Laman

Rabu, 19 Oktober 2016

Penantian dalam Senja



Nur hanya diam menatap bandara dihadapannya, setiap senja menunggui pacarnya datang. Impiannya untuk melanjutkan sekolah kandas seketika saat perutnya harus membesar tanpa suami. Kini Nur harus hidup mandiri dengan berjualan es cendol di depan bandara. Warungnya kecil hanya berukuran 2x2 meter. Diusianya yang masih berkepala 1 dia harus berjuang untuknya dan si buah hati dalam kandungannya juga untuk adik-adiknya.
“Sudah kubilang Nur, dia tak akan pernah kembali bersamamu, mana mau pilot itu menikahimu, memang kamu pikir dia orang bodoh yang mau menikahi gadis tanpa ijazah SMA?” Ibunya terus saja mengomel saat Nur kembali ke rumah. Seandainya bisa Nur ingin pergi dari rumah ini, tapi orang yang ditungguinya tak kunjung datang membawanya pergi. Kembali Nur hanya diam tak mengucap sepatah katapun sambil membereskan gerabah bekas jualannya.
“Aku tahu, nasib buruk memang menimpa keluarga kita. Sekarang perut besarmu semakin menjadi omelan banyak tetangga. Kamu harusnya mati saja Nur. Bapakmu sudah lama pergi malah kamu mengumbar kehormatanmu pada laki-laki tak jelas itu. jika dia lelaki yang baik taka akan dia mencuri kehormatanmu Nur” Ibunya masih saja mengomel sebal.
“Semua sudah terjadi Mak, Nur yakin dia pasti datang” Nur hanya menanggapi sekali dan memberikan sepiring nasi panas yang masih mengepul dan juga tempe goreng yang baru saja masak.
***
Perut Nur mulai terlihat membesar, namun badannya semakin kurus. Sudah lama Nur tidak melanjutkan sekolah, ijazahnya hanya sebatas SMP. Bagi Nur membantu Mamaknya berjualan es cendol dapat membantu perekonomian keluarga. Empat orang adiknya masih duduk di sekolah dasar membuatnya harus bekerja lebih keras lagi. Mamaknya tukang cuci baju orang, maka demi kelulusan adik-adiknya sampai jenjang sekolah dasar Nur harus berjualan es cendol setelah tamat SMP.
Senja itu Nur melihatnya bagai malaikat, dengan seragam putihnya dia menolong Nur saat terserempet truk. Tetesan air hujan membuat darah Nur saat itu mengalir kemana-mana. Nur antara sadar dan tidak, matanya menyaksikan hal yang indah melihat bola mata yang hitam, hidung mancung juga bau wangi. Wahyu, seorang pilot muda yang saat itu sedang keluar dari bandara, dia lah malaikat bagi Nur. Terlihat baju putihnya berlumuran darah, saat tiba di rumah sakit Nur malah tidak sadarkan diri. Truk yang menyerempet Nur juga kabur begitu saja. Jadilah Wahyu yang telah menolongnya harus bertanggung jawab atas  Nur.
“Siapa namamu? Ada nomor keluargamu yang bisa saya hubungi?” Wahyu menatap Nur cemas. Mengharapkan Nur segera menjawab pertanyaannya. Tapi Nur masih belum bisa mengingat. Benturan kepalanya dengan aspal sangat keras hingga membuat Nur amnesia sementara.
“Baiklah Nak, sepertinya usiamu kisaran 19 tahun, bagaiamana bisa diusiamu ini kamu tidak memiliki KTP? Bagaiamana aku bisa tahu dimana alamat rumahmu dan siapa namamu” Wahyu mendengus kesal. Sedangkan Nur masih diam menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Apakah kamu saudaraku?” Nur bertanya pada wahyu tangan kanannya memegang kepalanya yang diperban.
“ah, bukan, sejujurnya aku bukan saudaramu. Tadi kamu kecelakaan lalu aku yang membawamu ke rumah sakit ini. apakah kamu tidak ingat sesuatu? Nama mungkin? Alamat ? atau apapun yang bisa kugunakan untuk mengantarmu pulang?” Wahyu mendekapkan tangannya kedada, dan duduk disamping keranjang Nur.
Beberapa jam yang lalu setelah dokter memeriksa Nur, dia berbicara dengan Wahyu “Sepertinya pasien ini, mengalami amnesia sementara mas, apakah anda saudaranya?”
“Bukan dok, saya hanya kebetulan lewat saja tadi melihat dia sudah tergeletak di tanah dengan darah dimana-mana, lalu bagaiamana cara saya menghubungi keluarganya dok?. Saya sudah mencari tahu di sekitar daerah kejadian tapi tidak ada yang mengetahui siapa dia” Wahyu menghembuskan napasnya dengan sesal.
“Tapi pasien ini sudah bisa dibawa pulang setelah dia sadar, bawalah dia pergi ketempat kejadian, siapa tahu dia akan cepat mengingat identitasnya”
“Baiklah Dok, terimakasih” Segera Wahyu berdiri dan menuju ke ruang perawatan Nur.
***
“baiklah ikutlah saja denganku untuk saat ini, tapi nanti sore aku harus berangkat kembali ke jogja, kamu mau ikut, atau kamu disini saja” Wahyu benar-benar putus asa mencari siapa korban tabrak lari ini. sudah berjam-jam dia berkeliling tapi tidak ada seorangpun yang tahu siapa gadis ini. ah, sungguh malang nasib Nur, bahkan tetangganya saja tak mengenali dirinya. Entah malang entah takdir. Mungkin ini sudah keputusan yang diatas, bahwa Nur harus ikut terbang bersama dengan pilot muda ini.
Sekarang gaun merah muda dan juga sepatu hills menghiasi tubuh remaja mungil ini, rambutnya terurai indah hitam legam, kulitnya putih badannya seperti bintang televisi matanya lebar, bibirnya merah tanpa gincu. Nur berjalan tepat dibelakang Wahyu yang sekarang sudah mengenakan pakaian seragam jas hitam juga celana hitam. Wahyu memesan tiket pesawat untuk Nur dan meminta seorang teman pramugarinya untuk mengantarkan Nur masuk dalam pesawat, karena Wahyu harus bersiap-siap untuk memasuki ruang tes sebelum mengendarai pesawat.
***
Jogja selelu terkesan sebagai kota berjuta cerita cinta, jogja selalu punya daya tarik untuk membuat seseorang merangkai kenangan bersama kekasihnya. Kini Nur tinggal di kontrakan Wahyu. Maklum saja Wahyu hidup sebatang kara, orang tuanya meninggal tiga tahun lalu. Dia tinggal di kontrakan, karena tak ingin mengingat pembunuhan yang terjadi di keluarganya saat itu.
Benar sudah apa yang dikatakan orang tua, bahwa tak baik seorang wanita dan laki-laki tinggal bersama tanpa hubungan yang halal. Benar sudah genap enam bulan saja mereka benar-benar dimabuk asmara, setan menjadi Tuhan bagi meeka berdua, hingga tak sadar mereka masuk kedalam perangkapnya. Bukan hal yang ditakutkan oleh Nur, karena baginya Wahyu sudah seperti suaminya, meskipun mereka belum resmi menikah. Tapi dengan segala upaya dan janji-janji manis yang pernah Wahyu katakan, Nur benar-benar tak berdaya. Nur meletakkan harap yang begitu besar pada Wahyu.
***
 “baiklah, kapan kamu mau ku antar pulang?” Wahyu menyisir rambut Nur dengan sela-sela jemarinya, kepala Nur kembali diperban akibat kecelakaan tadi pagi.
“entahlah kak, tapi aku masih ingin bersamamu disini, tapi Mak pasti khawatir karena aku tidak pulang terlalu lama” Nur menatap atap rumah sakit, air matanya menetes perlahan membasahi pipinya.
“aku akan mengantarmu pulang, lantas tunggulah aku kembali, karena sekarang aku sudah pindah kerja, jadi mungkin akan sulit untuk berkunjung ke kotamu.
Mungkin ini saatnya Nur harus Kembali ke rumahnya, kembali kepada Mamaknya di rumah. Nur sudah mengingat kecelakaannya juga sudah mengingat keluarganya dan rumahnya, dengan ragu Nur mengatakan semuanya pada Wahyu. Senja sore ini akan menjadi senja terakhir milik mereka berdua, rumah kontarakan dengan cat warnah hijau toska telah menjadi saksi bisu percintaan mereka. Jogja dan alun-alunnya juga akan menjadi kenangan yang menjelma angin. Esok Nur akan meninggalkan jogja dan kembali ke kampung halamannya di palembang. Kembali berjualan es cendol dam pempek khas palembang.
***
Jelas saja mamak rindu pada Nur, tapi mamak malah semakin marah saat tahu laki-laki dibelakangnya. Anak perempuannya pergi bersama lak-laki yang entah siapa itu.
“Maaf Mak, saya Wahyu, maaf jika saya membawa anak gadis mamak tanpa berpamitan terlebih dulu, Nur kecelakaan waktu itu, sebisa mungkin saya mencari mamak dan orang-orang yang kenal dengan Nur, tapi tak ada warga yang kenal dengannya, dan kondisi Nur saat itu juga sedang tak mengingat apapun. Baru saat ini Nur mengingat keluarganya, itupun karena dia kembali mengalami kecelakan di jogja, maaf karena membawa anak gadis mak begitu saja”
Wahyu menjelaskan panjang lebar. Dan emak cukup terkesima dengan penjelasannya, terlebih karena melihat penampilan Nur yang makin oke, dan juga penampilan Wahyu yang bergaya seperti orang kantoran, jelas saja Mak percaya begitu saja pada wahyu, bhawa dengan kelembutan tutur katanya Nur masih dalam keadaan suci.
“Terimakasih banyak Nak Wahyu, karena sudah mengantar dan mengurus Nur dengan baik” Wahyu berpamitan untuk kembali pulang ke kotanya.
Ternyata Mak Salah, Mak benar-benar murka pada Nur. Pagi-pagi Nur sudah muntah-muntah badan Nur juga sering sakit-sakitan. Mak mengajak Nur Periksa ke bidan, tapi Nur menolak. Mungkin karena Nur sudah tahu baawa dirinya kini berbadan dua. Hingga Nur harus menahan setiap kesakitannya, menahan dengan senyum bibirnya yang terus sumringah, tetap menjalankan aktivitasnya sebagai penjual es cendol. Sampai saat itu Nur pingsan di warung dan Mak langsung membawanya ke puskesmas terdekat dengan rumhnya.
“Nur hamil Mak” seorang perawat memberikan kabar duka bagi mak. Muka Mak langsung berubah panik saat itu, anak perempuannya tidak lagi suci. Dengan siapa dan kapan dia melakukannya. Mak hanya diam diperjalanan pulang. Nur saat itu hanya mampu menggigit bibirnya dengan gigi, gemetar dan takut mak marah padanya. Mak mempercepat langkahnya meninggalkan Nur jauh dibelakang.
***
“Mak, malu Nur. Tahu begini ceritanya lebih baik kamu ngga pulang Nur, sekarang coba kamu hubungi Wahyu, minta dia bertanggung jawab atas kelakuan bejatnya” Mak memberikan Handphone. Tapi setelah beberapa kali Nur mencoba menelpon Wahyu, taka ada jawaban dan terakhir hanya terdengar suara operator yang mengatakan nomor Wahyu tidak sedang aktif. Setiap hari Nur mengirimi pesan singkat meminta Wahyu datang tapi nomor Wahyu tetap tidak aktif dan pastilah pesan-pesan singkat Nur selama ini hilang tersangkut pohon.
“sepertinya Wahyu memang sedang sangat sibuk, atau mungkin handphone Wahyu hilang atau apalah, tapi wahyu pasti kembali” Nur menghela napas panjang dan mengelus perut buncitnya di pinggiran jalan bandara, Nur  duduk menatap pesawat yang sedang take off juga pesawat yang sedang landing di bandara. Tapi Wahyu tak kunjung datang menemuinya.
***
“Mba, saya pesan es cendolnya dua” Nur hafal betul suara itu dan dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melupakan, wajahnya masih sama, tingginya juga sama, baju yang digunakannya pun sama seperti saat pertama kali bertemu. Wahyu. Nur menatap setiap detail perawakannya. Tapi ada pisau yang tiba-tiba hadir menyayat lukanya saat Nur melihat mata coklat wanita cantik yang duduk di sebelah Wahyu. Balutan dress warna merah jambu juga kerudung yang menjulur panjang membuat wanita itu cantik bak bidadari, belum lagi bayi yang digendongnya, sangat mirip dengan Wahyu. Lidah Nur kelu, matanya berkaca, tangannya mulai menyeka air matanya yang hampir jatuh, tapi Wahyu tidak menyaksikan pisau yang terhujam di dada Nur. Wahyu malah asyik bermain dengan bayi yang digendong perempuan disebelahnya. Wahyu lupa bahwa wanita didepannya adalah wanita yang dulu pernah ia curi kehormatannya.
Senja itu cukup menjadi senja terakhir aku menantimu, dan aku salah tentangmu. Aku telah berdosa memberikah kehormatanku begitu saja padamu, menggantungkan harapan berlebih padamu, yang pada akhirnya semua paku terlempar kearahku membuatku hilang kendali dan menelan semua rasa sakit ini.
“Mak benar, jika dia mencintaiku, maka dia tak akan menodaiku” aku menangis sejadinya dipelukan Mak, selepas membereskan perabotan bekas jualan cendol.

Bandarlampung, 19 oktober

6 komentar: