Laman

Selasa, 13 Juni 2017

Janda Sebelum Menikah





Ada kata sakit meski itu tak terlihat, untuk kesekian kalinya kamu hadir lantas pergi. Membawa rasa yang tak pernah kau biarkan ikut bersamamu. Bukankah kita adalah dua manusia yang harus mengikuti takdir Nya. Takdir yang sudah tertulis dalam kitab langit, kitab kita yang tak pernah bisa kita intip. Perkara mudah jika sore itu dipelataran rumah matamu tidak memberi kode. Atau aku yang terlalu peka mengartikan kode. Lantas aku jadi salah dalam menerjemahkanmu.

Kehidupan kita bukan melulu tentang cinta. Banyak kisah seru yang seharusnya kita lalui. Cinta hanya sebuah pesan yang harus sampai pada orang yang bijak dan arif. Seseorang yang saat ini ataupun kelak selalu mendampingi kehidupanmu. Siapa dia? Untuk saat ini tentulah orang tuamu, lantas untuk suatu saat nanti akan ditambah dengan istri dan anak-anakmu. Jangan pernah meninggalkan Dia yang maha memberikan segalanya, tentu saja Dia yang maha segalanya, pemegang kitab langit yang kita miliki.

Jika dulu aku pernah hadir dan singgah, maka sekarang izinkan aku pamit dan pergi. Karena belum menjadi seseorang yang tepat untuk mendapatkan penghormatan ini. Jika dulu aku pernah memita tanggung jawabmu, maka sekarang aku tak akan menagih janji itu, karena aku sudah rela, dan menjadikan itu sebgai pelajaran hidup yang berarti
Kita lupa bahwa tak seharusnya langkah ini kita lalui bersama. Adalah sebuah kesalahan jika aku terlalu menginginkanmu. Dulu kita adalah dua insan yang saling mengenal baik. Maka untuk sekarang tak ada salahnya jika kita menjadi dua insan yang juga masih mengenal baik, tapi dengan sekat yang harus kita jaga. Aku akan tetap menjadi teman, kepada siapapun termasuk kamu didalamnya. Tapi jika Tuhan berkata aku bersamamu, maka izinkan aku mengabdikan hidupku.

Tanganku berhenti menulis sejenak memikirkan tentang apa yang seharusnya terjadi, keputusasaan yang tak pernah ada habisnya: cinta. Aku tak mengerti sejak kapan mengenal kata itu. Bukankah kamu guru yang pernah hadir dalam kehidupanku, lantas memporak-porandakan prinsip serta kehidupanku.

Lima tahun lalu, kau hadir bagaikan pangeran dengan penuh ketulusan mengajariku banyak hal hingga membuatku lupa bahwa aku harus selalu menjaga diri dan kehormatanku. Lantas saat semua telah aku berikan, kamu malah pergi seenaknya saja.

“Aku harus kemana? Jika kamu yang aku percaya saja tega meninggalkanku” batinku lirih, tubuhku terkulai lemas, mataku sembab sedang air mataku tak henti menetes. Medengar kabar kau segera menyempurnakan separuh agamamu. Secepat itukah aku yang telah melepaskan semuanya tergantikan oleh orang lain.

Kali ini batinku memberontak, seluruh anggota tubuhku memberikan perlawanan termasuk hati di dalamnya. Jemariku lincah menyentuh beberapa tombol menjelma tulisan, rentetan kata yang menjadi kalimat, permohonan atas segala hal. Segera kukirim pesan singkat itu, semoga tak pernah salah alamat karena otakku masih perlu diragukan dalam mengingat nomor ponselmu. Lima menit kemudian ponselku berdering. Kuterima panggilan agar bisa mendengar suara disebrang sana.

“Kalau gitu ayo kita ketemuan ditaman kota pukul lima sore” tanpa basa-basi suara itu seperti perintah. Kulihat jarum pendek masih tertuju pada angka tiga, sedang jarum panjang masih enggan berganti di angka satu. Ini adalah kesempatan bagiku. Kesempatan memperjuangkan cinta. Ah dasar, sudah disakiti masih saja mau memperjuangkan.

Pukul lima tepat aku duduk manis di bangku taman kota, namun yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Kunikmati pemandangan beberapa pasangan kekasih yang sedang asyik memadu kasih sambil berjalan bergandengan tangan.

“Bukankah empat bulan lalu, ini adalah keputusan final kita? Jangan membuat orang lemah dihadpanmu ya, kamu pikir kali ini aku mau kembali padamu? oh tentu tidak!” jelasnya. Semua sudah jelas, kamu tiba-tiba datang menghampiriku.

“Tapi, bagaimana dengan aku, dengan hubungan yang pernah kita jalin, aku hanya mengatakan ayo saling memperbaiki diri sebelum menikah, agar kelak saaat pernikahan selalu diberkahi. Aku hanya ingin kita saling bertaubat selama satu tahun ini, setelah itu ayo, kita pertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan. Aku bahkan tak mungkin membohongi pasanganku kelak, maka aku harus menikah denganmu” aku berkata lirih demi menjaga lirikan orang-orang yang siap memperhatikan air mataku.

“Jadi kamu hanya ingin aku bertanggung jawab atas kamu, hah bertanggung jawablah sendiri atas hal bodoh yang pernah kamu perbuat” Tanganmu saat itu berani mengangkat daguku, bahkan tak pernah kau takut demi melihat air mataku menetes. Bagimu urusan kita telah usai. Lantas kamu pergi tanpa memberiku kesempatan.

Ini lah takdirku sekarang menjadi janda sebelum menikah. Aku bagai daun yang tak mengenal arah setelah jatuh, aku tertiup angin terbawa arus air. Meratapi kehidupan yang menjijikkan ini. Rasanya aku ingin menegak baygon yang kata orang ampuh menghilangkan rasa sakit. Tapi, aku terlalu takut pada pencipta. Takut Dia semakin membenci.

Bagaimana aku harus menutupi kebiadabanku dihadapan keluarga dan teman-temanku, mengaku masih gadis tapi tak punya lagi harga diri. Entah cara apa yang bisa kutempuh selain hanya mati menjijikkan. Tapi hal bodoh itu tak pernah sampai hati untuk kulakukan, jika dia tak bisa bertanggung jawab, maka aku tak akan memintanya bertanggung jawab. Sudah tiga tahun dia resmi menjadi milik wanita lain, bahkan kabar terakhir kudengar istrinya sedang hamil tua anak kedua. Tentu aku harus merelakannya, mengganti kehidupan menjijikkan menjadi kehidupan penuh berkah.

Beberapa kali kuberanikan diri mengikuti majlis ilmu, menimba ilmu agama yang kurasa harus selalu aku pelajari. Semakin lama, hatiku semakin enteng dan tenang, merasa Allah selalu ada untukku. Hingga akhirnya aku dan hatiku mampu berdamai dengan masa laluku. Sampai ponselku berdering semua masih sama, aku telah menjadi pribadi yang menomor satukan Allah.

Kuangkat panggilan masuk dengan segera memberikan salam, yang menelpon pun dengan segera menjawab salam, lalu dengan sigap bertanya kabar. Aku bahkan belum tahu siapa yang menelpon kabar buruknya dia adalah laki-laki. Aku sangat takut jika ada yang melamar, bahkan sudah lima lamaran kutolak, karena aku takut jujur memberitahu masa laluku.

“Ini aku Rama” Nama yang sudah lama tak pernah kudengar, akhirnya menelpon. Mungkin ada urusan yang bisa aku bantu, makanya dia menelpon. Hingga pertanyaan aneh itu muncul dalam pembicaraan ini “Kamu sudah menikah?”

“Belum, ada apa?” Aku menjawab pendek.

“Apa kamu mau menikah denganku?” Omong kosong apa ini, kamu memintaku menikah denganmu lantas bagaimana dengan istri dan kedua anakmu, juga anak yang baru saja lahir ke dunia.

“Maaf, aku bukan perusak rumah tangga orang” segera kututup panggilan itu. Hatiku berdesir, aku memang tak lagi menginginkanmu, tapi cinta itu masih ada untukmu.  Segera kuambil air wudu lantas sholat untuk menenangkan jiwa dan meminta ketetapan hati untuk mencintai-Nya dan menerima dengan lapang takdir-Nya.

Satu minggu setelah itu kamu datang ke rumahku membawa pangeran kecil juga seorang perempuan yang menggendong bayimu. Ah, tentu saja itu pasti istrimu. Tapi dengan lapang kubukakan pintu rumah dan menyambut kedatanganmu.

“Ibu dan bapak ada?”

“Oh, ada tunggu sebentar ya, silakan masuk dulu dan duduk” aku mempersilakan kalian masuk ke dalam rumahku. Dengan segera aku memanggil kedua orang tuaku, lantas menuju dapur membuatkan minuman untuk kalian.

Tanganku gemetar, saat kamu meminta izin untu menikahiku. Di depan wanitamu kamu melamar anak gadis orang. Aku dengan segera meletakkan air minum dan menyuguhkan pada kalian.

“Ingat istrimu, Mas. Di depan istrimu, kamu melamar anak gadis orang”

“Saya bukan istrinya Tuan Rama. Saya hanya baby sister untuk bayinya Tuan Rama, karena istrinya meninggal setelah melahirkan bayi ini” wanita itu angkat bicara. Sedang tubuhku gemetar, lalu kulangkahkan kaki pergi menjauh, memasuki kamar dan menangis sejadinya. Sedangkan orang tuaku sangat menghargai keputusanmu meminangku. Seperti mereka mengetahu aib yang selama ini aku tutup rapat.

Segera kugoreskan tinta hitam pada kertas putih tak bedosa. Mengatakan apa saja yang bisa kukatakan. Semoga kamu mengerti tentang pesan yang pernah kukirim untukmu. Bahwa aku tak berhak mendapat penghormatan darimu sebelum ucapanmu dipercaya dan disaksikan banyak orang bahwa kamu telah sah menjadi imamku.



Minggu, 11 Juni 2017

Izinkan Ibu Menikah, Nak

"Izinkan ibu menikah,  Nak". Wanita tua itu menunduk demi mendengar jawaban anaknya.  Baru saja satu tahun lalu suaminya meninggal,  tapi sudah ada yang mencuri hatinya. 

"Apa alasan Ibu menikah?" Reha sebagai anak tertua mencoba mengintrogasi.

"Agar tak bermunculan fitnah dalam keluarga kita". 

Fitnah dari keluarga memang terasa lebih pahit,  terlebih fitnah itu dilontarkan pada adik kandungnya.  Bahkan sakitnya kehilangan kekasih tak sesakit fitnah dari keluarga kandung.  Mereka yang mengatakan janda itu buruk adalah mereka yang iri.  Tidak semua janda buruk perangainya,  kadang mereka tak ada niatan untuk menggoda suami orang,  namun ternyata laki-laki lebih ganas saat menghadapi janda.

"Memang sudah ada calonnya" tanya Reha

"Ada,  tapi Ibu ragu apakah kalian mengizinkan atau tidak?" Ibu  menghapus air matanya

"Sepertinya aku kurang setuju deh,  Bu" Fera ikut bicara.  Sebagai anak tengah,  dia menjadi anak yang paling beda diantara kakak dan adiknya,  mulai dari sikap sampai karakternya.

"Lihat dulu deh calonnya seperti apa,  aku akan mengizinkan kalau dia bertanggung jawab dan mau menerima adik-adikku" Ujar Reha mantap.

"Pokoknya aku ngga mau ibu nikah lagi titik" Fera kesal,  dan tidak memberi ampunan jika ibunya menikah lagi.

Tak lama kemudian suara ketukan pintu menghampiri rumah Reha,  tanpa berpikir panjang,  si bungsu segera membukakan pintu.  Seorang laki-laki dengan baju koko dan peci putih sedang berdiri di pintu,  si bungsu segera mempersilakan tamu,  seperti sudah paham siapa yang bertamu. 

"Bu,  om Arif yang datang" Si bungsu berteriak dari ruang tamu,  berlari menuju ruang keluarga.

Reha,  Fera dan Soni si bungsu juga ibunya bergegas menghampiri ruang tamu.  Keadaan menjadi hening seketika,  tapi om Arif seperti mudah mencairkan suasana.  Soni yang sedari tadi duduk di pangkuannya dengan manja, membuat hati Reha luluh seketika. Tapi bagi Fera itu bukan berarti apapun, karena sudah paham karakter manja adiknya. 

Tujuan om Arif malam ini tentu hanya silaturrahmi,  sambil pendekatan dengan pemilik rumah.  Proses ini berlangsung hanya dua hari,  karena Fera memberontak dan marah pada Ibunya,  hingga tak mau sekolah.

Tapi,  bukankah Tuhan pemilik segala skenario terbaik?  Bahkan tuhan juga selalu mengikat jodoh para hambanya agar tak pernah tertukar.

Pagi itu,  dingin menelisik di hari minggu.  Libur keluarga tentunya,  Fera baru mulai keluar kamar dua hari yang lalu. Demi melihat adiknya yang sudah stabil mulut Reha gatal jika tidak menyuruh-nyuruh Fera.

"Fer,  tolong belikan daging di pasar ya,  Dik"
Reha berteriak,  yang dipanggil bergegas datang menemui dan melaksanakan tugas dengan segera. 

"Kak,  memang di pasar itu bisa beli apa saja ya kak" tanya Soni.

"Iya,  dong bisa beli apa saja karena di pasar itu banyak yang jualan"

"Kak,  kalau Soni minta dibelikan Papa bisa?"
Mendengar percakapan itu hati Reha bagai teriris.

Tiba-tiba suara buku berjatuhan, setelah dilihat ternyata buku di ruang tengah di dekat dapur sudah berhamburan kemudian terdengar seseorang berlari langsung menge-gas motor.  Tentu itu Fera,  bukan orang lain.  Mungkin dia mendengar apa yang Soni minta.

Hari berjalan damai,  ada satu yang berbeda.  Sikap Fera pada ibu,  juga pertanyaannya pada ibu tentang om Arif.

"Bu,  om Arif benar serius sama Ibu? " tanyanya. 

"Ndak tahu Dik,  sepertinya serius,  ada apa? " Ibu menjawab dengan tenang.

"Kalau om Arif serius, suruh om Arif datang ke rumah melamar ibu,  Aku sudah mengizinkan Ibu menikah"

Metro,  11Juni2017