Seraut wajah terlihat samar di balik kepulan asap. Wajah ayu milik seorang wanita dengan mata tertuju keluar jendela. Dua gelas coklat panas di hadapannya masih mengepul. Aku hanya duduk sambil sesekali menyesap kopi susu di hadapanku.
"Kamu pasti bahagia ya??," tanya wanita itu. Tangannya mengaduk coklat yang mulai mengendap untuk kemudian diteguk . Nafasnya terdengar menderu menikmati coklat dengan tambahan gula ekstra.
"Selama rasa syukur tak pernah hilang pasti masih bahagia," jawabku.
Kini terlihat hatinya tengah mendung, dari matanya yang sendu, genangan air di pelupuk matanya terlihat makin berat dan akhirnya tercipta air terjun pada tebing pipi. Membuatnya semakin licin untuk disentuh.
"Untung dulu kamu pergi, jadi keluargamu tidak akan menanggung malu akibat semua ini. Aku pergi disaat yang tepat bukan? Sekarang pasti wanita itu hidup bahagia denganmu," ucapnya. Gadis itu tertunduk dalam.
Aku ragu, bahkan tangan ini tak lagi bisa menyentuh pipinya. Hanya sekadar tatapan iba dan hati yang terus saja gelisah dengan Mata yang tak lagi bersahabat, tapi genangan air segera ku tepis agar tak pernah jatuh. Karena seorang lelaki harus bisa menjaga ketangguhannya.
"Keluargaku berantakan, ibu dianggap sebagai perebut suami orang. Adik perempuan dianggap menjadi wanita yang tak punya akhlak, adik kecilku dianggap bodoh tak bisa berbuat apapun. Para lelaki silih berganti mempermainkan ibu. Lantas aku ditinggal kekasih menikah. Apa memang ujian ini harus dijalani. Ah, aku tahu setiap lelaki pastilah sudah jijik melihat keluargaku," ujar wanita itu. Bahunya yang semula tegap sekarang mulai mengendur kembali bersandar pada bahu kursi.
"Sudah lah, kamu pasti bisa menyelesaikan semua itu. Aku pergi karena itu pilihanmu. Sekarang aku bahkan tak bisa membantu banyak, kecuali hanya sebagai teman," ucapku tenang. Kuletakkan tangan diatas meja, genggaman erat jemari tak ingin lepas dari gelas susu yang suhunya mulai turun. Mata gadis itu masih asyik menyaksikan tumpahan air dari langit, gemerciknya seolah menjadi melodi sendu puisi curhatnya dalam hati.
Dia bahkan tak pernah tahu bahwa lelaki di hadapannya pernah terluka hatinya karena keputusannya. Sekarang aku melayang di dalam dunia imajinasi. Dunia yang pernah kita isi bersama lantas kulanjutkan hanya dengan imajinasi atas bayanganmu.
"Kau terus menatapku... Akuilah, kau masih merindukanku bukan?,"tanya wanita itu. Aku melempar pandangan sekenanya. Tentu saja, Hana, meski bibir ini tak akan mengakuinya, aku bersumpah kau tak akan salah menerka.
5
BalasHapusSedih ceritanya, mbak Aara...😢😢
BalasHapus