini si tua tubuh lidi tak lagi gemetar,dilepasnya tali rapih yang mengikat perutnya. Bingkisan itu cukup jika untuk menghidupi perutnya dua hari kemudian.  Namun tak sampai hari ke dua.
Dia bertemu dengan seorang piawai itu, dilihatnya ada yang berbeda disana. Si piawai berada dalam kertas koran, ditulisnya oleh jurnalis "Ditemukan tikus di dapur negara".
Tangannya gemetar membaca berita,sedang mulutnya yang penuh dengan roti, buru-buru membuangnya.  Kini air matanya mengalir bersama dengan rintik hujan yang terjun. 
"Dia telah lalai" begitu batinnya sambil menengadah langit mendung, wajahnya siap menanti hujaman air hujan.

Jumat, 09 Desember 2016

Bola Mata Senja 2

Malam itu kotaku basah, cacing diperutku merunta. Aku memutuskan untuk pergi membeli makan.
"Nasi goreng" aku memikirkannya sedaritadi. Tapi sepertinya malam itu aku harus kembali bersama takdir. Entah aku yang harus kembali bersama takdir, atau aku yang sedang menjemput takdir.
"Nasi goreng satu ya mas, makan disini" kuputuskan duduk di pojok, malam ini warung kaki lima tidak terlalu ramai karena rintik hujan masih saja turun. Kemungkinan banyak manusia malas keluar.
Kupikir hari ini adalah hari yang luar biasa, makan nasi goreng di tempat yang biasa. Aku menatap sekeliling. Dan aku milih duduk di pojok sana. Aku merasa mengenal punggung itu, maka kuhampiri dia.
"Makan juga?" Aku mengurnya. Kurasa tak ada lagi yang harus disembunyikan. Akan kubiarkan takdir ini terbuka, hanya saja aku tetap akan menjalaninya sesuai dengan skenario.
Tatapannya kosong, entah apa yang dipikirkan gadis ini. Aku duduk tepat di hadapannya.
"Kok sendirian?" Aku mencoba menyelidiki.
"Ah, i... ya. Kelaparan, makanya keluar cari makan" bicaranya cepat, aku nyaris mendengar suara gugup nya.
Degup jantungnya kurasa tak normal.
Tak banyak kata yang kulantunkan. Pun begitu dengannya.
Mungkin malam ini aku harus mengalah. Dia kembali untuk buru-buru pergi. Aku bingung, apakah dia membenci atau dia gugup.
Dia benar-benar pergi saat derai hujan semakin deras. Beres. Setidaknya aku tidak lagi menemuinya. Sepertinya dia benar-benar membenciku.
***
Aku tak peduli ada jutaan air mencecar kulit. Berkali-kali kupejamkan mata menahan pedih air hujan. Bajuku kuyup.
Aku menyerah, air mataku tumpah. Aku menggenggam erat kakiku, menundukkan kepala, lalu mengapitnya diatara kedua lutut.
"Aku tahu ini akan terjadi. Tapi aku harus kembali menyadari, bahwa aku dan dia tidak akan pernah bersatu".

Kamis, 08 Desember 2016

Bola Mata Senja

Aku pernah menatap punggungmu, dibalik besi. Saat itu kau biarkan aku menatapmu.
Namun ketika bola mata kita saling menatap tiba-tiba saja kepalamu menunduk, dan perlahan badanmu hilang dibalik tembok. Kata yang sedaritadi kusiapkan. Akhirnya harus kubungkus kembali. Hanya kata sapaan "hai" , tapi rupanya kau lebih enggan untuk mendengar.
Hatiku berdegup saat itu, mungkin karena  aku masih menyimpan perasaan itu.
Saat aku ada sejajar denganmu. Kau sedang membasuh wajahmu dengan air wudu. Seakan kau ingin menghindariku dengan bantuan keran air dibalik tembok.  Kali ini aku mengalah, aku kembali mengenang kenangan. Kulihat kepalamu menoleh ke kanan ke kiri, entah apa yang sedang kau cari. Tapi aku yakin, bahwa matamu sedang mencariku.
***
Aku berdiri, hanya untuk menikmati senja sore ini, hembusan anginnya aku suka. Di balik tembok aku berdiri. Saat bola mataku mengajakku berbalik arah menghadap jalanan. Disana aku melihat sepasang bola mata yang kukenal. Hatiku bergetar, kakiku bahkan ikut gemetar. Aku menundukkan kepalaku dengan perlahan hingga akhirnya tubuhku membentuk sudut 90 derajat. Lalu tanganku perlahan membuka keran dihadapanku, hingga aku memberi alasan untuk berwudu.
Mataku kembali nakal. Dia mencari bola mata yang tadi kutatap. Tapi ternyata dia benar-benar hilang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat.
***
Aku memanggilnya "Raj" dia cinta monyetku saat SMP. Yang kuingat tak ada kata berpisah untuk kami. Namun untuk jarak sepersekian mil. Aku dan dia harus saling menjauh,lantas lupa.
Aku pernah sempat berpamitan. Entah pesan itu pernah kukirim, atau lantas kuhapus dan terlupakan.
Aku memilih bersama yang lain. Karena kupikir keluarganya dan keluargaku tak akan menyatu. Aku memilih pergi.
Aku tak tahu jika tahun ini adalah tahun yang tepat untuk sepasang bola mata saling menatap, mengalun dalam memori masa lalu.
***
Aku memanggilnya "Put". Sama seperti namanya, bagiku dia seperti putri. Putri yang sedang berkuasa di hatiku. Tapi entah apa gerangan yang terjadi kurasa dia pergi. Kabur begitu saja, saat aku lupa menutup jendela kamarnya.
Kupikir aku bisa gila kehilangannya. Namun kini aku memilih pergi bersma wanita lain.
Aku pernah menunggunya, menunggu kata pamit. Namun ternyata tak ada kisah tentang aku dan kamu yang akan menjadi kita.
Dan hari ini, semua nyata. Ini adalah ujian bagiku atau sebagai pengingat. Bahwa aku pernah mencintai bola mata senja yang ku tatap. Mungkin ini adalah waktu yang tepat bagi aku dan kamu juga bagi bola mata senja kita.
***
Aku terburu-buru, kubuka kunci sepeda motorku. Aku mendorongnya kebelakang. Takdir apa lagi yang membuat kita saling bertemu. Motorku menabrak motormu,
Tapi saat itu mataku enggan menatapmu. Karrna hal pertama yang kulihat adalah motormu. Aku ingat semua kesukaanmu. Warna putih dan juga motor besar. Tak lupa sticker yang selalu terpasang di setiap barangmu: "Raj".
Bibirku tak mampu menahannya. Saat mata tak lagi tertahan menatapmu
Di wajahku telah terbit bulan sabit entah itu bersinar entah suram. Karena hanya orang di hadapanku yang busa melihatnya.
"Maaf, aku ngga sengaja"
Hampir bersamaan kalimat itu keluar.
"Mau kemana? Pulang?," dia menatapku, dan memberikan senyumnya untukku.
"Eh? Iya. Ini mau pulang. Duluan ya" jemariku cepat menggenggam gas motor hingga akhirnya terlepas dari tatapan mata masa laluku.
***
Aku terburu-buru, kubuka kunci sepeda motorku. Aku mendorongnya kebelakang. Takdir apa lagi yang membuat kita saling bertemu. Motorku menabrak motormu.
Ada bulan sabit terbit di wajahmu. Dia bersinar. Aku ingat, bulan sabit itu tujuh tahun lalu. Sinarnya masih sama. Namun kali ini lebih bersinar lagi.
"Maaf, aku ngga sengaja"
Hampir bersamaan kalimat itu keluar.
"Mau kemana? Pulang?," aku bertanya padanya, dan memberikan senyum yang kubisa untuknya
"Eh? Iya. Ini mau pulang. Duluan ya" tangannya seperti gemetar bicaranya juga seperti buru-buru. Kamu pergi begitu saja membiarkan aku yang hanya menyaksikan punggungmu. Dan kamu pergi menjauh, lalu hilang.
***
Malam itu kotaku basah, cacing diperutku merunta. Aku memutuskan untuk pergi membeli makan.
"Nasi goreng, mie goreng atau pecel lele?" aku membatin memikirkan makanan. Tapi sepertinya malam itu aku harus kembali bersama takdir, saat kupilih makanan bernama nasi goreng, saat itulah lunas aku membayar takdirku.
"Nasi goreng satu ya mas, makan disini" kuputuskan duduk di pojok, malam ini warung kaki lima tidak terlalu ramai karena rintik hujan masih saja turun. Kemungkinan banyak banyak manusia malas keluar.
Kupikir hari ini adalah hari yang biasa, makan nasi goreng sepertinya bukan menjadi pilihan yang tepat. Aku lupa bahwa ada manusia dengan rambut keriting dengan matanya yang indah, bola matanya hitam, sedang di giginya berbaris rapi kawat, dia menyukai makanan ini: nasi goreng. Sangat suka.
Saat aku tengah asyik menyendok makanan lalu memasukkannya dalam mulut, saat itu ada bayangan yang membuatku takut. Seperti sedang adadalam kegelapan, hingga harus ku angkat kepala dan menatapnya.
"Sial, ini bukanlah momen yang tepat untuk bertatapan" aku membatin dalam hati. Benar tatapan itu masih sama, bola mata juga hiasan gigi seperti pagar.
"Makan juga?" Kalimatnya membuatku tersadar dari lamunanku. Aku hanya mengangguk diam terpesona. Kukedipkan mataku beberapa kali,dan kini dia duduk tepat di hadapanku.