Suasana fajar selalu menyenangkan, banyak harapan dan
kebahagiaan yang terlihat pada setiap wajah yang lalu lalang dihadapanku.
Cahaya lampu masih terang, sedang langit mulai membiru. Tanganku masih erat
memegang kertas yang berisi nomor kursi dan nomor gerbong, lalu mataku asyik
menyaksikan beberapa kereta yang tertidur lelap dalam peristirahatnnya.
Setengah jam yang lalu aku melambaikan tangan pada
teman yang mengantar kepergianku tepat di pintu pemeriksaan tiket. Setelah
memberikan kartu identitas dan tiket kepada petugas, aku memutar arah, menyaksikan tangannya
yang melambai penuh cemas.
“Terimakasih ya Put, tumpangannya hehe”
“Hati-hati di jalan, Fa. Kalau sudah sampai tidak
perlu hubungi aku”. Putri memperlihatkan ponsel berwarna putih dengan gantungan
huruf “A”.
“Itu milikku Put”. Putri dengan sigap berlari ke
arahku, tanpa melawati palang pemeriksa tiket dia memberikan ponselku.
“Jelas saja aku tak perlu menghubungimu, tapi akan
kupastikan ponselmu akan diserang SMS”. Tanganku dengan gesit menarik
gantungan di ponselku.
“Akan kupastikan, kau bertemu dengan Alif satu kali,
dua kali, tiga kali, lalu kau menikah” Teriakan itu membuat hatiku berdesir
hebat, nyaris direspon oleh seluruh anggota tubuhku. Alif. Benar saja seorang
yang menjadi ambisiku dalam hidup. Memperjuangkannya menjadi nyata hanya sebuah dongeng penghantar tidur, yang akan kubuat ending bahagia. Semu.
Putri terlalu bahagia mengolokku dalam hal ini. Lalu
kami tertawa bersama dan saling melambaikan tangan. Langkah kaki kami membut
jarak yang semakin jauh, sampai akhirnya aku masuk dalam ruang tunggu, maka
punggung Putri otomatis tak terlihat.
Aku terlalu suka menunggu, keberangkatan kereta yang
seharusnya pukul 07.00 membuat aku rela menunggu 2 jam sebelum dia melaju.
Mataku meneliti setiap sudut mencari sesuatu yang penting. Gantungan ponselku
ternyata hilang, tapi aku bahkan lupa dimana jatuhnya. Usahaku tak sebesar
niatku. Bahkan aku tak ingin menjauh dari kursi tunggu. Kursi ini telah
membuatku nyaman menyaksikan beberapa manusia yang unik.
Sampai akhirnya mataku menemukan target yang tak
terduga. Seorang anak kecil yang digandeng kedua orang tuanya melangkahkan kaki
dengan riang, kusebut dia sebagai pangeran. Mereka duduk di bangku yang sejajar
denganku. Ayahnya berpamitan hendak ke toilet. Belum juga ayahnya kembali, sang
ibu seperti tak kuasa menahan sistem ekskresinya bekerja. Tunggu, aku seperti
pernah melihat wanita itu. Dia memang ibu pangeran kecilku. Entah perjanjian
macam apa yang dilontarkannya kepada pangeran, tapi langkah kakinya begitu saja
meninggalkan pangeran kecilku sendiri.
“Hai, Mirza??” Matanya membelalak tertegun menyaksikan
wanita dewasa yang muncul dihadapannya.
“Ka… kak. Si… a…pa…??”. Bicaranya semakin fasih
saja, terakhir aku mendengar suaranya satu tahun yang lalu. Lewat media sosial
ibunya.
Aku mengulurkan tanganku, menjabat dengan riang “Hai
Mirza, perkenalkan aku penggemarmu”.
“Tapi, Kak. Milza bukan altis”. Telunjuk
tangan kanannya sedang asyik menarik sesuatu di dalam gadgetnya. Anak zaman
sekarang memang pandai memainkan teknologi.
“Nah, berarti sekarang Mirza sudah menjadi artis” Aku
mencubit pipinya. Menggemaskan. Mirza menatap heran, matanya menatap
sekeliling. Mencari ayah dan ibunya yang tak kunjung kembali.
“Ah??? Kalau begitu aku minta hadiah, Kak?”. Kini
matanya mulai terfokus padaku, tangannya menengadah dan matanya membulat
memberikan makna kemanisan pada wajah imutnya. Kuletakkan ponsel diatas tangan
kirinya dan tanpa ragu kuputar tas ransel ke depan, lalu dengan sigap mengambil
dua buah coklat yang siap diterkamnya.
Aku tersenyum menyaksikan adegan itu, kutatap
lamat-lamat wajahnya. Ceria. Sama seperti video dan poto-poto yang kulihat satu
taun lalu. “Taraaaa…. Ini hadiah untuk, Penggemal pel-tama mil-za” gantungan
ponsel dengan huruf “A” terpampang jelas menggantung di jari telunjuknya yang
kini berada tepat dihadapanku. Tanpa berpikir panjang tanganku langsung
meraihnya. Dan kupeluk erat tubuh mungilnya.
Tapi, semua berubah menjadi hal paling menegangkan.
Saat sosok tinggi menutupi cahaya lampu tempat duduk kami.
“Mirza??”. Aku seperti mengenal suara itu, tapi
tubuhku kaku dan takut menengok kebelakang, kupikir itu adalah Ayah mirza, tapi…
“Om Alif” Suara mirza hampir memekakkan telingaku, dan
tanpa berpikir panjang aku melepaskan pelukanku untuk mirza. Aku melangkah
mundur dengan tubuhku yang masih jongkok dihadapan Mirza. Sampai akhirnya,
sesuatu menyentuh punggungku, hingga akhirnya aku harus berdiri dan rasanya
ingin langsung memutar balik arah. Tapi ternyata putar balik arah saat tubuh
bagian belakangmu menyentuh sesuatu bukanlah hal yang direkomendasikan.
Kenangan itu hadir kembali, turun bersama kereta yang
baru saja lewat melanjutkan perjalanan. Mataku masih mengingat setiap inci dari
wajahnya. Tinggi badan 170, mata sipit, kaus hitam, jam tangan perak, hidung
mancung, kulit sawo matang dan satu lagi, gaya rambut ala chef Arjuna.
Senyummu, masih tetap memikat.
“Perhatian. Perhatian, kereta jurusan Kediri-Poncol
berada di lintasan tiga, bagi penumpang, dipersilakan untuk menuju pemberhentian
jalur tiga... sekali lagi…” Suara staf yang mengalun merdu, telah
menyelamatkanku dari jeratan ambisiku.
“Hai…” Tanganku melambai, menunjukkan gantungan ponsel
inisial “A” tanpa sengaja, karena kuletakkan gantungan itu di tangan kanan.
“Hai, Fafa” Suaranya masih sama, dan tatapannya pun
masih sama. Tapi langkah kita tidak lagi sama. Otakku memberi perintah hadap
kanan. Lari grak. Bersembunyi adalah hal paling aman. Tapi, aku seperti menjadi
buronan tingkat dewa. Lihatlah dia bagai seorang polisi yag siap menerkam dari
belakang.
Hingga akhirnya kuraih pintu gerbong pertama. “tuuut…
tuuuut…” kereta mulai berjalan perlahan. Tanpa ragu, aku melambaikan tangan
padanya. Seseorang yang selalu menjadi ambisiku, tapi tak pernah ku
perjuangankan. Seseorang yang selalu menjadi impianku, namun aku takut
meraihnya. Seseorang yang selalu hadir dalam angan, namun aku tak sanggupp
untuk hanya sekedar berangan. Aku tersenyum. Kuperoleh balasan lambaian
tangannya.
Tanganku erat menggenggam gantungan ponsel. A untuk
Alif. Aku adalah penggemar nomor satu keluargamu. Aku terlalu berambisi padamu
dan keluargamu. Bahkan satu kali pertemuan kurasa tak akan mampu mengobati
ambisiku. Karena ambisiku adalah sesuatu yang tidak kamu harapkan. Aku
menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kali aku melihatmu. Bukan sejak pertama
kita saling kenal.
Baru saja aku hendak memberi berita menarik pada Putri,
sayangnya doa putri akhirnya terkabul untuk yang kedua kalinya. Ponselku
kuberikan pada Mirza dan aku tahu bahwa dia adalah keponakan Alif. Habislah
sudah, kereta sudah berjalan terlalu jauh. Aku hanya bisa duduk menikmati video
perjalanan yang terlihat dari jendela kereta.
“Mau kopi mba?” Seseorang dengan Tinggi badan 170,
mata sipit, kaus hitam, jam tangan perak, hidung mancung, kulit sawo matang dan
satu lagi, gaya rambutnya khas ala chef arjuna.
Mataku membelalak, hatiku berdesir hebat. Ini hanya
sebuah kebetulan…
Hmmm chef Arjuna, tapi bermata sipit
BalasHapusRambutnya ala chef juna gitu mba wiid.
HapusTapi matanya sipit ... siapakah dia??
Ihh deg-degan baca endingnya ...
BalasHapusMakin bagus mba tulisan nya kusuukađ
Chef juna kenapa disini hehe. Sip ara
BalasHapusChef juna kenapa disini hehe. Sip ara
BalasHapusaku fans chef Juna kak, wkwkwkkw jadilah chef Juna akan menjadi inspirasi laki-laki itu
Hapus