Laman

Jumat, 31 Maret 2017

Cinta Pertama atau Cinta Monyet?

Picture by : (Dream of Echi - Echi Illustrations (Vol.01) 1024x768 NO.23 Desktop)

"Ini buat kamu" seorang remaja laki-laki tanggung, memberanikan diri melemparkan selembar kertas yang sudah rapi dilipatnya.  Lima belas menit yang lalu matanya menyaksikan gadis berjilbab pink di dalam musala asrama yang sedang asyik memegangi kitab suci untuk dihafal.  Namanya Ella.  Gadis polos yang masih duduk di bangku SMP.

"Ini apa, Ven?" Ella ragu mengambilnya, tapi yang ditanya sudah melangkahkan kaki lebar-lebar.  Lari pulang ke asrama. 

Tangannya ragu membuka lipatan kertas itu.

_"Hai, Ella. Perkenalkan, namaku Aven. Muhammad Noven, oh iya aku lahir tahun 1993 loh, lebih tua 3 tahun dari kamu, jadi kamu harus memanggilku Kakak. Tarimakasih telah membaca suratku"_

Seketika, dahinya mengernyit, dilipatnya kembali kertas kecil itu, lalu dimasukkan dalam kitab suci miliknya.  Suaranya kembali melantunkan ayat-ayat suci, sampai mega merah bermunculan.

***
"Ella Savitri" buku bahasa arab itu melayang, dan mendarat tepat di mejanya. Itu buku terakhir yang dibagi ketua kelas. 

"Terimakasih, Ven" Ella tersenyum, memasukkan buku dalam laci, lalu pergi ke kantin.
Keceriaan selalu terbit di wajah Ella. Sedang di lantai 3 sekolah, terlihat sepasang mata yang sedang asyik menikmati gigi Ella yang terus terlihat saat tersenyum dan tertawa bersama teman-temannya. Namun seketika sepasang bola mata itu memerah, mulutnya dipenuhi cibiran, ketika seorang teman laki-laki fullday school mendekati Ella, bahkan mengajak Ella bercanda bersama teman-temannya. Bahkan tanpa disadari tangannya mulai mengepal seperti hendak berancang-ancang meninju besi pembatas.  Tapi senyumnya kembali merekah saat melihat Ella tak menanggapi godaan anak fullday. 

***
Kali ini senja malu-malu hadir, ia tertutup awan hitam. Hujan pun mulai terjun perlahan. Ella sedang menikmati hempasan embun yang diterbangkan angin. Ia duduk di teras musala Tangannya masih asyik memegangi buku. Tanpa di sadari, Ella tidak seorang diri. Ada Aven yang ternyata berlarian menuju musala.

"Ella" Aven menyapanya dengan riang. Tapi Ella, hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. 

"Oh, iya. Ella, tidak ada yang ingin kamu berikan?" Mata aven menyelidik lebih dalam. Tapi Ella kebingungan, tak mengerti apa yang dibicarakan Aven. 

"Mana balasan suratku?" Aven bertanya malu-malu.

"Haah? Surat itu harus di balas?, memang ada apa?" 

"Tentu saja harus kamu balas, jika kamu balas. Itu artinya kita teman" bibir Aven tersenyum, mendengar jawaban dari Ella.

"Tapi tidak ada pertanyaan dalam suratmu, dan aku bingung harus menjawab apa" 

"Kamu tidak harus menjawab pertanyaan. Kamu juga bisa bertanya kabarku"

"Oke baiklah, besok akan kubalas"

"Ah. Iya di dalam buku bahas arabmu juga kuselipkan surat"

Senja yang romantis, bagi remaja tanggung seusia Ella dan Aven. Berdiri menunggu hujan reda, di depan teras. 

***
"Ini balasan untuk mu" 

Ella memberikan kertas balasannya saat mereka berpapasan di perempatan jalan. Hanya mereka berdua yang tahu hal ini. Hingga akhirnya Ella kembali membalas dan terus membalas surat Aven, tanpa di sadari perasaan itu tumbuh begitu saja. Cinta monyet. Karena ini adalah cinta yang dialami anak SMP. Ella mulai terjatuh dalam lubang cinta yang berkepanjangan. Setiap saat dia selalu membaca ulang surat dari Aven. 

Namun, setiap kesalahan pasti akan ada akhirnya. Akhir itulah yang membuat kita belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Agar kita jera. 

***
Sore itu langit cerah, tapi ada kegelisahan yang mendera di hati kedua murid asrama itu. Bahkan sekarang hanya air mata yang mampu mereka keluarkan. Setelah setumpuk surat tergeletak di hadapan keduanya. 

"Siapa yang pertama menulis suratnya?" Tangan ustadz dengan sengaja memukul kencang meja. Mereka hanya berani menunduk dan menitikan air mata. 

"Saya bertanya, jadi silakan di jawab". Keduanya hanya diam, bungkam. Sepertinya lem telah melekat pada kedua bibir itu. 

"Ella, jawab pertanyaannya". Kepala Ella terangkat tubuhnya terkejut, otaknya bekerja langsung, setelah mendengar namanya disebut. 

"Aven. Ustadz" Bibir Ella mulai terbuka, mungkin karena air matanya telah membuat lemnya meregang. Tapi yang namanya disebut, bahkan merasa terpanggil dan langsung membela diri.

"Bukan ustadz, bukan saya" kini lem itu tak berfungsi sama sekali. Mulut keduanya saling beradu mencari pembenaran atas dirinya. 

"Cukup!! Hentikan!!!, kalian tahu. Apa yang kalian lakukan adalah melanggar, jadi kalian harus di scorsing 1 minggu" tangan ustadz melayang ke atas meja. Lagi. Suara dentuman itu membuat siapapun ingin mengintip dalam ruangan sidang. 

"Jika kejadian ini terulang, maka kalian akan dikeluarkan" Ustadz menandatangani surat, lalu memasukkannya ke dalam amplop dan memberikan kepada kedua orang tus kami. Kemudia ditekannya tombol telepon menyambung ke rumah orang tua masing-masing. 

***
Tuhan, maha segalanya. Mampu membolak balikkan hati hambanya, perasaan yang semula biasa saja, menjadi cinta hingga berujung pada benci. Jika dulu surat menjadi hal yang dinanti, kini hanya ada pertengkaran di dalam kelas.

"Woii sekretaris macam apa kamu" Aven memukul meja membuang buku presensi di atas meja Ella.
"Sejak kapan saya Alpa, saya itu masuk terus ya kalau kamu tau" Aven membuka lembar presensi, menunjukkan huruf yang sejajar dengan namanya.

"Ella, ngga pernah menulis alpa" Ella mencoba tenang.

"Ini apa aneeeh" jari telunjuk Aven sudah mendarat tepat pada huruf A di kolom presensi. Tapi Ella menanggapinya dengan santai.

"Coba deh lihat baik-baik. Ini tulisan horizontal  tanggal 15 agustus, itu adalah hari dimana kita mengikuti KARNAVAL, bukan Ella sengaja mengalpa kamu, Ven"

"Ah sudahlah tetap saja kamu membuat Huruf A sejajar dengan namaku" tanpa berpikir panjang aven mendorong meja guru lalu pergi meninggalkan Ella sendirian di dalam kelas.

Sudah satu tahun mereka tak saling akrab. Aven menjadi keras pada Ella, dan terkadang Ella menjadi sangat membencinya. Tapi bagi Ella, aven adalah cinta pertama. Entah cinta monyet atau cinta pertama, tapi Ella menerimanya. 

***
Asrama sudah menjauh, kini Ella tumbuh menjadi remaja yang ceria. Aven sudah jauh tertinggal, entah dibelahan dunia mana. Tapi malam itu berubah, saat ponsel Ella berdering.
"Hai, cinta monyetku, apa kabar" Hati Ella kembali berdesir hebat. Lalu tangannya mulai  mengetik...

Cinta Pertama atau Cinta Monyet?

"Ini buat kamu" seorang remaja laki-laki tanggung, memberanikan diri melemparkan selembar kertas yang sudah rapi dilipatnya.  Lima belas menit yang lalu matanya menyaksikan gadis berjilbab pink di dalam musala asrama yang sedang asyik memegangi kitab suci untuk dihafal.  Namanya Ella.  Gadis polos yang masih duduk di bangku SMP.
"Ini apa, Ven?" Ella ragu mengambilnya, tapi yang ditanya sudah melangkahkan kaki lebar-lebar.  Lari pulang ke asrama. 
Tangannya ragu membuka lipatan kertas itu.
_"Hai, Ella. Perkenalkan, namaku Aven. Muhammad Noven, oh iya aku lahir tahun 1993 loh, lebih tua 3 tahun dari kamu, jadi kamu harus memanggilku Kakak. Tarimakasih telah membaca suratku"_
Seketika, dahinya mengernyit, dilipatnya kembali kertas kecil itu, lalu dimasukkan dalam kitab suci miliknya.  Suaranya kembali melantunkan ayat-ayat suci, sampai mega merah bermunculan.
***
"Ella Savitri" buku bahasa arab itu melayang, dan mendarat tepat di mejanya. Itu buku terakhir yang dibagi ketua kelas.
"Terimakasih, Ven" Ella tersenyum, memasukkan buku dalam laci, lalu pergi ke kantin.
Keceriaan selalu terbit di wajah Ella. Sedang di lantai 3 sekolah, terlihat sepasang mata yang sedang asyik menikmati gigi Ella yang terus terlihat saat tersenyum dan tertawa bersama teman-temannya. Namun seketika sepasang bola mata itu memerah, mulutnya dipenuhi cibiran, ketika seorang teman laki-laki fullday school mendekati Ella, bahkan mengajak Ella bercanda bersama teman-temannya. Bahkan tanpa disadari tangannya mulai mengepal seperti hendak berancang-ancang meninju besi pembatas.  Tapi senyumnya kembali merekah saat melihat Ella tak menanggapi godaan anak fullday.
***
Kali ini senja malu-malu hadir, ia tertutup awan hitam. Hujan pun mulai terjun perlahan. Ella sedang menikmati hempasan embun yang diterbangkan angin. Ia duduk di teras musala Tangannya masih asyik memegangi buku. Tanpa di sadari, Ella tidak seorang diri. Ada Aven yang ternyata berlarian menuju musala.
"Ella" Aven menyapanya dengan riang. Tapi Ella, hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.
"Oh, iya. Ella, tidak ada yang ingin kamu berikan?" Mata aven menyelidik lebih dalam. Tapi Ella kebingungan, tak mengerti apa yang dibicarakan Aven.
"Mana balasan suratku?" Aven bertanya malu-malu.
"Haah? Surat itu harus di balas?, memang ada apa?"
"Tentu saja harus kamu balas, jika kamu balas. Itu artinya kota teman"
"Tapi tidak ada pertanyaan dalam suratmu, dan aku bingung harus menjawab apa"
"Kamu tidak harus menjawab pertanyaan. Kamu juga bisa bertanya kabarku"
"Oke baiklah, besok akan kubalas"
"Ah. Iya di dalam buku bahas arabmu juga kuselipkan surat"
Senja yang romantis, bagi remaja tanggung seusia Ella dan Aven. Berdiri menunggu hujan reda, di depan teras.
***
"Ini balasan untuk mu" Ella memberikan kertas balasannya saat mereka berpapasan di perempatan jalan. Hanya mereka berdua yang tahu hal ini. Hingga akhirnya Ella kembali membalas dan terus membalas surat Aven, tanpa di sadari perasaan itu tumbuh begitu saja. Cinta monyet. Karena ini adalah cinta yang dialami anak SMP. Ella mulai tetjatuh dalam lubang cinta yang berkepanjangan. Setiap saat dia selalu membaca ulang surat dari Aven. Namun, setiap kesalahan pasti akan ada akhurnya. Akhir itulah yang membuat kota belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Agar kita jera.
***
Sore itu langit cerah, tapi ada kegelisahan yang mendera di hati kedua murid asrama itu. Bahkan sekarang hanya air mata yang mampu mereka keluarkan. Setelah setumpuk surat tergeletak di hadapan keduanya.
"Siapa yang pertama menulis suratnya?" Tangan ustadz dengan sengaja memukul kencang meja. Merka hanya berani menunduk dan menitikan air mata.
"Saya bertanya, jadi silakan di jawab". Keduanya hanya diam, bungkam. Sepertinya lem telah melekat pada kedua bibir itu.
"Ella, jawab pertanyaannya". Kepala Ella terangkat tubuhnya terkejut, otaknya bekerja langsung, setelah mendengar namanya disebut.
"Aven. Ustadz" Bibir Ella mulai terbuka, mungkin karena air matanya telah membuat lemnya meregang. Tapi yang namanya disebut, bahkan merasa terpanggil dan langsung membela diri.
"Bukan ustadz, bukan saya" kini lem itu tak berfungsi sama sekali. Mulut keduanya saling beradu mencari pwmbwnaran atas dirinya.
"Cukup!! Hentikan!!!, kalian tahu. Apa yang kalian lakukan adalah melanggar, jadi kalian harus di scorsing 1 minggu" tangan ustadz melayang ke atas meja. Lagi. Suara dentuman itu membuat siapapun ingin mengintip dalam ruangan sidang.
"Jika kejadian ini terulang, maka kalian akan dikeluarkan" Ustadz menandatangani surat, lalu memasukkannya ke dalam amplop dan memberikan kepada keduang. Kemudia ditekannya tombol telepon menyambung ke rumah orang tua masing-masing.
***
Tuhan, maha segalanya. Mampu membolak balikkan hati hambanya, perasaan yang semula biasa saja, menjadi cinta hingga berujung pada benci. Jika dulu surat menjadi hal yang dinanti, kini hanya ada pertengkaran di dalam kelas.
"Woii sekretaris macam apa kamu" Aven memukul meja membuang buku presensi di atas meja Ella.
"Sejak kapan saya Alpa, saya itu masuk terus ya kalau kamu tau" Aven membuka lembar presensi, menunjukkan huruf yang sejajar dengan namanya.
"Ella, ngga pernah menulis alpa" Ella mencoba tenang.
"Ini apa aneeeh" jari telunjuk Aven sudah mendarat tepat pada huruf A di kolom presensi. Tapi Ella menanggapinya dengan santai.
"Coba deh lihat baik-baik. Ini tulisan horizontal  tanggal 15 agustus, itu adalah hari dimana kita mengikuti KARNAVAL, bukan Ella sengaja mengalpa kamu, Ven"
"Ah sudahlah tetap saja kamu membuat Huruf A sejajar dengan namaku" tanpa berpikir panjang aven mendorong meja guru lalu pergi meninggalkan Ella sendirian di dalam kelas.
Sudah satu tahun mereka tak saling akrab. Aven menjadi keras pada Ella, dan terkadang Ella menjadi sangat membencinya. Tapi bagi Ella, aven adalah cinra pertama. Entah cinta monyet atau cinta pertama, tapi Ella menerimanya.
***
Asrama sudah menjauh, kini Ella tumbuh menjadi remaja yang pandai. Aven sudah jaih tertinggal entah dibelahan dunia mana. Tapi malam itu berubah, saat ponsel Ella berdering.
"Hai, cinta monyetku, apa kabar" Hati Ella kembali berdesir hebat. Lalu tangannya mulai  mengetik...


Kamis, 23 Maret 2017

Karpet Merah

Kakiku melangkah menuju peraduan warna biru, ada warna putih yang menghiasinya. Aku mendaki anak tangga yang sempit, hanya cukup menopang sebelah kakiku saja. Tak ada penyangga untuk jemari menggeggamnya,  hingga membuat  aku tak bisa sebentar saja untuk berhenti dan terus bergantian kaki untuk melangkah, karena aku harus terus melaju hingga akhirnya sampai.

Mataku bahkan tak berani melihat kanan dan kiri setelah kulangkahkan 10 kaki dari pintu kayu itu. Jika aku lelah maka aku akan terjatuh dalam jurang kematian selamanya, tapi kakiku bahkan tak sanggup untuk melangkah lebih jauh lagi. Tak ada air mengalir di wajahku tapi keresahan terus menjalar di jiwaku. Kakiku tetap melangkah ke atas entah menuju apa. Tapi kini tanganku harus ikut merentang sebagai penyeimbang. 

"Kapan aku sampai tujuan?" Hatiku teriris mengingat pertanyaan itu. Sudah hampir dua bulan aku belum sampai pada tujuan.

Duniaku menjadi kelabu, suara petir menyambar, lalu terdengar suara mengerikan "Apa tujuanmu?". Rasanya aku ingin menoleh, mencari siapa yang bertanya, tapi akan ada konsekuensi jatuh jika bersikeras mencarinya. Tak ada lagi rasa takut, bahkan jika itu suara tak bertubuh. Maka aku memilih tak peduli dengannya, kakiku tetap mendaki anak-anak tangga yang belum juga usai.
Sekarang suara itu sudah tertinggal jauh di belakang. Di depan terlihat tangga berkelok, mungkin itu adalah pertanda aku akan sampai. Aku berjalan penuh dengan keyakinan dan gembira.

...
Kelokan tangga itu sudah kulihat seminggu yang lalu, tapi kakiku tak sedikitpun menyentuhnya. Hatiku mulai resah memikirkannya.

"Kapan aku sampai tujuan?" Aku berteriak, membuat suaraku menjauh sebentar ke segala arah, lalu kembali menjadi satu dan mengepungku. Cahaya langit membakar kulitku, namun suara petir hadir diantara terik matahari.

"Kemana tujuanmu?" Suara itu kembali datang membuatku gemetar karena nada tingginya. Mungkin jika aku bisa menengok ke belakang, akan terlihat sesorang sedang marah. Sayangnya mataku tak berani bahkan hanya sekedar menengok ke kanan atau kiri.

Tanpa menjawab, kutinggalkan dia kembali tertinggal jauh, lalu duniaku kembali membiru.
Aku masih berjalan menaiki anak tangga yang tak pernah usai. Tapi kali ini rasanya kakiku tak sanggup lagi untuk melanjutkan.

"Sebenarnya aku ini hendak kemana?" Kali ini air mataku menetes, basah. Keringat itupun mulai bercucuran. 

Awan hitam pekat mulai mengumpul menutupi duniaku, gelap. Terpaksa aku harus menghentikan langkahku, dan erat berpegang pada sisian tangga. Kilat menyambar, memperlihatkan betapa hampanya dunia ini, lalu beberapa saat kemudian di susul dengan suara petir yang menggelegar. Masih pada hal yang sama, suara aneh itu kembali hadir.

"Apa tujuanmuu?" Masih dengan suara yang sama, namun lebih lembut. Seperti ada sinar di belakang ku.

Mengapa selalu hadir suara setiap kali aku mengeluh tentang tujuan anak tangga ini. Selalu ada suara bertanya tentang apa tujuanku. Aku berpikir lalu memberanikan diri melihat kebelakang. Terlihat cahaya putih menyilaukan mata. Aku bahkan tak bisa melihat siapa dia. Hanya ada cahaya.

"Tentukan apa tujuanmu kemari, menaiki anak tangga ini" Suara itu hadir dari dalam cahaya.

"Aku bahkan tak tahu hendak kemana kulangkahkan kaki ini, aku hanya mengikuti petunjuk jalan yang harus kulewati" suaraku parau, terisak dan takut.

"Buatlah tujuanmu, maka kau akan sampai pada apa yang kamu tuju. Aku hanya mengingatkanmu, bahwa ini adalah alam ke empatmu. Tentukan dengan baik tujuanmu, maka kau akan menyelesaikan anak tangga ini" Cahaya itu menghilang bersama dengan akhir nasihat yang kuterima. Benar. Aku yang salah. Seharusnya dari awal aku punya tujuan. Tapi apa yang kulakukan, hanya melangkahkan kaki tanpa tujuan. Pantas saja aku tak pernah menyelesaikan anak tangga ini. Baik, kali ini aku memiliki tujuan.

"Aku ingin bertemu sang penguasa" suaraku memantul dan menyerangku dengan ganas. Tapi, ada warna lain dalam duniaku. Dunia biruku membuka perlahan, anak tangga yang kupijaki pun mulai melebar dan terbentang sebuah karpet merah yang indah. Wangi sekali saat pintu emas itu mulai terbuka. Tubuhku terasa segar, dan aku terbang.

Metro, 24 Maret 2017