Laman

Senin, 31 Oktober 2016

PERTEMUAN



Sudah dua tahun aku mengharap pertemuan dengan mu, seorang lelaki yang entah ada dimana. Sejak semalam mataku hidup, pikiranku dipenuhi dengan kemungkinan yang akan terjadi. Sebuah pertemuan yang diharapkan, mungkin juga pertemuan yang dipaksakan. Tapi tetap saja ini adalah kebetulan yang telah Tuhan berikan. Bangunku lebih pagi dari biasanya, meskipun tidurku juga tak secepat biasanya.
“apakah ini rencana Tuhan, atau ini hanya rencana yang kupaksakan” Langkahku terhenti, aku terdiam menyaksikan kemeja merah, jilbab merah juga bawahan hitam. Otakku terus saja bergejolak meminta pembatalan, namun hati tetaplah hati, dia tetap ingin melakukan pertemuan itu. hingga akhirnya aku tubuhku sudah tertutup rapi oleh kemeja merah juga rok hitam. Rambutku masih saja berantakan, belum kusisiri. Ah kenapa aku jadi kerepotan mengurus semua ini. ini hanya pertemuan biasa, bukan pertemuan dua keluarga.
Akhirnya pukul 08.00 WIB, jilbab merah telah menghiasi kepalaku, bibirku merekah warna merah atas hadirnya gincu, tanganku dengan lihai menyolek wajahku, mulai dari mata, alis, hingga bibir. Mataku tertuju pada objek penting didalam kaca.
“apakah aku sudah berlebihan?” kutanyakan semua tanya yang menggantung dilangit-langit otakku. Aku kembali ragu dan menghapus semua riasan di wajahku.
Kembali kulihat wajahk yang sesungguhnya tanpa balutan make up.
beeep … beeep” ponselku berdering tanda pesan singkat masuk. Aku mengambilnya dan membukan pesan itu, hatiku bergejolak. Kakiku seperti ingin melakukan akrobat lompat tinggi diatas kasur, mukaku memerah seperti kepiting rebus. Sedang tanganku tak henti mengirimkan balasan. Ketik, hapus, ketik, hapus, ketik, hapus. Menemukan kalimat terbaik untuk membalasnya.
“Baiklah, kutunggu didepan gang masuk asrama ya, hati-hati dijalan” hanya kalimat itu yang akhirnya kukirim.
Sepatu tubuhku benar-benar dihiasi oleh nuansa merah, dari mulai kepala, ingga bagian kaki.
Kakiku mulai melangkah pergi meninggalkan asrama, demi sebuah pertemuan yang mungkin bukan suatu takdir Tuhan.
Kini aku menyandarkan tubuhku ke pagar rumah orang, menungguimu dipinggiran jalan. Padahal sebelumnya kamu sudah memintaku untuk menunggu di asrama saja.
Naun keinginanku kini tak bisa ditebas, di tumbuh sangat cepat. Maka jadilah aku sekarang menungguimu dipinggiran jalan. Otakku memutar kenangan tentang kamu. Mataku memandang hilir mudik mobil juga motor yang lalu-lalang dihadapanku. Hingga ada sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang, entah mengapa mataku sangat detail, aku melihat kearah lelaki yang mengendarai mobil itu, kurasa itu kamu, namun kakimu tak bisa menghentikan mobil, kamu malah menancapkan gas, hingga mobilu melaju begitu saja. Mungkin matamu yang mulai rabun, atau matamu yang sedang fokus mengendarai? Hingga kamu tak tahu bahwa aku ada dipinggiran jalan itu.
Aku membuka tas, kembali kulihat kamu melakukan panggilan untukku.
“Kamu dimana?”
“Aku didekat atm, tadi sudah lihat mobilmu, tapi kamu yang ngga lihat. Putar balik aja. Aku nunggu dipinggir jalan” Antara bahagia juga sedih, sebenarnya apakah aku melanggar takdir Tuhan jika aku meminta pertemuan ini lebih cepat. Aku belum pernah bertemu dengannya, namun hatiku kerap memilih dia hadir. Hingga membuat otakku menyerang dengan serangan pertemuan. Seperti ada demo di kepalaku. Meminta sebuah pertemuan yang egois.
Kulihat mobil hitam itu terparkir sempurna dihadapanku, jendela pintu kanannya mulai terbuka perlahan. Kulihat tawa sumringahmu dengan lengkung sabit yang membingkai sepasang bibirmu, kemabali kubalas dengan hal serupa. Namun tubuhku mulai gemetar. Menatapmu.
“Ayo masuk mobil, jangan buat kemacetan di kota orang” Kau buka pintu mobilmu. Lamunanku kembali pecah oleh suaramu, kulangkahkan kaki ku, dan langsung menaiki mobil. Aku tak pernah membayangkan pertemuan pertamaku akan semanis ini. kini sepasang bola mataku hanya tertuju padamu.
“Mau kemana kita?” lagi-lagi suaramu membuat otakku berhennti bekerja.
“Terserah saja, aku ikut” matau kembali melihat jalanan yang sepi di depan.  Aku mecubit pipiku sendiri, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.
Sampai akhirnya, matamu melihat disebelah kanan jalan ada sebuah taman indah disana. Mobilmu merapat ke area parkir taman. Aku benar-benar terkesima olehmu, bahwa ini mungkin adalah pertemuan yang memang sudah takdirku juga takdirmu.
Berjalan memutari taman ini, mungkin adalah pilihan yang bijak bagi pertemuan yang sebentar. “Jam tiga nanti, aku harus sudah ada di bandara loh ya. jadi jam 11 kita pulang” seperti sepasang kekasih kini kau malah menarik hidungku. Kalau saja kau tarik, maa hidungku tetap saja akan pesek.
Aku menikmatinya, menikmati terik matahari, menikmati duduk di taman kota bersamamu. Aku juga menikmatinya. Berbicara denganmu.
Waktu selalu berlari dalam kebahagiaan yang tercipta. Kutarik tanganmu kulihat jam tangan itu menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hatiku kembali nanar, mataku mulai berkaca-kaca pertemuan ini hanya sebentar saja, bisakah aku dan kamukembali hadir di pertemuan kedua.
Kamu harus kembali ketempat kerjamu, jauh disebrang indonesia bagian timur. Kembali hatiku harus menerima bahwa kamu belum ditakdirkan untuk bertemu lama denganku. Bahwa sepasang bola mata kita belum punya takdir untuk saling menatap kembali. Kucoret daftar impianku. Karena bertemu denganmu adalah juga impianku.
“Terimkasih atas sepasang bola matamu, yang kini memberikanku kepastian untuk menetap” kutuliskan kata dalam draft buku impianku.

Bandarlampung, Jumat 28 Oktober 2016

3 komentar:

  1. Kayaknya ini non fiktif nih.. Hihi. Deskripsinya udah oke mbak, tapi karena gak ada jeda di antara paragraf jadi gak nyaman bacanya :D

    BalasHapus
  2. Kayaknya ini non fiktif nih.. Hihi. Deskripsinya udah oke mbak, tapi karena gak ada jeda di antara paragraf jadi gak nyaman bacanya :D

    BalasHapus