Pagi yang cerah, bukankah menjadi hal paling menyenangkan dalam kehidupan ini. Pagi ini hanya pagi seperti biasa yang kujalani dengan hal yang biasa juga. Aku membuka mataku saat fajar mulai sadar. Membuka lembaran buku untuk mengingat agenda hari ini. Aku lupa bahwa ada seminar temanku pukul 08.00 WIB.
Suara ponselku berdering singkat, ku buka pesan di group whatsapp. Ada pemberitahuan seminar Uci di G5 gedung kuliahku. Pukul 07.00 aku segera mempersiapkan diri, membawa kartu seminar itu yang paling penting.
Aku berangkat pukul 06.45 WIB, tapi motorku mengajakku ke warung, membeli hadiah untuk Uci, hanya sekedar coklat biasa. Aku ingin membuatnya bahagia dihari yang bahagia ini.
"Hubungi teman-teman, Chan. Tolong!!" Seorang bernama Fuady berteriak dari balik kaca jendela ruang G5 yang bertepatan dengan parkir motor.
"Apa??, ada apa?" Kakiku melangkah cepat, karena pendengaranku tidak begitu berfungsi baik. Dibalik kaca jendela, mataku menatap tajam. Seorang dosen yang biasanya terkenal dengan terlambatnya sudah hadir di dalam ruang seminar. Tapi tidak masuk untuk mengisi seminar. Hanya saja.
"Tuh kan, ngga ada pesertanya". Namanya bu Titi, memang sedikit hobi terlambat. Aku membeku seketika, sampai akhirnya bu Titi keluar ruangan. Tanpa berpikir panjang kupercepat langkah kaiku masuk dalam ruang seminar. Uci jelas sudah menceritakan, bagaimana seharusnya seminarnya dilakukan di hari senin, namun inilah yang namanya skenario Allah, takdir dan kehendak Allah. Pembahasnya meminta dimajukan jadi hari Jumat. Namun bu Titi mengkhawatirkan tidak adanya peserta karena ini adalah hari tercepit.
***
Pukul 08.40 WIB. Sepuluh peserta sudah cukup, Roni menjemput dosen. Tak lama kemudian masuklah bu Beta, bu Lisa dan bu Titi sudah hadir sebagai pembimbing dan pembahas. Tapi masih ada satu lagi dosen yang belum hadir, dia adalah bu Nina.
"Sudah mulai saja seminarnya, ngga perlu nunggu orang yang hobinya telat" Ungkap Bu Beta.
"Baik Bu" Roni mengangguk tanda sepakat.
Seminar di mulai...
***
"Iya masa iya bu, macet di jalur kampus, sudah seperti Jakarta saja" ungkap bu Beta.
"Ya, kali memang macet, Bu" Bu Titi menjawab dengan senyum manisnya.
"Yah, kalau dasarnya terlambat ya sudah terlambat saja. Ngga perlu bilang macet" Bu beta menimpali dengan cepat.
Tapi aku sebagai mahasiswa yang duduk di belakang mereka hanya tersenyum getir. Apakah begitu? Haruskah seseorang menilai dari kebiasaannya? Mungkin harus. Tapi sesekali lihatlah, dan percayalah padanya bahwa dia juga bisa berubah. Setiap manusia akan punya masa dimana perubahan menjadi lebih baik adalah pilihan. Lihatlah bu Titi yang biasa terlambat, pagi ini bahkan sebelum pukul 08.00 beliau sudah memasuki ruang seminar, untuk memastikan ada atau tidak adanya peserta.
Inti dari kisah ini tidak panjang. Berikan kepercayaan itu pada mereka, siapapun itu. Karena setiap manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan skenario terindah. Dan memiliki waktu atas setiap peristiwanya.
Selmaat seminar temanku, Uci Agustina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar